Pesta Demokrasi, Ongkos Politik yang Mahal Berefek Pada Korupsi?

by
Pengamat politik, Ujang Komarudin. (Istimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, yang akan diadakan serentak di seluruh Indonesia besok, Rabu (14/2/2024) bertujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden, Anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ini merupakan pemilu yang ke 6 sejak Indonesia memasuki era Reformasi sejak tahun 1998.

Pemilu itu sendiri sebagai sarana perwujudan dari kedaulatan rakyat dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Karena itu, proses pelaksanaan pemilu itu pun diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang harus ditaati oleh semua stakeholder nya, sehingga pelaksanaannya berjalan lancar, tertib dan aman.

Tak bisa dipungkiri, anggaran yang digunakan untuk membiayai pelaksanaan pemilu ini, sebelum dan sesudahnya, demikian besar, mencapai triliunan rupiah. Tingginya anggaran yang dialokasikan itu sebagai konsekuensi dari sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Tak hanya negara, dalam hal ini pemerintah, peserta pemilu pun harus menanggung biaya yang tidak sedikit, baik partai politik maupun calon legislatif (caleg), harus merogoh kocek yang bisa mencapai ratusan juta rupiah hingga ada yang tembus sampai miliaran rupiah. Mahal sekali.

“Fakta dan kenyataannya seperti itu,” kata pengamat politik Ujang Komarudin saat dihubungi beritabuana.co, Selasa (13/2/2024).

Sebut saja sebagai salah satu contoh, pengadaan alat peraga kampanye atau APK, setiap partai politik peserta pemilu serta caleg nya menelan biaya yang tidak sedikit, tergantung jumlah dan ukurannya. Bendera, umbul-umbul, spanduk, baliho hingga billboard disiapkan untuk dipasang selama masa kampanye pemilu untuk mensosialisasikan partai dan caleg ke masyarakat luas. Masyarakat harus mengenali partai politik dan caleg yang akan dipilih saat pemilu.

Di DKI Jakarta misalnya, menurut Ujang Komarudin, mau menjadi calon anggota legislatif (caleg) saja bisa mencapai Rp40 Miliar, biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Memang kata Dosen di Universitas Al Azhar Indonesia ini, pengeluaran tersebut bervariasi, ada yang Rp20 Miliar, bahkan ada yang sampai Rp100 Miliar di provinsi tertentu.

“Ya, macam-macam biaya politik tersebut yang jumlahnya tinggi,” ucap Ujang.

Nah, tingginya biaya politik yang harus ditanggung dalam pesta demokrasi lima tahunan ini memberi efek yang berdampak negatif dalam proses demokrasi itu sendiri.

“Suka tidak suka, senang tidak senang, makanya dengan biaya tinggi itu korupsi merajalela juga, korupsi banyak juga karena mengembalikan modal politik tersebut,” tandas pendiri Indonesia Politik Review atau IPR itu. (Asim)