Baca di Tebet Hadirkan Perempuan Aktivis Asal Banjarbaru, Huda Nur

by
Giat wicara yang mengusung tema ‘Perempuan Aktivis, Komunitas, dan Lokalitas’ tersebut berlangsung selama 3 jam, di Ruang Roy BB Janis di Perpustakaan Baca di Tebet. (Foto: Ist)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Seri proses kreatif penulis#4 menghadirkan penulis sekaligus pegiat sosial asal Banjarbaru yaitu Hudan Nur pada Sabtu kemarin (3/6/2023) di Ruang Roy BB Janis, Perpustakaan Baca di Tebet, Jakarta. Giat wicara yang mengusung tema ‘Perempuan Aktivis, Komunitas, dan Lokalitas’ tersebut berlangsung selama 3 jam dengan suka cita kisah dipandu Capung Suprayogi.

Pada kesempatan itu, tiga teman wicara Hudan yang dipilih penyelenggara acara tak lain adalah orang-orang yang mengenal Hudan, baik dari segi kekaryaan maupun sosok pribadi selama bergaul di simpang masa.

Kurnia Effendi, Ita Siregar, dan Sihar Ramses Simatupang menyidang Hudan Nur sebagai teman wicara dengan penuh ketelitian, sangkaan, sekaligus pandangan yang berpihak perihal aktivitas yang digeluti Hudan sepanjang lebih dari dua dekade.

Kurnia Effendi, Sastrawan Indonesia sekaligus sepuh yang mengikuti jejak kepengarangan Hudan mengatakan bahwa 15 tahun lalu Hudan yang dikenalnya sebagai penyair Banjarbaru itu pernah mengalami sebuah kecelaaan lalu lintas di sebuah RS Banjarmasin. Tapi, dokter dan paramedis menyembunyikannya.

“Saya pernah mendapat tugas kantor dari perusahaan saya bekerja. Kunjungan tugas di Banjarmasin tahun 2008, kala itu saya mendapat kabar Hudan mengalami kecelakaan lalu lintas. Saya berniat membesuk ke RS, tapi paramedis dan pihak RS tak mengizinkan saya menengoknya. Kemudian, tahun 2017 saat mendiang Agustina Thamrin membujuk dirinya untuk mengikuti Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, pagi jelang diskusi seminar hari pertama Hudan melintas dan mengajak berswafoto yang sedang siap difoto, tanpa saya tahu datang dari mana,” kenang Kurnia Effendi yang akrab disapa KEF di hadapan peserta Membaca Hudan Nur.

KEF juga pernah meminta Hudan mengirimkan 10 puisi Hudan pada November 2018, untuk tampil di Majas edisi perdana (majalah sastra dan gaya hidup yang digagas dan terbitkan berlima: Ana Mustamin New, Kurniawan Junaedhie, Agnes Majestikan, Valent Mustamin, dan KEF).

Sementara itu, Ita Siregar yang ditunjuk Capung sebagai teman wicara kedua menyebut Hudan sebagai sosok yang pecinta kata-kata, pemerhati keluarga, dan aktivis multi kegiatan di daerahnya.

“Di perjalanan pagi tadi, saya sempat melihat Hudan mengontak anaknya dengan panggilan video,” ungkapnya.

Disaksikan para pengunjung Perpustakaan Publik Baca Di Tebet, menyidang Hudan lewat Membaca Hudan Nur juga dihadiri, antara lain; Edi Wiyono selaku Pemred Perpusnas Press, Yogi CNN Indonesia, Debra H. Yatim, Stebby Julionatan, Endah Sulwesi, Kanti W. Janis, Mahwi Air Tawar, Edrida Pulungan, Angga, dll.

“Sedimentasi kebudayaan terjadi di Banjarbaru, ada bahasa Dayak, bahasa Banjar dan lain-lain yang mengalir dan semua itu diserap oleh Hudan dalam berkarya. Saya mengenal Hudan sejak tahun 2000-an,” ujar Sihar Ramses Simatupang, jurnalis cum penyair yang kerap bertemu Hudan di sejumlah kenduri sastra.

Sihar menambahkan bahwa Hudan gesit membina jaringan. Cekatan berpindah tempat. Tahu menempatkan dialog di ruang dan waktu yang tepat dalam setiap momen peristiwa sastra. Mengenal setiap generasi sastra di berbagai tempat.

“Itulah yang saya tangkap dari Hudan Nur. Momen ngopi-ngopi dia sudah cukup,” paparnya.

Sebagai perempuan lintas komunitas dan aktivitas, Hudan sering terlibat giat-giat budaya dan kemasyarakatan di lingkungan tempatnya tinggal. Sesekali ikut mengadvokasi kelompok masyarakat dan mengurai jalan untuk kelompok bertumbuh mekar.

“Berbicara tentang lokalitas dan komunitas. Saat ini hampir semua komunitas sibuk dengan dirinya masing-masing,” beber Wien Muldian, pendiri BDT.

Konten komunitas yang dikerjakan hampir tidak kontekstual dengan masyarakat, tambah Wien. “Bagaimana konten komunitas bisa kontekstual dengan masyarakat bila konten tidak kontekstual dan yang terjadi malah pemaksaan konten apa yang dibuat. Masyarakat diminta untuk memahami apa yang dikerjakan komunitas, sementara komunitas abai memahami kontekstual masyarakat. Sehingga sibuk dengan imajinasinya masing-masing,” pungkasnya. (Ery)