Soal Sikap F-PG MPR RI Tentang PPHN, Akan Diputus Setelah Bertemu Ketua Umum Golkar

by
Ketua F-PG MPR RI Idris Laena bersama sejumlah kader Partai Golkar termasuk Ketua MPR RI Bambang Soesatyo berfoto bersama seusia mengadakan diskusi tentang 'Urgensi PPHN' di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat lalu. (Foto: Ist)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Fraksi Partai Golkar di MPR RI mengingatkan. bahwa alas hukum atas Pokok Pokok Haluan Negara atau PPH melalui konvensi berbeda dengan Ketetapan MPR RI yang mengatur GBHN di dalam UUD 1945 yang asli, dimana MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Tidak boleh dilupakan juga, pasca amandemen UUD negara RI Tahun 2002, MPR RI sudah tidak bisa membuat Ketetapan, dan 7 Lembaga Tinggi Negara yang ada punya kedudukan setara setelah dihapusnya MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara.

Sementara Mahkamah Konstitusi(MK) sebagai wadah baru, diberi wewenang melakukan uji materi atau judicial review terhadap Undang-Undang atas Undang Undang Dasar (UUD), yang dibentuk untuk menjamin demokrasi dan check and balances atas UU yang dibuat DPR RI bersama pemerintah.

Berbeda lagi dengan konvensi, apabila dijadikan hukum oleh MPR RI selain tidak diatur dalam konstitusi, juga tidak diatur di dalam sumber hirarki hukum yang diatur dalam perundangan produk DPR RI dan pemerintah.

Hal tersebut dipaparkan Ketua Fraksi Partai Golkar (F-PG) MPR RI, Idris Laena lewat keterangan tertulis yang diterima berita buana.co, Senin (12/9/2022). Sebelumnya, F-PG MPR RI menggelar diskusi Urgensi Pokok-Pokok Haluan Nergara (PPHN).

“Alasan itulah yang jadi sikap Fraksi Partai Golkar di MPR RI bahwa Pokok-Pokok Haluan Negara atau PPHN, yang disiapkan MPR RI sebaiknya diatur berdasar Undang-Undang atau bukan konvensi,” tegas Idris Laena.

Dengan alas UU itu pula, sambung Idris, terbuka ruang check and balances seiring dengan makin menguatnya masyarakat sipil. Dalam hal ini, semua produk Undang-Undang yang dibuat oleh DPR RI bersama pemerintah diberi ruang untuk di uji di MK.

Penolakan F-PG MPR RI atas usulan konvensi disebut Idris Laena rawan disalahgunakan dalam tata negara, mengingat 8 Lembaga Tinggi Negara mempunyai kedudukan yang sama setelah MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara di hapus wewenangnya dalam membuat putusan Ketetapan oleh MPR RI sendiri pada tahun 2002 saat amandemen UUD.

Idris mempertanyakan apabila di dalam alasan membuat konvensi dibuat karena MPR RI bukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Dan lalu diloloskan sehingga lahir konvensi.

“Siapa yang menjamin tidak lahir konvensi baru seperti akan mengatur perpanjangan masa jabatan Presiden? Oleh karena Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Pertama dalam bentuk produk Undang-Undang akan berakhir pada tahun 2025, maka Golkar mengusulkan, satukan saja PPHN dalam hirarki hukum dengan alas Undang Undang,” ujar Idris.

Dalam diskusi ‘Urgensi PPHN’ sehari sebelumnya, pakar Hukum Tata Negara Refly Harun dan Fery Amsari mengatakan, apabila MPR RI mempunyai kewenangan membuat konvensi sebagai alas hukum PPHN, maka konvensi tidak bisa diuji di MK. Karena MK hanya berwenang menguji UU atas UUD 1945.

Selain itu, aturan konvensi ataupun tuntutan kembali kepada UUD yang asli akan jadi pintu masuk Presiden 3 periode. Seperti pemberlakuan Dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno yang didukung KSAD AH Nasution yang memutuskan kembali ke UUD 1945 dengan menetapkan Soekarno sebagai Presiden penuh, yang sebelumnya hanya ‘tukang stempel’.

Seperti diketahui, MPR RI sebelumnya telah menugaskan Badan Kajian MPR RI untuk melakukan kajian perihal substansi atas PPHN sebagai pengganti GBHN dan alas hukum atas PPHN.

Pada pertengahan bulan Juli lalu, Badan Kajian MPR sudah melaporkan hasil kajiannya dalam Rapat Gabungan MPR RI yang selanjutkan akan dibahas di dalam Sidang Paripurna MPR yang dilanjutkan dengan tanggapan 9 Fraksi dan Kelompok DPD RI pada bulan September ini.

Bagi F-PG MPR RI, apabila PPHN ditujukan untuk membuat filosofi haluan negara, maka pertanyaannya apa pembukaan UUD yang sangat filosifis sekali yang dirumuskan pendiri negara, apa masih kurang juga ?

“Kita masih perlu pencerahan dari publik, apakah MPR RI berwenang membentuk PPHN setelah amandemen UUD. Kami akan bertemu dengan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sebelum sikap Fraksi Golkar dibacakan pada Sidang Paripurna MPR nanti,” demikian Idris Laena. (Asim)