,

KHDPK Inovasi Bernas, Harus Dilihat Secara Holistik Ekosistem Pulau Jawa

by
Guru Besar UGM, Prof San Afri Awang, (Foto: Isitimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Konsep Kawasan Hutan Dalam Pengelolaan Khusus atau KHDPK berdasarkan nama memang tidak punya nomen klatur ilmiah, tetapi punya enam (6) poin nilai inovasi yang bernas. Salah satunya adalah menyelesaikan masalah penanaman ulang lahan kritis, rusak, gundul dan tidak produktif akibat pengelolaan sebelumnya.

Demikian dijelaskan Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), Prof San Afri Awang menjawab pertanyaan media, Selasa (26/7/2022), terkait SK Menteri LHK No.287/2022 pada 5 April 2022 tentang luas KHDPK di tiap Provinsi.

Sedang nilai inovasi bernas lainnya, menurut Prof. San Afri adalah melanjutkan usaha-usaha mensejahterakan masyarakat berbasis pada potensi sumberdaya hutan; menyelesaikan konflik tenurial dengan masyarakat.

Berikutnya adalah menyelesaikan masalah permukiman dalam kawasan hutan yang jumlahnya lebih dari 1000 titik masalah; menyelesaikan kebutuhan tanah untuk pembangunan non kehutanan dan ketahanan pangan nasional; dan mendukung program strategis nasional.

“Enam poin ini tidak mungkin diselesaikan oleh perhutani karena perhutani hanya operator kebijakan saja,” terangnya.

Menurut Prof San Afri, pasti banyak orang mengatakan bagaimana dengan lingkungan hidup di pulau Jawa? Lingkungan hidup di pulau Jawa yang sering terganggu adalah bencana iklim yaitu banjir.

Banjir itu, menurut dia penyebabnya banyak, salah satunya adalah adanya lahan kritis seluas 470 Ribu Ha di dalam kawasan hutan negara. Lahan kritis ini bukan karena adanya KHDPK, justru KHDPK ingin memperbaiki lahan kritis ini.

“Jadi perdebatan publik yang mengatakan KHDPK penyebab kerusakan lingkungan adalah salah total. Sebab sebelum ada KHDPK lingkungan, alamnya sudah rusak,” tambahnya lagi.

Ditegaskan Prof San Afri, lahirnya KHDPK di Jawa harus dilihat secara holistic ekosistem pulau jawa. Pulau Jawa luas nya sekitar 13 Juta Ha terdiri dari 3,4 Juta Ha hutan negara, sekitar 3 Juta Ha hutan rakyat (tanah milik), dan sisanya adalah penggunaan lain.

Hilangnya angka kecukupan luas hutan minimal 30% dari luas darata/DAS dalam UU Ciptaker No.11/2020 harus dibaca dengan cerdas dan inovatif. Khusus Pulau Jawa, hilangnya angka 30% memang satu keniscayaan sebab banyak masalah yang harus diselesaikan di pualu jawa. PP 23/2021 dan Permen LHK No.9/2021 memastikan bahwa hutan rakyat harus dihitung sebagai bentuk tutupan lahan di Pulau Jawa yang luasnya sekitar 3 juta.

Sistem registrasi akan dikenakan pada hutan rakyat dengan insentsif bagi pemilik hutan rakyat. Jadi kekhawatiran publik Jawa akan kekurangan tutupan vegetasi terjawab dengan diakomodirnya hutan rakyat bagian dari tutupan vegetasi di Pulau Jawa,” katanya.

Dengan hutan rakyat, lanjut Prof San Afri, maka Pulau Jawa memiliki tutupan vegetasi seluas 6,4 Juta Ha (45%) berasal dari areal perhutani 1,4 Juta Ha areal perhutani, areal hutan rakyat 3 Juta Ha, areal konservasi 1 Juta Ha dan areal KHDPK sekitar 1 Juta Ha. Hutan rakyat menghasilkan kayu bulat lebih dari 20 Juta M3 per tahun, sementara perhutani menghasilkan kayu bulat kurang dari 700 Ribu M3 per tahun.

“Mari kita melihat Pulau Jawa dan lingkungan serta ekosistem Pulau Jawa dalam satu kesatuan utuh pulau dan segala isinya, jangan hanya melihat dari sisi pandang hutan negara saja. Terima kasih pada rakyat yang telah membangun hutan rakyat secara mandiri dan secara bantuan pemerintah,” ajak Prof San Arfi.

Dengan hutan rakyat dan hutan negara di kalkulasi secara bersama-sama, menurut dia, telah menjadikan daya dukung alam lingkungan di Pulau Jawa membaik. Kalkulasi jasa ekosistem penyedia air di Pulau Jawa menunjukkan bahwa hutan negara berada pada kelas tinggi sebagai komponen penyedia jasa air, dan hutan rakyat serta kebun campur berada pada kleas sedang sebagai komponen penyedia jasa air di Pulau Jawa.

“Tanpa kontribusi hutan rakyat, maka Pulau Jawa akan mengalami defisit air lebih banyak,” paparnya.

Manfaat Konsep KHDPK

Silang pendapat para pencinta Pulau Jawa terhadap hutan Jawa, diakui Prof San Arief, pasti berpengaruh pada masyarakat perdesaan di Jawa. Oleh karena itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehudtanan (LHK) harus segera turun ke tengah masyarakat, bukan di gedung-gedung, sehingga informasinya tidak terpotong dan tidak dimanfaatkan oleh oknum oknum tidak bertanggung jawab.

“Jika masyarakat mengetahui persis tata kelola dan pemanfaatan kawasan KHDPK, maka saya yakin perdebatan ditingkat masyarakat akan segera hilang dan masyarakat akan merasakan manfaat yang banyak dari konsep KHDPK ini,” ujarnya.

Masalah terbesar sebenarnya ada pada Kementerian LHK sendiri, karena saat ini LHK terlihat seperti ragu-ragu. Keragu-raguan ini terlihat dari tidak jelasnya petaa areal KHDPK yang belum di sampaikan ke publik.

“Saran saya, Kemen LHK tegak lurus pada peraturan perundangan saja dan segera pastikan peta KHDPK yang ada sebagai lampiran SK 287 tersebut. Jika semua sudah pasti, maka semua dugaan dugaan yang menyudutkan kemen LHK dapat hilang dengan sendirinya. Apalagi, rakyat desa di Jawa sudah melek informasi dan sudah tahu mana yang baik dan mana yang lebih baik untuk kehidupan mereka. Bertindak jujur dengan masyarakat maka masyarakat akan percaya pada pemerintah,” imbuhnya.

Menurut Prof San Afri, masa depan pengelolaan hutan di Pulau Jawa terbukti tidak dapat hanya menyandarkan pada peran hutan negara saja (apalagi hutan negaranya sudah rusak). Hutan rakyat bagian dari pengisi landscape pulau Jawa harus dimasukkan dalam pengelolaan landscape hutan di Jawa.

Karena menurut dia, hutan negara dalam model KHDPK salah satunya untuk memperbaiki potensi sumberdaya hutannya yang sekaligus memecahkan masalah sosial ekonomi rakyat yang miskin, kurang beruntung dan hidup di sekitar kawasan hutan negara. Sehingga KHDPK harus di bangun dengan paradigma kemanusiaan dalam proses membangun hutannya.

Prof San Arief juga mengatakan, integrasi ekologi, sosial budaya dan kelembagaan, dan ekonomi produktif menjadi bahan utama mengelola dan membangun hutan di wilayah KHDPK.
Konsep membangun hutan rakyat dapat di transformasi ke dalam pengelolaan lahan hutan KHDPK,negitu juga dengan konsep perhutanan sosial sepenuhnya juga dapat diterapkan dalam KHDPK.

“Konsep perhutanan sosial adalah implementasi dari integrasi kepentingan ekologi, sosial kelembagaan, dan ekonomi produktif. Jadi menurut saya, saatnya rakyat diberi kepercayaan mengelola kawasan hutan yang didukung oleh organisasi yang baik, tata kelola yang baik, dan sistem kelembagaan yang sesuai,” ujarnya.

Seperticontoh di USA 60% hutannya dikuasai rakyat, di Jepang 70% hutannya milik rakyat, di Jerman 60% hutannya dikuasai rakyatnya. Negara maju membuktikan bahwa sustain dtangan kelola kelembagaannya oleh rakyat.

“Perhutanan sosial harus didukung dan dikelola dengan hati dan empati yang dalam dari semua pihak. Jika model integrasi ini berjalan maka besar keyakinan bahwa fungsi hutan KHDPK bersama hutan lainnya dapat menjalankan fungsi regulator dan reservoir alam di pulau Jawa,” tambahnya.

Langkah yang harus dilakukan
agar KHDPK dapat diwujudkan, maka Kementerian LHK perlu melakukan hal hal sebagai berikut, (1) Kemen LHK tetap melaksanakan SK 287 dan Segera menyampaikan peta KHDPK kepada public; (2) Mengeluarkan SK Perhutanan Sosial khusus jawa ; (3) sosialisasi KHDPK kepada pemerintah daerah dan public di daerah daerah; (4) memudahkan persyaratan untuk mendapatkan ijin pemanfaatan hutan; (5) mempercepat proses persetujuan perhutanan sosial.

Selanjutnya, (6) memepercepat penyelesaiaan pemukiman dalam kawasan yang dipandu langsung oleh LHK; (7) menyelesaikan proses TORA di pulau Jawa; (8) melakukan pendampingan dan bantuan teknis pada kelompok kelompok masyarakat yang memerlukan; (9) mendorong munculnya usaha produktif dala kelompok perhutanan sosial; (10) membuat panduan tata kelola perhutanan sosial tingkat tapak secara partisipatif).

Kemudian, (11) Segera membentuk kelembagaan badan kelola KHDPK sampa tingkat tapak; (12) lakukan monev secara berkala pada seluruh kegiatan didalam KHDPK). (Ery)