Prof, Dr Asep Kurnia, SH, MH: Penyimpangan Korporasi Bentuk Kejahatan Ekonomi Berdampak Kompleksitas

by
by
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Asep N Kurnia saat dikukuhkan menjadi Guru Besar Honoris Causa dibidang Ilmu Hukum pada Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kajati Jabar), Prof, Dr Asep N Mulyana, SH, MH menegaskan, keberadaan korporasi acapkali menunjukkan fenomena kontradiktif sebagai entitas bisnis yang seharusnya mampu meningkatkan penyediaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak dan pembangunan nasional.

Namun korporasi justru banyak yang disalahgunakan sebagai instrumen untuk mengeruk keuntungan pribadi maupun komunitas kolegial dari suatu kejahatan.

Demikian diungkapkan Asep saat menerima pengukuhannya sebagai Guru Besar Honoris Causa (HC) dibidang ilmu hukum pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Jawa Barat, akhir pekan kemaren.

Menurutnya, realitas penyimpangan korporasi memunculkan dampak kompleksitas hukum yang perlu diantisipasi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa.

Substansi ungkapan yang disampaikan dalam pidato pengukuhannya berjudul, “Rancang Bangun Model Integratif Penegakkan Hukum Terhadap Kejahatan Korporasi dan Bisnis,” tersebut merupakan hasil pengalamannya selama lebih dari dua dasawarsa, baik kapasitasnya selaku aparat penegak hukum maupun sebagai pengajar dan pemerhati yang banyak terlibat dalam berbagai diskusi publik, penelitian, penulisan dan perumusan berbagai produk regulasi maupun aktivitas akademik lainnya.

“Kita sering dihadapkan pada suatu realitas aksi korporasi yang acapkali dijadikan sebagai alat maupun instrumen untuk mendapatkan keuntungan dari suatu kejahatan, bahkan tidak jarang pula sejak awal korporasi sengaja dibuat, didirikan dan dibentuk untuk melakukan sebuah kejahatan,” ujar Asep yang juga sukses saat mengungkap korupsi besar ketika menjabat Kajati Banten.

Menurutnya, pemikiran yang disampaikan tidak hanya didasarkan pada pengalaman emperis dalam praktek penegakan hukum, tetapi juga pada pengkajian secara mendalam terhadap berbagai dokrin ilmu hukum dan perkembangannya, maupun komparasi terhadap praktik-praktik baik yang terjadi di belahan dunia.

Sementara itu Jaksa Agung, ST Burhanuddin yang juga hadir dalam acara pengukuhan mengatakan, pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana dilatarbelakangi oleh perkembangan industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan telah mendorong pemikiran bahwa subjek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada manusia alamiah, tetapi meliputi pula korporasi, karena untuk tidak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi.

Kaitan penegakan hukum dengan tindak pidana korporasi, ada kondisi dilematis antara kepentingan pemidanaan dengan menjaga kelangsungan hidup korporasi.

“Pemidanaan terhadap korporasi tidak semata-mata persoalan hukum, tetapi juga persoalan sosial kemasyarakatan,” kata Burhanuddin menandaskan.

Karena itu, pemidanaan yang lebih mengutamakan pendekatan pembalasan akan menghadirkan dampak negatif lebih banyak, terutama terhadap orang-orang yang tidak berdosa yang bergantung hidupnya kepada korporasi.

“Jadi, pemidanaan terhadap korporasi khususnya sanksi penutupan korporasi hendaknya dilakukan secara hati-hati, cermat dan bijaksana karena dampaknya sangat luas. Jangan sampai orang-orang yang tidak berdosa seperti buruh, pemegang saham, konsumen dan pihak-pihak yang bergantung kepada korporasi termasuk pemerintah menjadi korban sebagai pihak yang dirugikan,” ujar Jaksa Agung mengingatkan.

Selanjutnya, dijelaskanl korporasi sebagai subyek hukum non alamiah tidaklah mungkin diterapkan sanksi pidana yang hanya dapat diterapkan pada subyek hukum manusia, misalnya hukuman mati, penjara, maupun kurungan.

Oleh karena itu, sanksi pidana yang paling tepat diterapkan untuk subyek hukum korporasi adalah optimalisasi pengembalian atau pemulihan kerugian yang timbul sebagai akibat perbuatan pidana korporasi, serta terciptanya kembali harmonisasi kehidupan di masyarakat yang sebelumnya terkoyak oleh tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Jaksa Agung melanjutkan, pendekatan ekonomis yang berporos pada perhitungan efektivitas dan efisiensi penegakan hukum perlu dipertimbangkan dalam pemidanaan korporasi. Pendekatan ekonomis disini tidak hanya dimaksudkan untuk mempertimbangkan antara biaya atau beban yang ditanggung masyarakat dengan hasil yang ingin dicapai, tetapi juga dalam arti mempertimbangkan efektivitas dari sanksi pidana itu sendiri.

Bertolak dari pandangan tersebut, hendaknya pemidanaan korporasi dalam perspektif penegakan hukum integral, lebih diarahkan pada pencapaian keadilan transformatif dimana pihak-pihak yang berkonflik saling memberikan keadilan satu sama lain sehingga tercipta kembali keharmonisan di masyarakat, dengan kewajiban utama korporasi sebagai pelaku tindak pidana adalah mengembalikan kerugian yang ditimbulkan.

“Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dalam perspektif penegakan hukum integral, tentunya tidak hanya untuk memulihkan keadaan seperti semula namun juga guna mewujudkan tercapainya tujuan pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah terutama dalam sektor padat karya, menghendaki korporasi untuk berupaya maksimal menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, serta terciptanya kondisi yang memungkinkan partisipasi dan kesempatan berusaha secara adil bagi masyarakat,” ujarnya.

Selain itu, Jaksa Agung mengatakan pemidanaan terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana juga mempertimbangkan untuk terwujudnya stabilitas ekonomi dan mengantisipasi krisis di berbagai bidang, sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan korporasi.

Menurutnya, pembaharuan hukum pidana korporasi yang holistik harus diwujudkan dengan menyelaraskan seluruh sistem hukum yang ada meliputi subtansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum secara integral. Hal demikian, dengan tetap mempertimbangkan dampak dari pemidanaan terhadap korporasi itu sendiri.

“Kiranya ke depan dalam pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia dapat dilakukan dengan pendekatan penegakan hukum integral untuk mencapai keadilan tranformatif. Dengan pendekatan ini diharapkan akan menciptakan suatu tatanan kehidupan yang ajeg yang mampu memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi korporasi dan masyarakat, sekaligus mampu memberikan manfaat nyata untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Jaksa Agung.

Jaksa Agung berharap pemikiran Prof. (H.C) Dr. Asep N. Mulyana, S.H., M.Hum., ke depan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi legislatif dalam menyusun arah politik hukum khususnya untuk pembangunan dan pembaharuan hukum di Indonesia. Oisa