Harmoni dalam Deru Demokrasi: Mengawal Nafas Kebangsaan di Pemilu 2024

by
Pemilu Demikrasi. (Ilustrasi/Foto: Ist)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Tepat setiap lima tahun, negeri yang memiliki kekayaan dalam perbedaan memasuki babak baru dalam perjalanannya sebagai sebuah bangsa.

Namun, pemilihan umum (Pemilu) yang dilakukan seringkali menempatkan semangat persatuan dan kesatuan di ujung tanduk perpecahan karena beda pilihan.

Sehingga tak bisa dipungkiri, proses pemilu memerlukan energi besar untuk menjaga agar perbedaan pilihan tak meruntuhkan semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Kepentingan berbagai kelompok dapat menimbulkan kisruh, tetapi juga bisa menjadi pondasi bagi penguatan kebangsaan serta perkembangan demokrasi.

Kontestasi politik yang lahir dari pertempuran pemikiran berbeda mengenai persoalan di ruang publik, namun menjauh dari ancaman konflik dan mempererat semangat kebangsaan harus menjadi tujuan utama.

Salah satu pendekatan yang mungkin bisa diterapkan adalah membangun platform komunikasi yang positif dan inklusif. Sinergi antara pemerintah, media, dan masyarakat adalah kunci membentuk narasi yang mengedepankan persatuan.

Ruang dialog terbuka menjadi jalan untuk memahami berbagai pandangan, menghindari pertentangan yang tak perlu, serta menciptakan lingkungan di mana pemilih merasa diberdayakan untuk membuat keputusan yang bijak.

Pendidikan politik yang lebih menyeluruh menjadi faktor penting. Masyarakat harus memahami betapa krusialnya Pemilu sebagai cerminan demokrasi. Pendidikan politik tidak hanya tentang proses pemilihan, tetapi juga nilai-nilai dasar demokrasi, hak asasi manusia, dan peran masyarakat dalam menjaga keadilan.

Namun, dalam praktiknya, terdapat pandangan yang menunjukkan bahwa pemilu seringkali hanya menjadi panggung untuk meraih dukungan elektoral semata.

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyoroti hal ini. Menurutnya, nafas kebangsaan kerap terhempas oleh isu-isu kosong yang hanya menjadi jargon, dan para kontestan kadang memanfaatkan sentimen kelompok untuk meraih dukungan.

Dalam situasi pragmatisnya, tanggung jawab terbesar ada pada para elit bangsa. Para calon presiden dan wakil presiden, pimpinan partai politik, organisasi masyarakat, dan lembaga keagamaan harus tetap menonjolkan sisi kenegarawanan.

Yang tak hanya berorientasi pada kemenangan calonnya, tetapi juga harus menghargai kandidat lain dan pendukung-pendukungnya.

“Kalau para pemimpin atau elit terbawa pada situasi sehingga ikut memanas-manasi situasi, maka keterbelahan dalam masyarakat akan terjadi. Apa yang dilakukan kaum elit itu, dengan mudah akan memprovokasi masyarakat pada saat pemilu berlangsung,” kata Lucius kepada Beritabuana.co, di Jakarta, Jumat (11/7/2023).

Harus disadari bahwa kontestasi politik menarik perhatian masyarakat untuk terlibat dalam proses politik, tetapi harus tetap menjaga nilai-nilai persatuan yang melekat dalam tubuh masyarakat. Kontestasi politik seharusnya fokus pada isu-isu relevan dan menguntungkan kedua belah pihak.

“Jadi walaupun pemilu penuh dengan intrik untuk bisa meraih suara, para elit ini harus mampu mengekspresikan situasi dengan bijak,” sebut Lucius.

Lebih dari itu, pentingnya mendorong partisipasi pemuda dalam proses politik juga harus menjadi perhatian yang besar. Lantaran, pemuda memiliki energi, semangat, dan pandangan yang segar untuk membawa perubahan positif.

Mereka juga cenderung lebih terbuka terhadap perbedaan dan memiliki potensi untuk meminimalisir konflik.

Keterlibatan tokoh agama dan masyarakat sipil juga menjadi kunci penting dalam menjaga kontestasi politik agar tidak menimbulkan ketegangan. Sebagai mediator, mereka membawa perspektif yang lebih luas, dan membantu menghindari retorika yang merusak semangat kebangsaan.

Peran Wakil Rakyat

Di bawah sorotan terik matahari, sebuah kisah berharga tumbuh dalam semangat perjuangan para wakil rakyat, yang berasal dari partai politik, menjadi pilar penting dalam negeri ini.

Tugas mereka bukan hanya menyuarakan aspirasi, tetapi juga menjaga api semangat kebangsaan yang harus terus berkobar dalam gelombang perubahan.

Sebagai pelindung nilai-nilai kebangsaan yang harus dijaga, mengingatkan bahwa Pemilu 2024 merupakan perhelatan demokrasi yang harus disemarakkan dengan sikap riang gembira, tanpa ruang bagi hoaks dan fitnah yang merusak persatuan.

Maman Imanul Haq, seorang politisi berdedikasi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menegaskan bahwa Pemilu 2024 seharusnya menjadi “voice” (suara) dalam demokrasi, bukan “noise” (bising) yang merusak harmoni.

Dia percaya pada edukasi positif kepada masyarakat, tentunya dengan mengajak elemen masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam proses pemilu dengan penuh tanggung jawab.

Sebab, pemilu adalah sebuah pesta, pesta yang harus didasari oleh sikap yang baik, tidak ada ruang bagi hoaks dan fitnah yang hanya akan merusak semangat kebangsaan.

Anggota MPR RI dari Fraksi PKB ini pun memahami betapa pentingnya hak pilih dalam pemilu mendatang. Karena itu, ia mendorong masyarakat untuk mengenali hak-hak mereka dan mengerti betapa berharga setiap suara.

Menurutnya, kompetisi yang sehat dalam pemilu juga harus terus digelorakan di media. Pemangku kebijakan harus mengajak media, termasuk media sosial, untuk bersikap rasional, edukatif, dan sistematis.

“Tidak ada tempat untuk pembelahan atau kampanye hitam. Netralitas adalah kunci, semua penyelenggara pemilu, termasuk aparat, harus bertindak adil, karena ini adalah panduan bagi masyarakat untuk berperilaku adil,” ucap Maman kepada Beritabuana.co.

Tentunya, lanjut ia, menekankan bahwa ide dan gagasan untuk Indonesia yang lebih baik harus disodorkan dengan tulus. Tidak perlu menciptakan ketakutan, hoaks, atau fitnah di antara calon atau partai maupun antara sesama masyarakat.

“Tidak perlu adanya pembelahan, tidak perlu adanya istilah-istilah saling menegasikan, apalagi black atau pun negative campaign maupun negatif yang tidak berguna sama sekali,”paparnya.

Oleh karena itu, perayaan demokrasi lima tahunan ini harus dijalani dengan kesadaran dan tanggung jawab.

Tentunya melalui upaya kolaboratif seluruh elemen bangsa, sehingga Indonesia dapat menjalani kontestasi politik tanpa mengorbankan semangat kebangsaan itu sendiri. (Norvrizal Sikumbang)