Kecanggihan Teknologi Informasi, Hantarkan Perubahan Signifikan Pada Perilaku Manusia

by
Ilustrasi teknologi informasi. (Foto: Istimewa)
Agus Widjajanto. (Foto: Ist)

Oleh: Agus Widjajanto SH.MH. (Praktisi Hukum dan Penulis dan Pemerhati Polsosbud)

PESATNYA perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih menghantarkan perubahan signifikan pada perilaku manusia. Pada gilirannya, perubahan tersebut turut mempengaruhi tatanan masyarakat dari suatu negara, termasuk dalam kehidupan dunia modern saat ini yang tanpa adanya batas Negara.

Kendati begitu, menurut pendangan praktisi Hukum dan Penulis dan Pemerhati Polsosbud, Agus Widjajanto SH.MH., masing-masing negara tentu mempunyai tatanan dan aturan berupa norma hukum dan dogma hukum positif. Tatanan dan aturan ini dibentuk untuk mengatur dan menjaga ketertiban serta keamanan masyarakat dengan menyesuaikan karakter dari setiap bangsa.

“Demikian halnya Indonesia, mempunyai regulasi dan tatanan aturan hukum positif yang diciptakan dan diterapkan. Tujuannya untuk mengatur dan menjaga ketertiban dan keamanan bagi setiap warga negara dan orang asing yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ujarnya.

Namun harus diakui bahwa kemajuan tehnologi informasi disertai dengan munculnya era baru yaitu perdagangan bebas membuat semuanya menjadi lebih mudah. Di sisi lain, juga membawa dampak negatif, karena membuat masyarakat Indonesia rentan dari pengaruh budaya dari luar, dan bisa terkontaminasi budaya dan ideologi asing sehingga berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara. “Sebab itu, menjadi penting adanya protreksi atau penguatan atas derasnya pengaruh budaya baru yang datang dari luar. Karena pengaruh budaya asing dapat menggoyahkan dan menghilangkan jati diri dari bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan memegang teguh adat ketimuran,” sebut Agus.

Memegang Teguh Pancasila

Menilik sejarah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kemerdekaannya diproklamirkan oleh Ir. Soekarno – Mohammad Hatta, dikaitkan dengan kondisi kekinian, menurut Agus Wiadjajanto, menghadirkan fungsi dan kedudukan Pancasila menjadi sangat penting. Terlebih, Pancasila merupakan acuan termasuk generasi muda dalam bersikap bertindak dan bertutur kata yang sesuai dengan lima sila yang saling menjiwai dan dijiwai. Bahkan, Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dilaksanakan bertepatan pada hari Jumat di bulan Ramadhan, bagi masyarakat Indonesia dianggap hari sakral dan merupakan karunia terbesar bagi bangsa ini dari Yang Maha Kuasa. Karena itu menjadi penting pula bagi generasi muda untuk mengetahui sejarah proses pembentukan Pancasila sebelum Indonesia Merdeka.

Diungkapkannya pula bahwa pendiri bangsa saat itu, dimana penguasa militer Jepang di Indonesia membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan setelah menyerahnya jepang kepada sekutu dimana dalam suasana kebatinan yang sangat emosional, dalam sidang pembahasan falsafah negara sebagai dasar dan fondasi serta Soko Guru atau Tiang Utama struktur rancang bangun dari sebuah negara. Dalam pidatonya pada 1 juni 1945, Bung Karnl kemudian mengetengahkan nilai-nilai luhur bangsa yang merupakan warisan dari para leluhur. Dari kerajaan-kerajaan besar yang dijabarkan secara tertulis melalui Kitab Negara Kertagama dan Kitab Sutasoma serta Serat Tembang Wredatama dan Ajaran Wulang Reh.

Nilai-nilai luhur bangsa ini dikenal dengan nilai-nilai Pancasila sekaligus dijadikan sebagai hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945. Penting diketahui juga bahwa dalam menyusun Pancasila sebagai Dasar Negara, Bung Karno terilhami adanya suatu pemerintahan yang berdasarkan Ketuhanan yang Esa. Pemerintahan yang melindungi segenap tumpah darah rakyatnya. Pemerintaqhan yang menghargai perbedaan bagi setiap pemeluk agama dan keyakinannya. Pemerintahan dimaksud merujuk kata-kata legendaris dalam Kitab Sutasoma, Hindu Tatwa, Bhuda Tatwa, Tan Hanna Dharma Mangrwa, Bhineka Tunggal Ika.

Maksudnya atau dapat diartikan bahwa dalam pemerintahan saat itu juga ada pemeluk Agama Hindu dan pemeluk Agama Buddha. Namun begitu, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu dalam naungan Negara. Dalam bahasa sederhananya tiada pengabdian yang abadi kecuali kepada Tuhan yang Maha Esa.

Para pendiri bangsa menempatkan Sila Pertama dalam Pancasila sebagai Dasar Negara. Suatu pondasi bahwa Indonesia dibentuk sebagai negara yang berketuhanan tapi bukan Negara Agama. Melainkan dari penyatuan berbagai perbedaan, baik suku, ras, agama dan adat istiadat.

Sila Pertama Pancasila sekaligus menegaskan komitmen bahwa Negara hadir dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya atas kerukunan dalam beragama. Oleh sebab itu sila pertama itu berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Untuk Sila Kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab, Bung Karno diilhami oleh Ajaran Wulang Reh yang diiciptakan oleh Sri Paduka Pakubuwono IV dari Keraton Surakarta. Raja Kasunanan Surakarta ketiga itu mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa dan dari golongan-golongan yang berbeda. Selain itu kaitannya selaku penguasa atau raja terhadap anggota masyarakat.

Ajaran Wulang Reh mengandung aspek-aspek sosiologi terutama dalam bidang intergroup relation atau hubungan antar kelompok. Seperti aspek moral, aspek sosial, aspek pendidikan, aspek ekonomi dan aspek saling asah asih asuh dalam masyarakat. Tentunya dengan mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dalam masyarakat.

Untuk Sila Ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”, Bung Karno diilhami dari Kitab Negara Kertagama dan Kitab Sutasoma. Kitab itu mengajarkan tentang tata pemerintahan pada masa kerajaan besar masa lalu. Dimana rakyat harus bersatu padu agar mempunyai rasa nasionalisme dan menjunjung tinggi bangsa dan negaranya.

Untuk Sila Keempat Pancasila “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat, Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan”, Bung Karno selaku pencetus dan penggali Pancasila diilhami dari tata pemerintahan desa yang sangat harmonis dab sudah memounyai perangkat oemerintahan sendiri sejak dulu kala pada kerajaan-kerajaan besar. Dari Kerajaan Singosari, Kerajaan Majapahit, Demak Bintoro, Kerajaan Mataram (Islam), Ngayogjokarto Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat.

Bahwa sesungguhnya Indonesia memang dibentuk dan didesain seperti halnya pemerintahan desa tapi dalam skala Negara atau Nasional. Dimana setiap keputusan selalu diambil melalui kesepakatan dari hasil musyawarah dan mufakat dari tokoh-tokoh desa melalui Rembuk Desa untuk memilih pemimpin nya dan mengambil keputusan penting .

Saat mendesain Hukum Dasar Negara melalui panitia kecil pembahas pembentukan Undang Undang Dasar, team kecil yang diketuai Ir Soekarno membuat suatu sistem perwakilan yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lembaga yang ditempatkan paling terhormat dalam Hukum Dasar Negara sebagaimana diatur Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945.

Di samping sumber tertulis dalam negeri dari warisan luhur bangsa, Bung Karno atas masukan bimbingan para sesepuh juga mengambil dari Piagam Madinah. Sebuah perjanjian yang dibuat Nabi Muhammad dengan berbagai kalangan. Piagam 47 Pasal Utama dengan 10 bab itu dibuat Nabi Muhammad setelah hijrah ke Madinah dari Mekkah bersama dengan para kaum Muslimin.

Piagam Madinah menciptakan Kota Madinah yang saat itu sangat plural menjadi kota yang penuh kedamaian dan menghargai satu sama lain. Piagam Madinah itu sangat visioner dan menjangkau pola pikir para pendiri bangsa ini. Apalagi perjanjian itu menjangkau waktu hingga ratusan tahun ke depan. Sebuah pembelajaran yang sangat berarti mengenai pentingnya meletakkan kepentingan bangsa dan negara diatas golongan.

Terakhir Sila Kelima Pancasila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, Bung Karno diilhami dari tata kehidupan dalam tulisan Kitab Negara Kertagama dan Ajaran Wulang Reh dari Sri Paduka Pakubuwono ke IV. Kitab dan ajaran itu berisi nilai-nilai luhur bangsa selaku warisan leluhur yang dijabarkan melalui hidup gotong-royong, guyub dan rukun untuk mencapai kemakmuran bersama.

Melihat kondisi sistem perekonomian Dunia saat ini yang merujuk pada sistem liberal dimana timbul lahirnya kongkomirasi diseluruh Dunia, dan di Indonesia sendiri, berakibat adanya jurang pemisah yang makin dalam antara yang kaya dan yang miskin, perlu peran regulasi dari pemegang kekuasaan agar bisa tercipta keseimbangan, pemerataan secara ekonomi dan kehidupan sosial.

Menilik sejarah dan membandingkan dengan kondisi kekinian, rasanya akan sulit bagi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat sesuai amanat konstitusi. Itu karena sistem politik kita mengarah pada sistem liberal. Misalnya, Pemilu yang seharusnya diselenggarakan berdasarkan prinsip jujur dan adil menjadi kehilangan ruhnya. Sebab Pemilu Langsung memerlukan dukungan konglomerasi karena tingginya biaya politik yang harus ditanggung peserta pemilu.

Generasi muda bangsa perlu belajar dari sejarah. Pasalnya, untuk memahami bangsa dan sistem ketatanegaraan harus mempelajari proses pembentukannya, kondisi emosional kebatinan dan aspek sosiologi dari masyarakat saat itu. Berikut pola pikir para pembentuk dan pendiri Bangsa.

Sangat disayangkan generasi muda bangsa sangat minim atas pembelajaran sejarah bangsa. Apalagi sekarang tidak lagi diajarkan pendidikan budi pekerti seperti jaman dulu yang diterapkan secara wajib dalam proses belajar mengajar dalam strata pendidikan dasar hingga menengah. Padahal di usia itulah paling krusial untuk membentuk karakter dan kepribadian anak bangsa. Semoga menjadi pertimbangan agar sistem pendidikan dikembalikan dengan adanya pembelajaran Budi pekerti sesuai karakter bangsa dan sejarah bangsa ini. ***