Ekonomi Global Berjalan Menuju Arah Resesi, Ini Indikasinya

by
Diskusi Gelora Talk dengan tema 'Ancaman Resesi Global Mengintai, Bagaimana Indonesia Menghadapinya' secara daring di Jakarta, Rabu (20/7/2022). (Foto: GMC)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Sekarang ini, ekonomi global berjalan menuju arah resesi, dimana indikasinya seperti inflasi terus membubung tinggi, akibat harga-harga melonjak dan utamanya harga komoditas dunia. Hal ini, sebagai dampak penerapan quantitative easing (QE) sebagai kebijakan yang diterapkan pemerintah Amerika Serikat (AS) yang berlangsung lama.

Demikian diungkapkan Managing Director Political Economy & Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan saat menjadi narasumber dalam diskusi Gelora Talk dengan tema ‘Ancaman Resesi Global Mengintai, Bagaimana Indonesia Menghadapinya’ secara daring di Jakarta, Rabu (20/7/2022).

Dijelaskan Anthony, penerapan QE adalah satu kebijakan yang tidak konvensional namun dilakukan oleh bank sentral AS, The Fed, guna mempertahankan bunga acuannya tetap rendah. Namun untuk merelaksasi tingginya harga barang, sudah barang tentu pilihanya, menaikkan bunga bank central, agar harga semakin landai sehingga mengobati inflasinya.

“Hanya saja, seberapa mampu suku bunga tinggi meredam inflasi yang terus menghantui. Kalau saja inflasi tetap membubung tinggi dan sulit diredam, maka akan nyata hadirnya stagflasi berpelung menjadi chaos,” katanya.

Sebaliknya, terang Anthony, kendatipun harga komoditas ini berhasil diturunkan merespon suku bunga yang naik tersebut, maka akan berdampak terhadap perekonomian nasional Indonesia. Karena selama ini, harga komoditas yang tinggi terus menguntungkan Indonesia sebagai eksportir.

“Yang dikhawatirkan, suku bunga global yang dinaikkan tersebut, dan berhasil direspon dengan harga komoditas yang menurun, tentu akan sangat menyulitkan kembali bagi Indonesia,” terangnya.

Kalau hal ini terjadi, menurut Anthony, sangat terbuka capital outflow serta berkah win fall dari harga komoditas berangsur-angsur hilang. Begitupun cadangan devisa bakal tergerus sehingga Rupiah akan cenderung sulit dikendalikan.

“Belum lagi, dari sisi pendapatan dalam negeri sendiri tax ratio nasional masih rendah, sehingga agak mengkhawatirkan. Saat ini, kondisi baik-baik saja, karena diuntungkan faktor eksternal,” tegasnya.

Sedangkan untuk jangka pendek, menurut Anthony,.pemerintah harus lebih waspada kalau saja The Fed (Bank Sentra AS) menaikkan bunga acuan hingga 1%, atau setidaknya 0,75% yang pasti sangat berpengaruh terhadap pelemahan rupiah.

“Suka tidak suka yang terjadi perekonomian dunia melambat, termasuk AS juga mengalami masa sulit, sehingga hal tersebut menjadi pilihan,” terangnya seraya menambakan, inflasi yang terjadi secara global ini merupakan cost push inflation atau dorongan akibat kenaikan harga karena berbagai faktor termasuk transportasi. Ditengah harga yang melambung, pastinya terjadi penurunan permintaan.

Terkait potensi krisis, Anthony menerangkan, apa yang diprediksi dari 15 negara dari 100 negara termasuk Indonesia yang diramalkan menuju jurang krisis. Kondisi masing-masing negara berbeda seperti Sri Lanka misalnya, sebelum krisis global, perekonomian Sri Lanka juga sudah terpasung.

“Sebenarnya hanya butuh sekitar 10 miliar Dollar AS saja untuk menyelamatkan Sri Lanka, namun itu tidak mudah, tergantung geopolitik global, dibantu atau tidak. Dan ternyata tak ada yang bantu, jadi makin parah,” pungkas Anthony. (Ery)

No More Posts Available.

No more pages to load.