Disruptive dan Digital Literasi Googelisasi (googlization) yang Mengubah Pola Komunikasi Masyarakat dalam Berinteraksi

by
Sujonsen. (Foto: Ist)

REVOUSI industri 4.0 merupakan proses kelanjutan dari revolusi industri sebelumnya, mulai dari revolusi pertama yang menemukan mesin uap dan kereta api (1750-1830), kemudian kedua, penemuan, kimia, alat komunikasi, listrik dan minyak (1870- 1900), dan ketiga, penemuan komputer, internet, dan seluler sampai pada teknologi digital dan informasi (1970—an hingga sekarang). Revolusi industri yang telah berada pada gelombang keempat, yang dikenal sebagai revolusi industri 4.0. Revolusi 4.0 yang menghasilkan teknologi digital telah mendasari koneksi data dalam skala besar, luas serta berlangsung dengan super cepat yang kejadiannya tidak pernah kita bayangkan. Revolusi industri 4.0 merupakan tren proses produksi yang berbasis teknologi digital yang menciptakan perubahan pada semua sektor kehidupandan melahirkan teknik-teknik produksi terkini, yang mampu meningkatkan produktivitas serta efisiensi secara berkelanjutan.

Industri 4.0 adalah teknologi digital yang melahirkan teknologi cerdas diantaranya; kecerdasan buatan (artificial intellegence), mahadata (bigdata), robot, teknologi finansial, perdagangan elektronik (e-commerce), pemasaran elektronik (e-marketing). Hampir semua kegiatan industri baik di sektor manufaktur maupun jasa kini menggunakan teknologi digital. Di era disruptive tidak hanya perusahaan-perusahaan besar kelas dunia yang terganggu (disrupted) dengan hadirnya teknologi masa kini. Teknologi digital menciptakan perubahan secara terus-menerus dan menjadi gangguan dalam proses produksi, dan tatanan kehidupan sosial ekonomi-budaya. Teknologi digital meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat akibat pengaruh kemajuan teknologi membuat beberapa pekerjaan terancam hilang tergantikan dengan jenis-jenis pekerjaan baru sehingga sumber daya manusia harus dipersiapkan untuk menghadapi datangnya era masa depan tersebut.

Tidak hanya itu, beberapa kemajuan teknologi yang memiliki pengaruh besar di dunia pendidikan nantinya paling banyak didominasi oleh hadirnya teknologi informasi. Seperti halnya 3D Digital Printing, Virtual and Augmented Reality, Gamification, Artificial Intelligent, dan Learning Analytics. bahkan menurut Lim Tai Wei (2019) dalam bukunya Industrial Revolution 4.0, Tech Giants, and Digitized Societie mengatakan bahwa awal abad 21 sebagai era industri 4.0 dikarakteristikkan dengan perkembangan artificial intelligence (AI), manufaktur aditif, robot dan kendaraan otomatis, mesin yang dikontrol algoritma, software/ aplikasi yang mampu memprediksi perilaku berbasis algoritma, dan revolusi media sosial. Thangaraj, dan Narayanan (2018) mengatakan industri berkoneksi dengan IoT (internet of things) yang memungkinkan teknik manufaktur untuk berbagi informasi, menganalisis dan memandu aksi cerdas dalam bentuk robot, AI, teknologi kognitif, dan augmented reality.

Dalam era digital, teknologi telah mendominasi kehidupan manusia sekarang dan masa depan. Teknologi telah dipahami dari berbagai pendekatan. Menurut Boone dan Kurzt (2000) teknologi diartikan sebuah aplikasi dari pengetahuan yang didasarkan atas berbagai penemuan dan inovasi ilmu pengatahuan. Dari aspek sosial Perrow (1967, dalam Robbins,1990) teknologi dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan seorang individu terhadap sebuah objek, dengan atau tanpa bantuan alat atau perlengkapan mekanis, untuk membuat perubahan tertentu pada objek tersebut. Literasi digital yang sekarang digaungkan memiliki pengaruh yang akan menciptakan masyarakat dengan pola pikir, membangun komunikasi serta pandangan yang kritis dan kreatif terhadap media digital. Tentunya Literasi digital merupakan suatu kemampuan seseorang dalam memahami, menganalisis, dan mengevaluasi suatu informasi dengan menggunakan teknologi digital saat ini.

Sebuah Data yang tersaji dari Data Global Internet Traffic Forecast (Cisco, 2022) menyebutkan lalu lintas internet global telah mencapai 278 exabyte per bulan pada tahun 2021. Angka ini menunjukkan adanya pertumbuhan yang masif dan ketergantungan masyarakat pada komunikasi sekaligus menegaskan adanya kemajuan konektivitas yang berkualitas. Tentunya hal ini akan menimbulkan sebuah pertanyaan besar, Sejauh mana kita mampu mengimbangi cepatnya kemajuan teknologi dan derasnya aliran informasi ini dan membekali diri dengan pengetahuan untuk memanfaatkan internet secara bijak dan bertanggung jawab? Menteri Komunikasi dan Informatika Repbulik Indonesia Johnny Gerard Plate dalam siaran Pers Siberkreasi dalam acara WSIS 2020 (8/9/2020), menyampaikan pentingnya peningkatan literasi digital masyarakat, sesuai dengan pidato “Visi Indonesia” Presiden Repbulik Indonesia yang disampaikan pada tanggal 14 Juli 2019, menekankan bahwa pada masa pemerintah kedua, Pembangunan SDM akan menjadi salah satu visi utama. Indikator Literasi Digital yakni Idikator IMD dan Katadata digunakan sebagai acuan dan target penyusunan peta jalan literasi digital.

Data IMD (Institute of International Management Development) IMD Digital Competitiveness Ranking menggunakan 3 kategori (Technology, Knowledge,Future Readiness) dengan 9 sub-faktor dan 52 kriteria indikator, dalam hal ini peringkat Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun dari kurun tahun 2015 s.d. 2020 dari peringkat 60 mejadi 56 dari 63 negara. Status Literasi Digital Indonesia Survei di 34 Provinsi (Katadata Insight Center) Survey ini dilakukan untuk mengukur tingkat literasi digital dengan menggunakan kerangka “A Global Framework of Reference on Digital Literacy Skills” (UNESCO, 2018) Melalui survei ini, responden diminta untuk mengisi 28 pertanyaan yang disusun menjadi 7 pilar, 4 sub-indeks menjadi sebuah Indeks Literasi Digital yang terangkum hasil skor digital literasi Indonesia yang terbagi menjadi Wilayah Indonesia Barat 3,43, Wilayah Indonesia Tengah 3,57 dan Wilayah Indonesia Timur 3,44.

Tentunya menjadi PR yang besar dalam mencapai target program literasi digital, perlu diperhitungkan estimasi jumlah masyarakat Indonesia yang telah mendapatkan akses internet berdasarkan data dari APJII dan BPS Identifikasi Target User, Total Serviceable Market mencakup perorangan yang menjadi target spesifik program literasi digital Tingkat Penetrasi Internet Belum Mendapat Internet Jiwa196.714.070 atau 73,7% sedangkan yang belum mendapatkan internet 26,3% (data Roadmap Literasi digital 2021-2024, Kominfo RI).

Peran penting teknologi masa kini terasa dalam memudahkan hidup dan masuk keseluruh sendi-sendi kehidupan individu dan masyarakat. Informasi apa pun kini bisa diperoleh semudah bertanya pada ‘Mbah Google.’ Namun, ternyata di sisi lain, kemudahan ini juga berdampak pada kemampuan pengguna mengonsumsi informasi. Gejala ini disebut fenomena ‘Googlization’, sebuah kondisi yang membuat seseorang sangat nyaman untuk menjelajah di dunia maya untuk mencari informasi.(Alice Lee, Literacies & Competencies Required to Participate in Knowledge Societies). Kondisi ini membuat pengguna yang selalu menggunakan dan mengandalkan mesin pencari mengalami cacat memori dan pada akhirnya sulit dan tak mampu lagi membaca artikel panjang dan mendalam. Studi yang dimuat oleh MindEdge Online Survey of Critical Thinking Skills menunjukkan generasi milennial kekurangan kemampuan berpikir kritis. Masalah ini menjadi sangat penting, dimana 55 % generasi milenial bergantung pada media sosial sebagai sumber berita, 51 % sangat rajin membagikan konten dari media sosial ke lingkaran terdekatnya, dan 36 % secara sengaja telah membagikan informasi yang tidak akurat. Pendekatan teori yang terkait dengan media sosial menunjukkan bahwa media sosial dapat mengubah agenda pemberitaan yang ada di masyarakat bahkan menjadi pemberitaan itu sendiri (David & Young, 2009) Media sosial memang memiliki peran dalam membangun dan mengubah opini dalam masyarakat. Temuan ini konsisten dengan survei dari Universitas Stanford (Evaluating Information: The Cornerstone of Civic Online Reasoning) yang mendapati bahwa pelajar-pelajar di sekolah menengah hingga mahasiswa di perguruan tinggi tidak mampu membedakan bentuk berita, mana yang berupa artikel, iklan, atau tajuk opini.

Media sosial telah menjadi alternatif medium yang digunakan selain dari media TV, radio, koran, dan majalah yang selama digunakan masyarakat secara massif. Media sosial tumbuh semakin pesatnya menjadi media public relation (kehumasan) baru dalam masyarakat dan mengubah berbagai hal. Media sosial menjadi medium persuasi yang dapat mengubah persepsi ataupun perilaku publik. Komunikasi melalui media sosial dapat menambah ataupun mengkonsolidasikan reputasi dan kepercayaan, baik untuk individu maupun untuk sebuah institusi. Karena itu, pemahaman terhadap penggunaan media sosial ini secara efektif menjadi tuntutan zaman untuk dapat bekerja secara efektif dan saling bertukar pengaruh antara pemberi informasi dan penerima informasi dalam masyarakat. Setiap individu saat ini hampir mengakses internet untuk menjangkau informasi global dengan berbagai cara. Tidak ada lagi yang dapat membendung pengaruh perkembangan internet dan media sosial dalam kehidupan keseharian masyarakat. Media sosial telah digunakan oleh 1 dari 10 orang pekerja, pelanggan, stakeholder (mitra), politisi, masyarakat lokal dengan berbagam jaringan sosial seperti facebook, tweeter dan sebagainya (David & Young, 2009) bahkan era ini lebih daripada yang sebutkan oleh David & Young. Karena itu, media sosial menjadi sarana untuk menciptakan sebuah wacana dalam bentuk luas serta dapat menjadi bahagian kontrol terhadap sebuah isu. Mark Poster The Second Media Age dalam bukunya menyatakan bahwa yang menandai era media baru adalah lahirnya teknologi interaktif dan komunikasi jaringan, khususnya dunia maya yang akan mengubah masyarakat. Media baru ini berbasis pada interaksi sosial dan integrasi sosial. Dalam pendekatan interaksi sosial, media baru lebih interaktif dan menciptakan sebuah pemahaman tentang komunikasi yang lebih bersifat personal. Pandangan ini didukung Pierre Levy dengan istilah cyberculture yang memandang world wide web sebagai lingkungan informasi terbuka, fleksibel, dinamis, namun interaktif. teori persamaan media (media equation theory) yang menyatakan bahwa manusia memperlakukan media (komputer ataupun hp) seperti manusia dalam artian nyata. Pendekatan ini melihat bagaimana new media dapat mempengaruhi individu dan struktur sosial masyarakat (Littlejohn & Foss, 2009). Pendekatan Teori inti yang digunakan dalam kajian ini yaitu Participatory Media Culture dari Henry Jenkins. Jenkins dalam teorinya menguraikan sejumlah pendekatan dan mekanisme yang dilakukan individu ataupun khalayak tertentu yang secara bersama-sama mengambil peran sebagai konsumen media sekaligus pula berperan sebagai produsen informasi tertentu dari media tersebut. Dalam teori ini, khalayak dengan beragam kreativitasnya dapat menanggapi isi media dengan menciptakan komoditas budaya mereka sendiri dengan menguraikan serta menemukan sejumlah makna yang terdapat dalam pesan dan produk media.

Problematika penggunaan media sosial di kalangan masyarakat dan terutama kaum milenial sering menjadi perhatian dan sorotan dari beragam kalangan mulai dari kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, juga sejumlah elemen masyarakat seperti para guru, dosen, pemerhati pendidikan dan tentunya para orang tua sendiri yang sering mengalami kecemasan terhadap penggunaan media sosial.

Beberapa fenomena yang banyak terjadi dari penggunaan media sosial yang berlebihan dangan kemudahan akses dari fenomena disruptive dan feneomena Googelisasi pada semua platform media digital dan semakin tumbuh suburnya di masyarakat ini dengan munculnya beragam berita yang kurang bisa divalidasi kebenarannya pada media sosial digital, atau biasa dikenal dalam masyarakat sebagai hoax (Serangan konten negatif). Hoax menjadi fenomena yang berkembang sangat cepat ditengah perkembangan ekonomi dan politik Indonesia. Hoax yang berkembang di media sosial dan media massa dianggap bukan hanya sebagai salah satu bentuk penyebaran kebohongan semata, namun telah berkembang menjadi virus informasi dan penyakit yang dapat melumpuhkan pola pikir dan perilaku masyarakat terutama generasi milenial. Pekerjaan rumah besar kita bersama adalah membangkitkan kesadaran setiap individu untuk kembali berpikir kritis dalam menerima setiap informasi. Apapun beritanya Cek terlebih dahulu, Saring sebelum Sharing.

*Sujonsen* – (Mahasiswa S2 Magister Ilmu Komunikasi, FISIP USU)