Strategi China untuk Merebut Super Power

by
Bendera negara China. (Foto: Istimewa)
Freddy Numberi. (Foto: Ist)

Oleh: Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi

Pengantar

“As the Chinese said, a journey of a thousand miles begins with a single step – Seperti kata orang Cina, perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah”. (Fox Butter field, China Alive in the Bitter Sea, 1982:hal.VII) Menurut Presiden Xi Jinping bukan menghasilkan suatu partai komunis China yang kuat, melainkan menjadikan China yang kuat dalam segala bidang dan terhormat diantara bangsa-bangsa di dunia. (Kerry Brown, China’s Dream, Polity Press, Cambridge, 2018:hal.49).

Pada tahun 2013 saat mengunjungi Kazakstan, Presiden Xi mengatakan, “Promosikan persahabatan dengan orang-orang dan ciptakan masa depan yang lebih baik” serta mengenalkan Silk Road Economi Belt (SREB) sejalan dengan Maritime Silk Road (MSR) pada abad ke-21.(Prof. Dr. Cipto, MA, Yogyakarta, 2018:hal.151).

Secara kolektif disebut Belt and Road Initiative (BRI) dinyatakan di Jakarta pada 8 Mei 2014. Pada “Belt and Road Forum” di Beijing bulan Mei 2017, Presiden Xi Jinping mengatakan: “Konektivitas infrastruktur adalah dasar dari Kerjasama melalui pembangunan….Kita harus meningkatkan jaringan logistic transregional dan mempromosikan kebijakan konektivitas, aturan, dan standar sehingga dapat menyediakan Lembaga keamanan untuk meningkatkan konektivitas” (Xinhuanet 2017).

Pembahasan

Setelah ‘Perang Dingin’ usai, dengan runtuhnya Uni Soviet pada awal tahun 1990- an menjadikan Amerika Serikat (AS) satu-satunya super power yang masih bertahan hingga saat ini. Kemajuan China yang sangat pesat dewasa ini dalam bidang ekonomi, sains, maupun teknologi membuat China patut diperhitungkan sebagai “Super Power” berikutnya.

Dorongan diplomatik yang memposisikan China sebagai Super Power utama ini dapat dilihat dari modernisasi China, sebuah konsep nasionalis yang telah lama dipegang bangsa China. Setelah Presiden Xi Jinping terpilih mengambil alih kekuasaan di China maka Xi dipercayakan untuk melakukan modernisasi, kata Zhang Xin, seorang professor dalam politik dan hubungan internasional di East China Normal University.
Itu merupakan impian Presiden Xi Jinping untuk menjadikan China bukan hanya sebagai Global Player tetapi sebagai Super Power berikutnya. 2 | 2 Kebangkitan China dalam waktu 30 tahun mengubah dirinya dari negara berkembang menjadi negara dengan kemampuan ekonomi melebihi AS. Kecepatan China dalam mengembangkan teknologi membuat China semakin percaya diri untuk menantang AS. Hal ini tidak bisa dibendung dan menimbulkan rasa terancam di kalangan elite AS.

Penutup

Kent E. Calder, mengatakan:”One important means of confidence building must surely be deepening the US-China dialog over economic matters of real political and security significance for China, where transpacific cooperation is feasible and mutually beneficial – Salah satu cara penting untuk membangun kepercayaan tentunya harus memperdalam dialog AS-China mengenai masalah ekonomi yang memiliki signifikansi politik dan keamanan yang nyata bagi China, di mana kerja sama transpasifik dimungkinkan dan saling menguntungkan.” (Kent E. Calder, Pacific Defence, New York, 1996:hal.216).

Menurut Xi Jinping, BRI merupakan strategi China untuk mewujudkan “Impian China”, yakni terbentuk suatu negara sosialis China yang kuat dan makmur pada 2050 dan merupakan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi di tingkat internasional. Beijing menyadari bahwa AS memiliki banyak teman yang kuat.

Itulah sebabnya mengapa dalam strategi China adalah “dunia multi kutub” yang memiliki banyak kekuasaan. China dalam bidang politik luar negeri, ekonomi, sains dan teknologi serta bidangbidang strategis lainnya, merefleksikan bahwa bangsa China sedang maju menuju Super Power yang tampaknya semakin sulit dicegah oleh AS sekalipun.

Fakta sejarah masa lalu tentu dapat menjadi rujukan bahwa China bagaimanapun juga tetap memiliki ambisi merebut kembali status sebagai Super Power, paling tidak menjadi negara terkuat dalam bidang ekonomi, militer dan politik. Hal ini menjadi “suatu lingkaran setan” (vicious circle) bagi AS. (Bill Hayton, The South China Sea The Struggle for Power in Asia, Yale University Press, London, 2014 : hal. 204). (Penulis adalah mantan Menhub, mantan Menpan-RB, mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, mantan Dubes RI untuk Italia dan Malta, mantan Gubernur Papua, serta pendiri Numberi Center). ***