Oleh: Agus Widjajanto*
KALAU ada yang menyatakan kondisi peradilan penegakan hukum kita baik-baik saja, adalah bohong ! Karena kondisi saat ini merupakan kondisi terburuk yang pernah ada sejak Indonesia merdeka. Dimasa Reformasi segala lini hampir mengalami ketidak pastian, bahkan keamanan dengan maraknya begal diperkotaan, belum lagi masalah mafia tanah yang semakin merajalela, dimana mafia-mafia besar menguasai lahan ratusan hektar yang menggusur rakyat setempat dalam menggarap lahan di tanah garapan yang berstatus tanah negara. Hal ini hendaknya menjadi perhatian pemerintahan baru yang akan dilantik pada 20 Oktober nanti, agar bisa memilih pejabat penegak hukum, termasuk Menteri ATR/Kepala BPN yang memang menguasai hukum pertanahan, yang berani memperbaiki kondisi dan memberantas mafia tanah. Bahkan mafia peradilan soal tanah, ada sebuah kasus dalam sengketa lahan, dimana pihak BPN di sebuah Kabupaten di Selatan Jakarta, yang juga ditarik sebagai para pihak dalam perkara, bisa menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha (HGB/HGU), pada masa proses persidangan dengan acara dupik (jawaban dari pihak tergugat), dimana pada saat acara pembuktian para pihak sertifikat yang diterbitkan BPN Kabupaten tersebut diajukan sebagai bukti dan tertulis terbit yang diterbitkan pada tanggal dan bulan serta tahun pada saat sidang Duplik dipersidangan , dengan tenggang waktu mingguan sejak diterbitkan nya. Karena bukti tersebut diajukan dan diterbitkan pada masa proses dalam persidangan yudex facty tingkat pertama tidak mempertimbangkan bukti tersebut dan anehnya ditingkat Nahkamah Agung justru jadi pertimbangan dalam pertimbangan hukumnya yang dianggap oleh Majelis Hakim Agung menjadi bukti syah. Sedangkan status tanahnya adalah tanah negara, yang secara undang-undang yang paling syah mengajukan sertifikat adalah yang menduduki, menggarap dan mengelola, serta yang menguasai lahan, juga yang pertama membayar pajak, bukan yang mengajukan secara administratif saat proses persidangan berlangsung yang tidak pernah menguasai lahan.
Dan yang lebih miris lagi, obyek tersebut digarap dan dikelola oleh ratusan penggarap dari desa setempat sudah puluhan tahun sejak tahun 1997, hingga sekarang. Padahal kalau merujuk pada kondisi de facto, para penggarap yang telah menguasai lahan puluhan tahunn, maka berdasarkan Pasal 24 ayat (2) PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, paguyuban penggarap petani yang masih menggarap objek sengketa, kedudukannya kuat secara hukum.
Dari sinilah kita menilai betapa memprihatinkannya kwalitas dan kapabilitas serta kredibilitas pejabat kita pada bidang tersebut dan termasuk penegak hukum kita yang kerap membuat pertimbangan hukum dalam putusan cuma tiga halaman, yang diduga dibuat dan dikonsep oleh asisten-asisten, dengan demikian bagaimana akan menjelaskan secara komprehensif sebuah putusan kasus yang disengketakan dengan mengacu pada asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, serta peraturan pemerintah, serta hukum adat setempat untuk memutuskan sebuah keadilan, mustahil bisa memberikan sebuah putusan yang adil dan berbasis kepastian hukum. Hal ini hendaknya jadi perhatian Ketua Mahkamah Agung ke depan sebagai benteng terahir peradilan, untuk bisa memperbaiki diri sebagai lembaga peradilan yang bermahkota emas, dengan putusan-putusan yang adil dan sesuai asas asas peradilan.
Itu salah satu contoh, belum lagi adanya peradilan yang sangat aneh dalam kasus Vina Cirebon, kasus kriminalisasi terhadap seorang janda di Bali, dengan latar belakang warisan dari mendiang suaminya, kasus Jesica Kopi Sianida, kasus Alif di Medan, juga kasus-kasus yang berlatar belakang politis dalam konflik kekuasaan yang tidak bisa disebutkan satu persatu, baik di pusat maupun di daerah, yang mencerminkan bahwa penegak hukum kita bisa digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan penindakan hukum sebagai sebuah jalan untuk bargaining position dalam kepentingan tertentu.
Dengan kondisi tersebut, maka jujur kami katakan Indonesia mendambakan penegakan hukum seperti saat jaman Orde Baru berkuasa, dimana tahun 1981, mengangkat pejabat lembaga hukum yang saat itu dikenal dengan Punakawan dalam tokoh pewayangan dalam penegakan hukum, dimana tahun itu Presiden Soeharto mengangkat Mudjono SH., menjadi Ketua Mahkamah Agung menggantikan Oemar Seno Adji yang pensiun dimana Mudjono dikenal dengan sebutan Semar, Ali Said SH., yang lama jadi Jaksa Agung diangkat jadi Menteri Kehakiman dikenal dengan Petruk dan Ismail Saleh SH., diangkat jadi Jaksa alAgung yang dikenal dengan Gareng. Pada media saat itu penegakan hukum benar-benar cukup bersih dan adil, padahal ketiga tokoh Punakawan hukum tersebut bukan alumni dari universitas ternama yang kampiun pada fakultas hukumnya, seperti UI, Unpad, Undip, dan Unair, akan tetapi mereka alumni dari sekolah tinggi hukum Militer yang dulu dipandang sebelah mata, soal hukumnya. Akan tetapi nyatanya bisa dan mampu menunjukan nyali dan kwalitasnya sebagai nahkoda lembaga penegak hukum yang kredibilitasnya diakui terbaik hingga saat ini.
Dalam masa itu betapa rinci dan runtun pertimbangan hakim tingkat pertama saja ya, tidak usah muluk-muluk dari pertimbangan hukum dari Hakim Agung di Mahkamah Agung, yang bisa mencapai dua puluhan halaman, maka tidak heran putusan yang dianggap brilian dan mendundukkan keadilan dijadikan acuan sebagai Yurisprodensi Mahkamah Agung.
Dalam sebuah opini di harian Kompas hari ini tanggal 29 Agustus 2024, eorang Guru Besar Pidana dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, yakni Prof.Dr. Romly Artadasmita menulis tentang keprihatinan kondisi penegakan hukum di Indonesia, yang dianggap telah melenceng jauh dari UU Kekuasaan Kehakiman yang diberikan kekuasaan , yang merdeka, mparsial, dan independen yang justru kerap digunakan oleh eksekutif untuk melakukan proses hukum terhadap tokoh-tokoh tertentu, dimana ada beberapa pihak dan dari pembaca yang justru mengusulkan, jikalau eksekutif dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) sebagai Kepala Pemerintahan bisa dipilih oleh rakyat, demikian juga Legislatif (DPR/DPRD tingkat 1 dan DPRD tingkat 2 Kabupaten/Kota), bisa dipilih oleh rakyat secara langsung, apakah harus diciptakan suatu sistem baru dimana pejabat Yudikatif harus dipilih oleh rakyat untuk mencari sosok seorang petinggi penegak hukum sebagai garda terdepan penegakan hukum di negeri ini ?
Analisa dari Prof.Dr. Romly sangat bagus dan komprehensf tentang kemelut hukum yang ditandai berbagai skandal hukum. Yang paling jelas dan tegas yaitu:
– Tanggung jawab pemegang mandat kekuasaan terhadap menjaga kepastian hukum, yaitu Presiden dan DPR RI.
– Kelemahan ketentuan dan pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran hukum oleh penguasa.
– Lembaga lembaga hukum dengan mudah di intervensi untuk kepentingan penguasa.
Pertanyaan kita selanjutnya:
– Kalau Presiden (eksekutif) dan DPR (legislatif) dipilih langsung oleh rakyat, mengapa lembaga hukum (Yudikatif) tidak dipilih langsung oleh rakyaT ?
– Apabila lembaga Yudikatif dipilih oleh rakyat, siapa/lembaga Yudikatif mana yang harus dipilih langsung oleh rakyat ?Apakah Jaksa Agung seperti di Amerika Serikat.
Menjawab pertanyaan di atas: mengapa lembaga Yudikatif tidak dipilih langsung oleh rakyat (seperti halnya DPR RI dan Presiden). Jawabannya:
Pertama, kendatipun tIdak ada satupun negara di dunia ini menerapkan Doktrin Trias Politica (semurni ajarannya, namun paling tidak cabang kekuasaan Yudikatif memang sengaja dari awal oleh para pemimpin terdahulu dibiarkan tetap steril dari intervensi cabang kekuasaan Legislatif dan cabang kekuasaan Eksekutif.
Mengapa ? Karena dari tiga cabang kekuasaan yang ada dalam negara, hanya cabang kekuasaan Yudikatif lah yang paling lemah, sementara cabang kekuasaan Yudikatif diharapkan menjadi benteng terakhir untuk mengontrol dua cabang kekuasaan yakni Legislatif dan Eksekutif, selain untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) dari tindakan ke sewenang-wenangan penguasa terhadap warga negara, maka oleh sebab itu cabang kekuasaan Yudikatif dibiarkan steril dari intervensi kekuasaan dari manapun, baik dari Eksekutif maupun dari Legislatif dan dari pihak-pihak lain dalam masyarakat dalam komponen sebuah Negara.
Doktrin ini yang kemudian melahirkan prinsip: “Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, imparsial, dan independen”, sebagai prinsip yang berlaku universal di semua negara (termasuk Indonesia, vide Pasal 24 UUD 1945);
Kedua, berbeda halnya dengan cabang kekuaasaan Yudikatif, cabang kekuasaan Legislatif dan Eksekutif adalah jabatan politik (yang bisa diisi oleh siapapun dan dari latar belakang pendidikan, status sosial-ekonomi apapun, sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam UU yang terkait). Sedangkan pengisian jabatan pada kekuasaan kehakiman mutlak dan harus serta wajib berlatar belakang pendidikan hukum, yang tidak semua orang bisa mengisi ataupun memangku jabatan tersebut.
Itulah sebabnya mengapa (jabatan yang ada pada) cabang kekuasaan Kehakiman tidak dipilih langsung oleh rakyat. Siapapun yang memangku jabatan di ranah cabang kekuasaan Yudikatif, (khususnya jabatan Ketua Mahkamah Agung dan segenap Hakim Agung nya), semuanya kembali pada ‘the man behind the gun’ untuk bisa tegak lurus pada hukum dan Konstitusi serta ‘berani’ melawan intervensi kekuasaan dari manapun datangnya.
Ada tiga hal persoalan dalam hal ini, satu memang terjadi pergeseran moral dimana dengan gaya hidup dan tuntutan hidup terjadi pergeseran orientasi hukum sudah menjadi komoditas bisnis, yang kedua proses perekrutan nya, harus kembali meniru dan mengadopsi cara Orde Baru, dimana hakim dalam proses penerimaan benar benar bersih dan putusan-putusan pengadilan dari Hakim yang dianggap bagus dalam pertimbangan hukum, dimana mahkota hukum terletak pada putusan tersebut, dipantau dan dijadikan referensi untuk diangkat jadi hakim tinggi dan terus ketingkat demikian juga terhadap Hakim Agung, memilih dari bawah dari Hakim karier, agar pada jiwa mereka para hakim di tingkat pertama ada semangat untuk membuat putusan yang brilian dan terobosan hukum demi keadilan, karena ada harapan dijadikan barometer pada setiap putusan-putusannya sebagai Hakim dijadikan barometer untuk naik jenjang lebih tinggi agar bisa naik jenjang menjadi Hakim Agung yang merupakan puncak-puncaknya karier seorang Juris di Indonesia . Dan yang ketiga, naikan tunjangan dan gaji khusus di lembaga peradilan, setidaknya sebagai upaya agar tidak terkontaminasi diiming imingi sesuatu dalam bentuk materi untuk dirayu membuat sebuah putusan yang jauh dari rasa keadilan agar mereka juga tenang karena tanggung jawab bukan hanya pada negara, tapi juga pada Tuhan Yang Maha Esa dan masyarakat.
Semoga pada masa kabinet presiden selanjutnya bisa jadi pertimbangan agar bisa introspeksi diri dan mencontoh pak Harto dalam mengangkat para petinggi lembaga peradilan termasuk Menteri ATR/Kepala BPN yang bisa memberantas mafia tanah, karena contoh yang paling utama adalah dari perilaku pimpinan kepada bawahan baik dalam memberikan contoh gaya hidup maupun dalam memberikan suri tauladan dalam setiap putusan yang diambil dalam sebuah keputusan hukum kepada masyarakat. ***
* Penulis adalah praktisi hukum, pemerhati sosial budaya, politik dan sejarah bangsa.