,

Perlu Regulasi Detil Mengani Sampah Demi Pemanfaatan Ekonomi Sirkular Lebih Besar

by
Seminar ‘Extended Producer Responsibility (EPR) Towards The Circular Economy with Perspectives From Indonesia To Asean and East Asia’, di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, baru-baru ini. (Foto: Istimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta instansi/lembaga terkait, harus lebih banyak mengeluarkan regulasi atau peraturan. Termasuk peraturan pelaksananya yang terkait dengan beragam sampah secara detil per item asal sampah.

“Misal sampah plastik, sampah botol, sampah kaleng, sampah kemasan dan sebagainya,” ujar Prof. Kasuke berbicara dalam  seminar ‘Extended Producer Responsibility (EPR) Towards The Circular Economy with Perspectives From Indonesia To Asean and East Asia’, di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, baru-baru ini.

Seminar diselenggaraan atas kerja sama Environmental Research Cluster School of Environmental Science (Sekolah Ilmu Lingkungan –SIL)  UI dan  Regional Knowledge Centre for Marine Plastic Debris of ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asian.

Melanjutkan pernyataannya, Prof. Kasuke menambahkan bahwa penanganan sampah dengan peraturan yang mengikat, diikuti dengan sanksi  yang jelas, dan juga aturan pelaksanaannya, akan lebih memudahkan dalam urusan penanganan sampah.

“Saya melihat di Indonesia, salah satu yang kurang adalah peraturan. Ada Peraturan Menteri, di Pemda Provinsi dan Kabupaten juga perlu membuat regulasi yang lebih detil sehingga ada sinergi antara Peraturan Menteri dan Peraturan Pemda,” ujarnya lagi.

Professor of Development Studies. Kyoto University, Research Institute for Humanity and Nature yang sudah 4 tahun ini sebagai dosen SIL UI, juga menyinggung pentingnya regulasi yang mengikat dan juga tanggungjawab perusahaan yang menghasilkan sampah.

Dalam konteks ekonomi sirkular, Prof. Mizuno menjelaskan, konsep ini memanfaatkan sampah sebagai  sumber ekonomi, artinya sampah bisa diolah dan dimanfaatkan sehingga memiliki nilai ekonomi yang juga tinggi.

“Untuk sampah yang berasal dari kemasan makanan dan minuman, produsen memiliki tanggungjawab yang besar untuk ikut membantu proses daur ulang sampah tersebut, sehingga punya dampak yang berlipat bagi masyarakat. Tanggungjawab produsen itu, dapat dalam bentuk bantuan uang/modal  atau bantuan mesin pengolah sampah daur ulang,” pungkas Prof. Kasuke.

Sementara Senior Advisor to the President on Environmental Issues Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Michikazu Kojima, menambahkan, Pemerintah daerah harus  mengumpulkan sampah yang ditargetkan. Produsen menanggung biaya daur ulang. Pemerintah daerah (Pemda) yang memiliki segregasi lebih baik menerima insentif finansial dari kontribusi finansial produsen.

Produsen diperbolehkan mengatur program pengumpulan. Menurut Kojima, ada empat instrumen  dalam pembuat kebijakan menerapkan EPR  yaiu pertama, persyaratan pengambilan kembali produk, kedua instrumen ekonomi dan berbasis pasar sepertiskema deposit-refund, biaya pembuangan di muka, pajak material, dan pajak kombinasi hulu atau subsidi yang memberikan insentif kepada produsen untuk mematuhi EPR. Kemudian ketiga, peraturan dan standar kinerja seperti konten daur ulang minimum; dan keempat, instrumen berbasis informasi yang menyertainya seperti meningkatkan kesadaran masyarakat.

Empat Mahasiswa SIL Tampil

Dalam seminar yang dilaksanakan secara hybrit ini, ada 4 mahasiswa tingkat master SIL UI yang tampil sebagai pembicara yaitu Yunita Fahmi  dengan ‘The Implementation of EPR for Water treatmen in Industries, Ships and Ports and Ports Opration’ dengan menggunakan ‘Alat Portabel Oil Trap’ untuk penanganan limbah Air dari pembangkit listrik tenaga diesel.

Lalu, Dinni Septianingrum mengenai Extended Producer Responsibility For Waste Management Policy. Kemudian Solichah Ratnasari tentang The Implementation of EPR: National to local government level, dan terakhir Kristie Imelda Mayesty  mengenai Dampak Pertumbuhan Ekonomi Kelapa Sawit terhadap Keberlanjutan.

Yunita Fahmi yang sudah puluhan tahun menangani limbah dari pembangkit di daerah-daerah terpencil dengan produk dari perusahannya, PT Enerflow Engineering Indonesia, menceritakan bagiamana penanganan limbah pembangkit di daerah-daerah terpecil. Dan sampai kini telah terpasang sekitar 200 Portabel Oil Trap di berbagai penjuru daerah terpencil Indonesia.

“Besar sekali manfaatnya untuk mengurangi pencemaran lingkungan, di pembangkit-pembangkit tersebar wilayah Indonesaia.”

Selain itu, Yunita juga menceritakan ‘Reception Facilit’ tempat pengelolaan limbah baik padat maupun cair di pelabuhan yang berasal dari kapal-kapal yang jumlahnya cukup banyak. Harapannya dengan Materi yg dia sampaikan, dia dapat merubah Pemikiran, kalau Limbah itu hanya Cost Centre saja tapi Limbah juga punya nilai Ekonomi bagi masyarakat sekitar dan juga bagi pelabuhan dan kapal itu sendiri.

Penampil berikut adalah Dinni Septianingrum yang membahas tema ‘Extended Producer Responsibility For Waste Management Policy’. Dia menguraikan hasil  penelitian yang dilakukan di Kota Tegal, Jawa Tengah dengan luas wilayah 39,24 km2 dan empat kecamatan. Penelitian ini difokuskan pada perspektif pemerintah.

Dari segi peraturan di Kota Tegal, tanggung jawab produsen telah dilakukan  dengan mesin pengolahnya. Namun tetap harus komprehensif, khususnya mengenai keuangan, informasi, dan tanggung jawab fisik. Dia menyarankan perlu mempertajam implementasi EPR konsepnya, khususnya dalam mengarahkan produser tanggung jawab sepanjang masa pakai produk siklus.

Hal ini dapat dilakukan dengan mengacu pada kebijakan nasional yang saat ini mengatur mengenai hal tersebut peta jalan pengurangan sampah sebagai tanggung jawabnya produsen.

Kemudian, Solichah Ratnasari mengenai implementasi EPR dari tingkat pemerintah pusat hingga daerahMenurutnya, Kebijakan EPR telah ditetapkan di Indonesia, namun kelebihan kapasitas TPA menjadi permasalahan utama. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana implementasi EPR di Indonesia mengingat Indonesia mempunyai kewenangan otonomi daerah.

Penelitian Solichah ini dilakukan di Kota Tangsel yang telah mengeluarkan anggaran untuk membuang sampah domestiknya ke kota lain karena TPA setempat sudah melebihi batas. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan: Apakah kebijakan EPR terakumulasi selama 15 tahun terakhir di Indonesia? Bagaimana implementasi kebijakan EPR dari tingkat pemerintah pusat hingga daerah?

Menurut Solichah, perkembangan implementasi kebijakan menuju EPR memerlukan waktu dan multi-tujuan. Partisipasi pemangku kepentingan untuk menciptakan ekosistem EPR.

Terakhir, Kirstie Imelda mengulas ‘Pengelolaan Limbah Sawit dengan Kearifan Lokal Sebagai Pendekatan Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan di Perkebunan Sawit Rakyat’. Dijelaskan, limbah sawit dapat dibuat kompos untuk menghasilkan pupuk organik bagi pertanian lokal.Metode pengomposan yang tepat mengurangi limbah dan melibatkan penggunaan tanaman untuk membersihkan air limbah sebelum dibuang ke lingkungan.

Kemudian tentang pengolahan air limbah. dari pabrik kelapa sawit memerlukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang. Metode seperti sedimentasi, filtrasi, dan penggunaan tanaman pereduksi dapat digunakan untuk membersihkan air limbah sebelum dibuang ke lingkungan. Juga reboisasi dan konservasi lahan, pengelolaan limbah sawit harus mencakup upaya rehabilitasi lahan terdegradasi.Reboisasi dengan spesies yang memiliki ketahanan lokal membantu memulihkan keseimbangan ekosistem. (Jimmy)