Dinasti Politik Dinilai Dapat Membajak dan Membonsai Demokrasi di Indonesia

by
Peneliti senior BRIN, Prof. Lili Romli. (Foto: Istimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Lili Romli berpandangan bahwa dinasti politik menjadi persoalan ketika dinasti politik tersebut membajak dan membonsai demokrasi, khususnya untuk negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

“Bukan hanya itu saja, politik dinasti saat berkuasa dan untuk mempertahankan kekuasaannya memberlakukan aturan main tertutup atau close game,” kata Lili Romli kepada awak media, di Jakarta, Senin (6/11/2023).

Dikatakannya, banyak kasus di Indonesia, lantaran demokrasi elektoral hanya sekedar formalitas. Hal itu terjadi karena semua kekuatan politik dikendalikan, media massa dilemahkan, dan civil society dikooptasi. Politik dinasti juga menguasai sumber daya ekonomi dan bahkan koruptif.

“Kalau di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak menunjukkan hal yang positif. Itu karena prosesnya membajak demokrasi dan ketika berkuasa mereka koruptif,” paparnya.

Lili juga menyebut negara-negara maju juga ada politik dinasti yang melalui proses sesuai dengan prosedur demokrasi. Tapi, tidak ujug-ujug berkuasa, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui, yaitu melalui pengkaderan dan rekrutmen politik yang sama seperti kader yang lain.

“Mereka juga memiliki kualifikasi dan kapasitas yang baik sehingga ketika berkuasa juga berhasil dengan baik, tidak koruptif. Jika gagal, publik tidak akan memilihnya kembali, ada punishment,” ujar Lili.

Lili menilai jika kondisi politik dinasti berlanjut, bukan tidak mungkin demokrasi akan meradang.

“Untuk proyeksi ke depan, jika politik dinasti tetap bercokol dan menang dalam pemilu, demokrasi Indonesia akan terancam. Sekarang saja demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, apalagi nanti jika yang berkuasa dinasti politik,” ungkapnya kecewa.

Sementara itu, Pakar Ilmu Politik dari Universitas Airlangga, Prof Kacung Marijan mengatakan akan subur tidaknya politik dinasti tergantung oleh mekanisme kontrol.

“Kontrolnya bisa dua. Pertama adalah di level proses pemilihannya. Ketika masyarakat menganggap itu tidak baik, masyarakat bisa secara kolektif menolak dan tidak memilihnya,” jelas Prof Kacung, Senin (6/11/2023). Namun masih ada kesempatan di tahap kedua, setelah terjadi pemilihan.

“Ketika calonnya itu sudah terpilih, yaitu bagaimana terjadinya proses kontrol itu sehingga penyalahgunaan kekuasaan bisa dihindari. Dalam hal ini ya lewat DPR,” pungkasnya. (Jal)