Memilih Pemimpin Populis, Populisme, dan ‘Populismo’

by
Pemimpin. (Ilustrasi/Foto: Ist)

PERTANYAAN ini sering ditujukan kepada pendiri situs ‘jual-beli’ terbesar AS dan dunia, Amazon Jeff Bezos. “Apa yang akan berubah dalam 10 tahun ke depan”?Pengusaha jasa ‘online’ ‘low profile’ dan sederhana, dengan kekayaan hampir 200 milyar dolar AS (2024) ini, selalu mengatakan.

“Saya tidak tahu apa yang akan terjadi tahun depan, atau tahun kapan pun”. Namun yang pasti, ada keyakinan, orang akan semakin tamak, dan takut dengan perubahan. Takut dengan ketidakmapanan yang terlanjur dinikmati.

Manusia, lazimnya ingin dan selalu akan memelihara kemapanannya. Berapa pun ongkos, dan berapa pun idealisme yang mesti direduksi. Ketamakan bukan persoalan cukup atau tidak. Lebih kepada, “keinginan dan kecenderungan yang memang ingin tamak.

Banyak pintu, lorong dan jendela, untuk menuju kepada hal itu. Salah satu pintu yang paling efektif, misalnya dengan memegang posisi penting di perusahaan. Atau yang lebih gampang lagi. Terjun ke dunia politik. Ibarat membangun “hall”, modalnya hanya sekali. Selanjutnya tinggal memungut hasil.

Orang-orang ‘populis’, seperti Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela (1994-1999), Presiden Argentina Nestor Kirchner (2003-2007). Pejuang pembebasan Kuba dan Amerika Selatan, Che Guevara. Mereka adalah tokoh anti dengan kemapanan. Posisi nyaman bagi mereka adalah, hal yang membosankan dan “penderitaan”.

Nelson Mandela, adalah sosok yang sangat dihormati di Afrika Selatan. Mendekam 27 tahun dalam penjara rezim apertheid dan rasis (1962-1990), tidak menjadikan Afrika Selatan kacau saat rekonsiliasi terjadi. Atau terjadi pertumpahan darah, ketika rakyat Afsel menggulingkan Pemerintahan apartheid.

Kemumpunian Mandela, membuat pemilu multi-ras 1994 berjalan mulus. Bahkan, “musuh Mandela” F.W. De Klerk yang tadinya Presiden Afsel, diangkat menjadi Wapres bersama Thabo Mbeki.

Tokoh populis ini pun terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan, dalam Pemilu demokratis dan multi-ras, yang sangat adil. Memegang tampuk kekuasaan kurun 1994-1999, Mandela menolak permintaan ‘langsung’ 64 juta rakyatnya, untuk kembali dipilih dan memimpin.

Andaikan Nelson Mandela mau, rakyat Afsel tak akan menolak sampai kapan pun. Jasa dan pengorbanan Mandela terhadap rakyat, dalam memperjuangkan anti-apartheid. Sangat terpatri dalam hati sanubari. Mandela kukuh, ingin mundur dan cukup satu periode saja. Manusia langka!

Populis, atau populisme, yang dalam bahasa latin disebut ‘populismo’, adalah satu aliran. Bermakna, satu pendekatan politik yang dengan sengaja menyebut kepentingan rakyat. Kemudian dilawankan dengan kepentingan kelompok, atau elite.

Sikap Mandela, sekalipun dia dicintai teramat sangat oleh rakyatnya. Apa pun yang dia mau, rakyat akan setuju. Namun, Mandela tak ingin menghambat regenerasi. Dia memberi kesempatan mudah kepada generasi sesudahnya.

Mandela pun, ‘kekeh’ menjaga diri dari ‘moral hazard’. Yang pada akhirnya dapat ‘membunuh’ atau me-reduksi kecintaan rakyat yang paripurna (sempurna) kepadanya. Menjadi caci maki yang menyakitkan.

“Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup”, kata politisi Inggris abad 19, Lord Acton.

Itulah yang mendorong Mandela cukup satu periode kekuasaan. Hingga kini namanya tetap harum. Dikenang sebagai pembebas dari penjajahan apartheid. Inilah “lagacy”.
Di Selatan Amerika (Amerika Latin), gerakan ‘Populismo’ juga ditumpahkan oleh Presiden Argentina Nestor Kirchner. Terpilih sebagai Presiden tahun 2003, di tengah haru-biru kekacauan ekonomi, dan hutang bertumpuk, “manggila”.

Kirchner yang diwarisi hutang ‘serampangan’ 102,6 milyar dolar AS oleh rezim sebelumnya. Menolak membayar semua kepada kreditur luar negeri. Kreditur yang berjumlah fantastis 600.000 Lembaga keuangan, dipaksa dengan gagah berani oleh mantan Gubernur Provinsi Santa Cruz ini. Untuk mengikuti regulasi pro-rakyat yang dibuatnya.

Presiden yang dicintai rakyat Argentina ini. Memberi tenggat akhir persetujuan kreditor, 25 Pebruari 2005 (menjabat Presiden Mei 2003). Setuju atau tidak, Kirchner hanya akan membayar sebesar 38,5 hingga 41,8 milyar dolar AS saja, dari total hutang 102,6 miliar dolar AS. Itupun akan dikonversikan dengan obigasi, jadi tidak ‘cash’, yang baru akan dibayarkan tahun 2045.

Apa yang dilakukan Kirchner ini, karena salah urus pemerintahan sebelumnya (Presiden Eduardo Duhalde). Telah menyebabkan separuh dari 20 juta rakyat Argentina menjadi miskin. Langkah berani yang dilakukan Kirchner, menyelamatkan ekonomi Argentina.

Tibalah saat akhir masa jabatannya, rakyat Argentina menangis, menolak. Kirchner yang merupakan keturunan Swiss ini, tetap kukuh. Tak mau ikut lagi dalam Pemilu. Rakyat Argentina “meraung”, meminta Kirchner tetap mau dipilih. Sekali lagi. Tidak!
Rakyat akhirnya meminta, Ibu Negara Cristina Fernandez De Kirchner mau ikut Pemilu. Dan menang di Pemilu 2007. Rakyat tetap memilih Cristina di periode ke-2, hingga 2015, dalam Pemilu “Jurdil” dan bersih.

“Populismo”, terjadi juga pada Menteri Perindustrian Kuba (1961-1965). Tokoh Ernesto Guevara, atau lebih dikenal dengan Che Guevara. Yang berjasa mengusir diktator Kuba Fulgencio Batista bersama-sama Fidel Castro dan Raul Castro. Enggan duduk di ‘menara gading’.

Guevara tak ingin mendekap jabatan empuk yang diperolehnya. Jiwa ‘populis’, menjadikan Guevara gelisah, ingin membebaskan Amerika Selatan Raya. Semangat Simon Bolivar, sang ‘ikon’ Amerika Latin, mendorong Che Guevara berjiwa ‘inklusif’.

Susah payah Fidel Castro menahan Che Guevara. Agar menyudahi gerilya, dan tidak pergi ke Bolivia membantu Kemerdekaan negara Amerika Selatan ini. Guevara tak bisa ditahan. “Populismo”, mengakhiri kehidupannya, lewat hukuman tembak mati di Bolivia. Kenikmatan jabatan menteri pun, tak dihiraukannya. Di usia 39 tahun (1967), Guevara wafat.

Selain Mandela, Kirchner, dan Guevara. Bisa juga kita masukan Bung Hatta. Wapres pertama Indonesia, yang tak sayang melepaskan jabatan Wapres (1956).

Perbedaan pendapat dengan Bung Karno tentang kenaikan BBM dan kenaikan gaji pegawai, membuat Bung Hatta mundur.
Populisme, sepertinya sudah sulit dicari pada tokoh-tokoh politik saat ini. Pragmatis dan ‘oportunis’, menjamur dan membentuk koloni ‘simbiosa mutualisme’ yang sangat kohesif, dan akut.

Berkaca dari Malaysia. Tokoh yang terbuang, “terasing”, dan “diasingkan”seperti Anwar Ibrahim, kembali “revanche” secara alamiah. Di saat “pohon-pohon emas”, Najib Razak, Mahathir Mohammad layu ditelan pragmatisme dan ‘oportunistik’.

Ada baiknya, kita renungkan apa yang dikatakan Amazon Jeff Bezos. Yang terjadi besok, kita tidak tahu. ‘oportunis dan pragmatis’, akan hanyut. Sementara, populis selalu mendapat tempat di hati rakyat.

*Sabpri Piliang* – (Wartawan Senior/Anggota Dewan Redaksi www.beritabuana.co