KPPI Dorong MA Tolak Uji Materiil Terkait Permendikbudristek No.30/2021 yang Diajukan LKAAM

by
KPPI, uji materiil
Lambang DPP KPPI.

BERITABUANA.CO, JAKARTAKaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) merekomendasikan kepada Mahkamah Agung (MA) RI, untuk turut menguatkan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, termasuk di lingkungan Perguruan Tinggi. Oleh karenanya, KPPI meminta kepada MA untuk menolak permohonan uji materiil atau judicial review Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, yang diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat.

Permintaan KPPI agar MA menolak permohonan uji materiil tersebut, kata Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan DPP KPPI Susilawati dalam keterangan tertulis yang diterima beritabuana.co, Jumat (1/4/2022), karena permohonan uji materiil (LKAAM, red) tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam mengajukan permohonannya, dan tidak memiliki hubungan sebab akibat antara kerugian atas hadirnya Permendikbudikbudristek.

Pernyataan Sikap KPPI
Pernyataan Sikap DPP KPPI.

Menurut Sisi, kekerasan seksual adalah kejahatan yang bertentangan dengan norma agama, norma budaya, merendahkan harkat, martabat dan merusak keseimbangan hidup manusia serta mengganggu keamanan dan kententeraman masyarakat. Sehingga perlu adanya aturan spesifik untuk mencegah kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

“Kebutuhan aturan itu dijawab dengan hadirnya Permendikbudristek PPKS, akibat belum optimalnya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual dalam fungsi pencegahan dan perlindungan untuk memenuhi hak korban,” ujarnya.

Lebih lanjut, Sisi demikian sapaan akrab Susilowati menjelaskan, pokok persoalan dalam uji materi yang diajukan adalah pada pasal 5 ayat 2 yang memuat frasa tanpa persetujuan korban. Para pemohon uji materi menganggap frasa tersebut bermakna melegalkan perzinaan. Bahkan ia menilai, para pemohon tidak mengerti konsep kekerasan seksual yang tertuang dalam Permendikbudristek itu.

“Sebab, frasa tanpa persetujuan korban untuk membedakan kekerasan seksual dengan aktivitas seksual lainnya. Tafsir ini (dalil yang diajukan pemohon) menunjukan ketidakpahaman pada persoalan kekerasan seksual, juga keliru karena ditafsirkan terbalik (a contrario),” terangnya.

 

Tak hanya itu, KPPI juga meminta MA untuk segera mengawasi hakim agung yang memeriksa uji materi tersebut agar terhindar dari konflik kepentingan, dengan Pemohon atau Termohon dan senantiasa mengedepankan nilai-nilai indepedensi, imparsial, dan integritas.

Kemudian KPPI berharap jaringan akademisi dan masyarakat sipil untuk berpartisipasi memberikan pendapat dalam uji materiil ini berdasarkan pengalaman perempuan korban kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan, kebenaran dan pemulihan dalam uji materiil ini dan juga cita-cita Pendidikan nasional.

“Korban, penyintas dan pendamping korban untuk tetap saling menguatkan dalam penanganan kasus kekerasan seksual khususnya yang terjadi di lingkungan pendidikan,” imbuh Sisi. (Asim)