Sulut Harus Mengadopsi Pariwisata Berkelanjutan Seperti Bali

by
Ketua Lestari Fransiska Rumagit dan Ketua Panitia H. Runtunuwu bersama Ronny F Sompie. (Foto: Nico)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Potensi wisata di Sulawesi Utara saat ini menjadi perhatian semua pihak baik pemerintah maupun swasta. Tapi agar potensi itu bisa dikembangkan perlu ada konsep sustainable tourism atau pariwisata berkelanjutan. Pengembangan konsep berwisata berkelanjutan dapat memberikan dampak jangka panjang.

Konsep pariwisata berkelanjutan menjadi topik yang dibahas oleh praktisi pariwisata Sulawesi Utara Prof Winda Mingkid, dan Irjen Pol (Purn) Ronny Sompie, dalam Seminar Pariwisata Berbasis Lingkungan dan Kebudayaan bersama Lembaga Strategis Pariwisata Republik Indonesia (LESTARI), di salah satu restoran di Kota Manado, Sabtu lalu.

Prof Winda Mingkid dengan latar belakang akademisi dan Irjen Pol (Purn) Dr Ronny Sompie SH, MH, yang pernah menjabat sebagai Kapolda Bali, memiliki pemahaman dan pengalaman luas tentang pentingnya pariwisata berkelanjutan.

“Sebuah pariwisata tidak bisa berjalan berkelanjutan kalau hanya satu segi saja yang jalan, tapi harus memenuhi tiga hal yaitu ekonomi, sosial ekonomi dan lingkungan agar generasi anak cucu kita bisa menikmati hal itu,” ujar Prof Winda membuka materinya.

Pariwisata berkelanjutan, menurut Winda Mingkid harus memenuhi beberapa unsur.

Pertama, melakukan perlindungan pada bagian-bagian sensitif, yaitu taat terhadap aturan yang berlakukan, misalnya menaati larangan menangkap ikan di kawasan taman laut, atau tidak menebang pohon pada wilayah hutan lindung.

Kedua, pengelolaan pengunjung pada situs alam, dapat dilakukan dalam beberapa bentuk yang tujuannya untuk mencegah kerusakan sumber daya dan memberikan kenyamanan bagi pergerakan pengunjung.

Ketiga, transportasi berdampak rendah emisinya terhadap lingkungan, misalnya sepeda, kendaraan listrik, atau berjalan kaki.

Keempat, cahaya berlebihan dan kebisingan, contoh kecil yaitu mengurangi acara pesta musik hingga tengah malam di kompleks dekat hotel, cottage atau home stay.

Di sisi lain, disampaikan juga beberapa faktor eksternal yang sangat mempengaruhi pariwisata, mulai dari stakeholder pariwisata, Tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR), promosi, monitoring dan evaluasi.

“Kata kunci untuk pariwisata berkelanjutan yaitu bagaimana kearifan lokal, pelibatan stakeholder, pelestarian lingkungan bisa berjalan baik. Bila tiga hal ini bisa berjalan dengan baik maka satu destinasi wisata tersebut bisa dikatakan berkelanjutan dan berhasil. Tujuannya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 dan Pancasila, juga Undang Undang nomor 10 tahun 2009 tentang pariwisata,” tutup Prof Winda.

Sementara itu, Irjen Pol (Purn) Ronny Sompie, ikut berbagi pengalaman melihat sejumlah pariwisata berbasis lingkungan dan budaya.

Dewan Pembina Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK) yang pernah menjabat Kapolda Bali (2015) banyak mempelajari cara stakeholder di sana mempertahankan kearifan lokalnya.

“Saya memang melihat bagaimana budaya agama dan kegiatan kepariwisataan di Bali seperti se arah, saling mendukung satu sama lain. Nah Sulut juga sudah punya kearifan lokal berkaitan dengan budaya. Ini menjadi salah satu kontribusi bagi pembangunan pariwisata berkelanjutan di bidang budaya,” ujarnya.

Ronny Sompie juga memberi nilai plus pada pemerintahan Bali yang menetapkan Peraturan Daerah (Perda) terkait pariwisata dan budaya.

“Indonesia kaya dengan pariwisata berkaitan dengan alam dan budaya. Misalnya kalau ke Bali, bagaimana kita meniru Bali? Jangan hanya plesir tapi apa yang bisa kita ambil di sana? Bali punya Perda tentang budaya, misalnya ketinggian bangunan di Bali di atur tidak melebihi bangunan empat lantai. Mereka punya Institut Seni yang bekerjasama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten kota untuk mengembangkan kesenian. Ini patut dicontoh,” kata Sompie.

Paca contoh kecil, Eks Dirjen Imigrasi ini memberi masukan agar perlu dipikirkan tentang penyajian tari-tarian yang lebih variatif ketika menjemput tamu, mulai dari bandara, hingga ke lokasi.

“Sekarang penerbangan internasional sudah dibuka. Apa yang bisa kita sajikan? Kalau bisa diatur, tarian di bandara yang mana, lalu di lokasi kegiatan tarian yang berbeda, agar variatif. Kemudian berkaitan dengan budaya, ada ibadah menggunakan Kolintang, sehingga ada orang asing datang, maka musik Kolintang dipadukan dengan musik modern, mungkin bisa menjadi daya tarik sendiri,” usulnya.

Di sisi keberlanjutan, Ronny Sompie melihat, perlu ada ada pelatihan secara top down serta inovasi yang tidak bertentangan dengan Undang-undang Pariwisata dan Budaya.

“Terakhir, jangan lupa perbaiki infrastruktur pariwisata. Ini bukan hanya tugas pemerintah, masyarakat atau stakeholder harus juga mengingatkan pemerintah. Contohnya, pembangunan trotoar mengelilingi Danau Tondano sehingga bisa jadi track lari, dan lomba. Menurut saya ini menarik,”ujar Ronny.

Selain itu, kata Ronny pengembangan wisata alam sangat berkaitan dengan kondisi geografis dan pembangunan infrastruktur yang bisa memudahkan wisatawan menikmati wisata alam melalui akses perjalanan darat yang terjangkau.

Sementara aktivis lingkungan dan pariwisata Esly Matheos menyampaikan rasa senang apabila kegiatan seperti ini rutin dilaksanakan bahkan oleh pihak swasta (asosiasi) seperti Lestari.

“Kami membuka ruang kepada semua yang ingin memajukan pariwisata di Sulawesi Utara,” jelas Ketua Lestari Manado, Marthenus Sury. (nico)