Pengamat Dukung Hukuman Mati Bagi Koruptor

by
Adilsyah Lubis, pegiat anti korupsi.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Pengamat hukum dan penggiat anti korupsi Adilsyah Lubis mengatakan perlunya penerapan hukuman mati bagi penyelenggara negara atau pejabat pemerintah yang bersalah karena kasus korupsi. Sejauh ini, hukuman yang dijatuhi kepada koruptor masih terlalu ringan dan tidak menimbulkan efek jera, terbukti masih saja ada pejabat, baik di pusat maupun di daerah yang di cokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kejaksaan Agung (Kejagung) juga telah menangani sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara.

“Sebaiknya hukuman bagi koruptor diperberat untuk mendapatkan efek jera misalnya menerapkan hukuman mati,” kata Adilsyah yang dihubungi Senin (4/12/2023).

Menurut dia, belum pernah terjadi koruptor di Indonesia di vonis hukuman mati dan di eksekusi mati.

“Soal penerapan hukuman mati bagi koruptor di Indo memang masih kontroversi, masih polemik, antara yang setuju dengan yang tidak setuju. Tapi kalau saya melihat perkara korupsi masih terus terjadi, saya setuju dengan pendukung hukuman mati,” kata Adilsyah Lubis.

Ditambahkan, seseorang pelaku korupsi yang sudah di vonis pengadilan hukuman mati, supaya cepat di eksekusi, tidak usah berlama-lama, tapi langsung di eksekusi.

Adilsyah berpandangan, korupsi adalah kejahatan luar biasa, yang berdampak luas bagi masyarakat. Maka, hukuman bagi pelaku korupsi pun sudah tak bisa biasa-biasa saja, tapi hukuman itu harus luar biasa.

“Pejabat yang korupsi itu kan melanggar sumpah jabatannya, korupsi untuk kepentingan diri atau kelompoknya, uang yang di korupsi pun merugikan negara dan masyarakat,” kata Adilsyah.

Tetapi sambung dia, hukuman bagi koruptor yang dijatuhi oleh pengadilan masih di rasakan ringan, ada yang 2 tahun, 5 tahun hingga 10 tahun. Hukuman seumur hidup sudah dijatuhkan kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, tapi kata Adilsyah, hukuman itu masih belum ada dampaknya atau efek jeranya bagi yang lain, karena ternyata masih saja lembaga anti rasuah menangkap atau lewat operasi tangkap tangan (OTT) pejabat negara atau pejabat pemerintah yang diduga korupsi dengan modus menerima suap atau memberi suap, seperti yang terjadi di Sorong, Papua dan Kalimantan Timur.

Diantara pejabat itu, kata Adilsyah, ada yang sudah menjalani seleksi uji kepatutan dan kelayakan oleh DPR RI, tetapi masih saja kecolongan karena kemudian diantara mereka ada yang terlibat korupsi.

“Memang sudah dengan melalui penyaringan fit and proper test, tetapi masih aja bisa kecolongan. Ini sering terjadi, walaupun sudah melalui pakta integritas pun, masih saja terlibat korupsi,” kata Adilsyah.

Jadi tambah dia, pencegahan kearah usaha pemberantasan korupsi sudah dijalankan, tapi tetap saja kecolongan. (Asim)