Remaja Masjid Perlu Disiapkan sebagai Agen Penangkal Hoaks

by
Diskusi #MakinCakapDigital Kemenkominfo berkolaborasi dengan Siberkreasi bertajuk "Remaja Masjid Jawa Tengah Menangkal Hoaks di Era Digital". (Dokumentasi)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Dalam survei tahunan Microsoft bertajuk Digital Civility Index (DCI), disebutkan bahwa netizen asal Indonesia paling tidak sopan se-Asia Tenggara.

Selain netizen Indonesia, Afrika Selatan, Rusia, Meksiko juga disebut paling tidak sopan di dunia. Termasuk juga Peru, negara yang dekat dengan Equador ini bahkan sering disebut sebagai netizen paling kejam di Amerika Latin.

Ketua PW Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jawa Tengah Prof Ahmad Rofiq menilai, di era digital saat ini memang terjadi pergeseran yang luar biasa dan ini mengkhawatirkan bagi anak-anak.

“Banyak warung internet yang lebih ramai oleh anak-anak yang lepas pantauan dari orang tua, katimbang mereka di masjid atau mushalla. Mereka bisa berjam-jam berada di warnet, main game dan apapun yang tersedia aplikasinya di layer screen computer yang ada di hadapan mereka,” kata Prof Rofiq dalam diskusi #MakinCakapDigital Kemenkominfo berkolaborasi dengan Siberkreasi bertajuk “Remaja Masjid Jawa Tengah Menangkal Hoaks di Era Digital” untuk wilayah Jateng, pada Rabu (28/9/2022).

Prof Rofiq, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (29/9/2022), melanjutkan, tidak jarang anak-anak yang masih berseragam sekolah dasar, sudah sangat “krasan” di warnet. Dan ini tersedia di tempat-tempat yang sangat dekat dengan area sekolah.

“Apakah karena tidak mendapat fasilitas computer di rumah masing-masing?
Atau karena factor lainnya?” tanya Prof Rofiq.

Guru Besar Hukum Islam UIN Walisongo Semarang ini mengkhawatirkan, anak-anak tersebut mudah terpapar berita bohong.

Untuk itu, menurut Prof Rofiq, anak-anak serta remaja masjid sangat penting turut serta menangkal hoaks ini. Karena, dalam arti luas, Masjid digunakan sebagai tempat pembelajaran Islam dan implementasinya dalam semua aspek kehidupan manusia.

Masjid merupakan tempat strategis menyiapkan anak-anak yang cinta masjid, cinta Islam yang mengedepankan kejujuran, mempraktikkan, dan juga menyuarakan
kejujuran dan kebenaran.

Direktur LPH LPPOM-MUI Jawa Tengah ini menilai, anak butuh pengenalan dan pembiasaan Anti hoaks. Untuk itu, siapkan masjid ramah anak dan biasakan kejujuran.

Jika secara normatif dan historis sudah cukup jelas dan gamblang, contoh Rasulullah SAW yang rela bersujud berlama-lama, karena dimintai gendong cucu beliau, maka bagaimana anak-anak generasi Z bisa meminta “gendong” orang tua mereka, namun suasana masjid tidak gaduh, dan tetap khusyu’.

“Bagi anak-anak yang orang tuanya, rajin berjamaah ke masjid, boleh jadi, anak atau cucu, tanpa diperintah atau diajak, sudah berangkat ke Masjid. Namun bagi anak-anak yang orang tuanya sibuk, atau bahkan
tidak atau belum ada niatan jamaah ke Masjid, tentu akan lebih berat,” ungkapnya.

Selanjutnya, pabila sebagian Masjid sudah memiliki Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), namun bagi yang belum, tentu memerlukan pemikiran solusi tersendiri. Misalnya, ada tambahan fasilitas lendidikan – bermain,
menghibur, menyenangkan, dan tetap bersifat edukatif – agar mereka
krasan dating dan secara perlahan akan tumbuh rasa cintanya kepada
Masjid.

“Adalah pertanda masjid akan kehilangan satu dua generasi, jika tidak
terdengar lagi tawa, canda, dan suara anak di Masjid,” kata Prof Rofiq.

Kemudian, bekali anak dengan Pendidikan sesuai dengan kebutuhan zaman-nya, agar mereka tidak “gagap” dan siap mengikuti kompetisi dan persaingan bebas, dengan bekal intrgritas kepribadian dan karakter akhaqul karimah.

Prof Rofiq berpesan, agar persiapkan anak sebagai generasi penerus yang mencintai dan memakmurkan Masjid, berbudaya jujur, dan berani menyampaikan kebenaran untuk menangkal hoax. Tentu ini perlu pembiasaan dari anak-anak, bahkan jika perlu tidak harus menunggu usia 7 tahun.

Para orang tua juga perlu memberi keteladanan (qudwah) pada anak-anak
dan/atau cucu mereka, agar anak-anak merasa nyaman, senang, dan
bahagia, untuk ikut bersama-sama melaksanakan shalat jamaah di Masjid/Mushalla.

“Untuk menangkal hoax dibutuhkan remaja masjid atau generasi muda yang
terlatih dan terbiasa dengan kejujuran dan berani menyampaikan kejujuran,” kata dia.

Rektor UIN Walisongo Semarang Prof Imam Taufiq, memaparkan data statistik Kemenag pada 2018. Jumlah orang Islam 86.70% (231.069.932), Kristen 10,72% (20.246.267), Katolik 7,60% (8.325.339), Hindu 1,74% (4.646.357), Buddha 0,77% (2.062.150), Konghucu 0,03 % (71.999), dan aliran Kepercayaan 0,04%.

Menurut Prof Imam, Remaja Masjid memiliki peran yang signifikan dalam era masyarakat digital (society 4.0) yang lekat dengan karakter overload information, khususnya dalam konteks menangkal hoax di era
digital

“Para remaja Masjid sudah selayaknya memiliki pengalaman literasi & kecakapan digital yang baik (budaya digital, etika digital & kemananan digital). Sehingga ketrampilan
tersebut dapat dioptimalkan dalam
menangkal sebaran hoax,” imbau Prof Imam.

Remaja Masjid juga harus memiliki pemahamankeagaman memadai serta aksesibilitasterhadap kitab dan referensi keagamaan. Sehingga, dapat melakukan verifikasi atas validitas kontenbkeagamaan di ruang digital (saring sebelum sharing)

Berdasar pada pengetahuan keagaman
serta kecakapan digital, lanjut Prof Imam, para RemajabMasjid dapat menginisiasi produksi konten & pengarusutamaan konten
moderasi beragama di ruang digital
sebagai kontra narasi hoax dengan isu
agama.

Adapun strategi optimalisasi peran remaja masjid dalam menangkal hoaks. Yaitu, di mulai dari peran keluarga, sekolah, dan organisasi keagamaan maupun masyarakat (termasuk karang taruna) sebagai agen moderasi.

Lalu, menanamkan nilai toleransi pada
remaja, mengajarkan literasi digital agar remaja mampu menyaring informasi digital dari internet dan sosmed dengan lebih baik.

“Mengembangkan program-program penanaman religiusitas yang menarik dan sarat moderasi,” kata Prof Imam.

Ketua Umum PW PRIMA DMI Jateng Ahsan Fauzi menjelaskan, Indonesia ialah negara dengan media dan pengguna medsos terbanyak. Karena, semua orang dengan mudah membuat media (banyak di antaranya lebih mirip home industry).

“Semua orang dengan mudah menjadi wartawan tanpa pengetahuan tentang
jurnalisme, tak tahu kode etik, minus kompetensi. Banyak wartawan jadi-jadian (Merangkap LSM, merangkap pengacara, atau lainnya),” kritik Ahsan.

Selain itu, banyak media tak memenuhi syarat UU dan ketentuan perusahaan pers. Indonesia juga adalah salah satu negara pengguna medsos tertinggi (FB, WA, Twitter).

Ahsan mengatakan, pengguna internet yang setiap tahun selalu meningkat, dengan nitizen memiliki latar belakang berbeda, sehingga tentunya harus ada batasan tertentu.

“Jika tidak, akan muncul ancaman disintegrasi bangsa di dunia maya. Supaya tidak terjadi disintegrasi bangsa atau setidaknya bisa diminimalisir maka etika digital merupakan sebuah keniscayaan,” tegasnya.

Dosen senior Kebijakan Publik FISIPOL UGM Bevaola Kusumasari, menyampaikan cara untuk mengetahui hoak atau bukan. Diantaranya, cek fakta ke situs berantas hoax, seperti Kominfo dan Turn Back Hoax, Hoax Buster.

Untuk berita internasional, bisa juga memantau dari PolitiFact.com, Hoax Slayer, atau Snopes.com. “Mereka adalah situs yang memeriksa apakah sebuah berita itu benar atau palsu,” kata Bevaola.

Kemudian, cek foto ke google Image dan waktu tayang. Karena, google sudah sangat mempermudah untuk menelusuri foto yang didapatkan dengan ‘Search Image’.

“Cek juga apakah ketika informasi tersebut tayang masih relevan dengan situasi sekarang atau tidak. Karena banyak hal yang berkembang seiring berjalannya waktu sehingga kadang informasi yang lama sudah tidak dapat dijadikan patokan,” kata dia

Selain itu, cek Narasumber nya. Sebab, kredibilitas dari suatu berita atau informasi yang kita terima harus dipastikan berasal dari sumber yang memang pakarnya sehingga bisa dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya, hati-hati terhadap judul provokatif. Hoak memang sengaja dibuat seprovokatif mungkin untuk membangkitkan sisi emosional penerimanya sehingga lebih mudah termakan.

Teral, cari tahu siapa yang sebar. Siapa yang membagikan pesan yang diterima sangat mempengaruhi seberapa kredibilitas informasi tersebut.

“Jika memang meragukan, coba tanyakan pada si pengirim dari mana informasi yang dia dapatkan. Bisa jadi, dia juga termasuk orang yang kena jebakan hoaks,” tukas Bevaola. (Kds)

Catatan: 

Informasi lebih lanjut dan acara literasi digital GNLD Siberkreasi dan #MakinCakapDigital lainnya, dapat mengunjungi info.literasidigital.id dan mengikuti @siberkreasi di sosial media.