Gibran Rakabuming Lompat Pagar, PDI Perjuangan Abaikan Jokowi

by
Mulia Nasution. (Foto: Dokumentasi)

KEPUTUSAN MK (Mahkamah Konstitusi)  nomor 90  yang membuka jalan bagi pemimpin publik terpilih melalui proses pemilihan umum meski berusia belum 40 tahun, kian menguatkan kecurigaan sejumlah pengamat, opinion leader, dan publik, bahwa terjadi penyeludupan pasal keputusan demi Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon Wakil Presiden.

Fakta kecurigaan mendapat dukungan dengan adanya pernyataan Partai Golkar mencalonkan Gibran Rakabuming sebagai kandidat Wakil Presiden bagi Prabowo Subianto dalam Koalisi Indonesia Maju. Kini deklarasi Prabowo-Gibran itu terjadi dan juga pendaftaran ke KPU pada Rabu (25/10/2023), menyusul dua kandidat terdahulu yang telah mendaftar, yaitu Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar, serta Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.

Dari ketiga kelompok kandidat ini saya mengurai analisa dengan perspektif politik sebagai jalan kejujuran bagi kesejahteraan masyarakat. Maksud saya, saat kita berada pada era keterbukaan, dan tidak ada lagi kebohongan yang dapat disembunyikan secara rapi, apakah jalan bagi suatu “penyeludupan pasal” hukum dapat diterima oleh publik dan akal sehat mereka dalam menentukan pilihan di bilik suara 14 Pebruari 2024. Mari kita lihat peta problem yang bisa terjadi nanti.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah politikus yang menempuh karir dari Solo sebagai Wali Kota, lalu terpilih jadi Gubernur DKI Jakarta, dan akhirnya Presiden RI dua periode sejak 2014. Kendaraan politik besar dan utama yang Jokowi tumpangi untuk maju dalam kontestasi adalah PDI Perjuangan. Karir politik Jokowi yang moncer menyisakan kegetiran bagi kader tertentu di sisi berbeda

Citra Jokowi sebagai politikus PDI Perjuangan, atau dalam narasi Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri bahwa Jokowi sebagai petugas partai, melekat begitu kuat dalam persepsi publik. Lantas dengan siasat “loncat pagarnya” putra sulung Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming dari PDI Perjuangan ke Partai Golkar sebagai pengusung, dan ini tentunya berkat restu Sang Ayah, berarti kian mendekati adanya anggapan bahwa Jokowi cenderung berada di pihak Prabowo Subianto.

Simbol-simbol politik melalui berbagai iven kunjungan kerja Jokowi bersama Prabowo, serta ungkapan verbal Jokowi agar memilih pemimpin yang berani, sulit untuk membantah bahwa kecenderungan Jokowi memang dipertontonkan sebagai potret keberpihakan politik selama ini kepada Prabowo, politisi yang Jokowi kalahkan pada Pilpres 2014,  dan paska Pilpres 2019 dapat Jokowi jinakkan ke dalam kabinetnya.

Lalu PDI Perjuangan pun tak mau menunggu gerbong tanpa kepastian dengan mengumumkan Mahfud MD sebagai bakal calon Wakil Presiden, dan mengantarkan Ganjar-Mahfud ke KPU untuk mendaftar pada 19 Oktober lalu. Jokowi lagi tugas negara di luar negeri, semestinya bisa ditunggu kedatangannya sebelum penutupan masa daftar. Ini dapat kita baca sebagai simbol sikap tegas Megawati Soekarnoputri sebagai politisi yang kenyang makan asam-garam, mengabaikan siapa pun yang mbalelo seperti Jokowi.

Ketergesaan pendaftaran Ganjar-Mahfud ini kian mempertegas sikap Megawati Soekarnoputri, jika tanpa dukungan Jokowi pun PDI Perjuangan tetap melaju dengan percaya diri. Sebab PDI Perjuangan jauh lebih raksasa dari Jokowi, baik dalam sejarah panjang perjuangan politiknya, maupun akar jaringan kadernya di berbagai lini, sementara kekuasaan Presiden Jokowi akan berakhir 20 Oktober 2024.

 

Pertempuran Opini

Lantas, apa dan bagaimana tensi politik yang bisa terjadi pada masa mendatang, paska terayunya Jokowi menyodorkan Gibran oleh tarian dansa Prabowo Subianto? Tentu saja tensi politik ini akan memanas. Ini beberapa perkiraan situasi yang bisa terjadi nantinya.

Pertama, rakyat sebagai pemilih menjelang Pilpres 14 Pebruari 2024 akan mendapat tontonan dengan sikap kritis terhadap pemerintahan Jokowi. Untuk itu PDI Perjuangan akan mengambil sikap tegas dengan perhitungan cermat. Gerakan membalas dari inner circle PDI Perjuangan seperti aktivis GMNI dengan membongkar kebobrokan pemerintahan selama ini melalui arah gugatan opini telah menyengsaraan rakyat, beredar kian semarak.

Kedua, kalkulasi kekuatan parlemen juga akan mendapat hitungan secara cermat bila Fraksi PDI Perjuangan berhitung dengan sikap kritis, bahkan bisa tampil sebagai oposisi atas kebijakan Jokowi selama ini. Sesungguhnya terbuka juga peluang untuk PDI Perjuangan menarik mundur menteri kabinet maupun menteri yang mendapat endorsement dari mereka. Bila ini terjadi, bukan tidak mungkin PDI Perjuangan juga akan mengajak gerbong Partai Nasdem untuk bersekutu, yang tentu saja secara psikologis dan politik Nasdem sudah merasa terinjak-injak sejak Surya Paloh deklarasi akan mencalonkan Anies Rasyid Baswedan pada 3 Oktober 2022.

Ketiga, narasi eksploitasi Jokowi “berkhianat”, atau berupa grafis dan meme, terhadap partai yang membesarkannya akan terjadi makin masif, baik sebelum kampanye maupun saat kampanye Pilpres 28 November 2023 sampai 10 Pebruari 2024 . Pasukan underground akan bergerilya untuk mematahkan citra atau pengaruh Jokowi, baik melalui perang udara dengan kekuatan media sosial maupun door to door dengan menggedor pintu rumah atau pondok komunitas masyarakat. Bibit serangan itu pun mulai disampaikan Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok dengan sikap kritis terhadap pencalonan Gibran Rakabuming. Sulit membayangkan sikap dini Ahok secara frontal terhadap pilihan Jokowi, tapi sikap politik adalah pilihan seseorang kalaupun harus mengabaikan kimiawi perkoncoan masa lalu.

Keempat,  narasi politik dinasti dan abuse of power akan kian kencang beredar dalam wacana atau pemikiran, meski beberapa partai selama ini secara lugas juga membiarkan praktek dinasti  atau keluarga politik ini terjadi dalam struktur internal partai mereka. Tapi dengan Gibran Rakabuming menjadi bakal calon Wakil Presiden, politik dinasti ini akan menyeret nama Bobby Nasution sebagai Wali Kota Medan dari PDI Perjuangan, dan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI yang hanya selang dua hari bergabung. Secara umum masyarakat Indonesia kian cerdas, apalagi dengan keterbukaan informasi dan pilihan media kian beragam, sulit untuk menghindar dari kenyataan dinasti itu sebagai suatu langkah yang tabu. Persepsi dan perbincangan publik menunjukkan ke arah kebencian akan politik dinasti, meski muncul kontra narasi bahwa sudah saatnya anak muda tampil sebagai pemimpin nasional dengan merujuk Sutan Syahrir jadi Perdana Menteri pada usia 36 tahun.

Kelima, Golkar akan mengambil ceruk dengan hadirnya Gibran Rakabuming untuk menggarap  kalangan pemilih muda. Sepertinya Golkar, meskipun pada bagian awal dengan “terpaksa” menerima Gibran, akhirnya legowo berupaya memanfaatkan celah peluang itu. Apalagi pemilih pemula berjumlah besar pada Pemilu 2024, yaitu 52 persen atau 106 juta lebih. Namun satu hal yang harus diwaspadai, pemilih pemula ini lebih cerdas, sudah melek internet, dan mereka dengan mudah akan mencari perbandingan atas pujian terhadap sosok Gibran, atau counter terhadap narasi bujuk-rayu yang disodorkan. Kali ini bisa berlaku perumpamaan, tidak mudah untuk menggiring bebek ke kandangnya. Apalagi Anies Rasyid Baswedan juga punya portofolio bagi kalangan muda berkat interaksi, pengalaman akademis, dan pengalaman memimpin pada pemerintahan selama ini.

Keenam, dengan ketiga calon pasangan ini, saya dapat mengasumsikan kekuatan nasionalis akan terpecah, sebagian berada di kubu Ganjar Pranowo dan sebagian di kubu Prabowo Subianto. Dalam konteks ini, kubu Anies Rasyid Baswean akan memanfaatkan celah “perseteruan” itu dengan narasi kebangsaan yang membujuk pemilih, termasuk kalangan mengambang atau belum mementukan pilihan. Lebih lugas, artinya, persatuan pendukung masyarakat pemilih dari kalangan muslim, baik yang tradisional, moderat, dan modern, akan terus bertambah bila dapat mereka manfaatkan secara baik. Tentu saja Partai Nasdem yang sejak Pilpres 2014 menjadi pendukung utama Jokowi, dengan portofolionya sebagai pengusung Anies-Muhaimin dapat memanfaatkan ceruk itu.

Ketujuh, melihat berbagai hasil survei Pilpres maka akan terjadi dua putaran Pilpres 2024 karena bila kita percaya beragam survei yang dipublikasikan, tidak ada yang terlalu dominan untuk memenangi kontestasi, apalagi untuk memenangkan satu putaran sebagaimana diatur UU 7 Tahun 2017  Tentang Pemilihan Umum dan Peraturan KPU. Ada ketentuan perolehan suara lebih dari 50 persen  dengan sedikitnya 20 persen suara  di setiap provinsi  yang tersebar setengah dari jumlah provinsi di Indonesia bila mau menang satu putaran.Tiap kandidat dan tim pemenangan akan berapi-api untuk melakukan penaklukan. Beberapa “border area” seperti di Jawa Tengah, dan Jawa Timur, akan ikut terbelah dalam kekuatan beberapa faksi. Bagi Anies Baswedan, Jawa tengah tertolong dengan adanya Muhaimin Iskandar bersama PKB-nya,  dan tim inti Sudirman Said juga pernah berkompetisi dengan Ganjar Pranowo pada Pilgub Jawa Tengah tahun 2018 yang mana suara Sudirman dan Ganjar berselisih sedikit saja. Sementara untuk Jawa Timur, Probowo juga dapat menggunakan kekuatan tokoh Banser NU asimilasi seperti Erick Thohir yang sukses menggelar peringatan Satu Abad NU pada 7 Pebruari 2023 lalu.

Tentu saja masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi hari-hari ini sampai ke depan. Satu hal yang kita harapakan jangan sampai kontestasi ini justru memecah belah persatuan dan kesatuan nasional.

Semua keadaan buruk atau baik, berada pada tataran elite, sebab hanya elite politik yang bisa menggerakkan perseteruan jadi kobaran api, apalagi bila ada yang coba memanfaatkan oknum aparat penegak hukum dan oknum kekuatan bersenjata dengan froksinya.

Akar rumput selama ini akan mengikuti apa yang menjadi arahan para elitenya. Tiada lain, pertimbangan elite akan kesejahteraan keluarga dan kekuasaan politik mereka, jangan sampai mengalahkan kepentingan nasional kita sebagai bangsa dan kepentingan negara. Situasi politik memanas bisa terjadi, tapi tetap dalam pendulum yang terkendali agar hingar-hingarnya terhindar dari upaya meruntuhkan sendi-sendi persatuan.

*Mulia Nasution* – (Pemerhati Masalah-masalah Politik)