Gerilya Lingkar Istana, Sesat Pikir dan Bahaya Besar Penundaan Pemilu

by

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Wacana penundaan pemilu 2024 terus memanas dan menjadi perhatian publik. Aktivis Demokrasi DKI Jakarta Alkautsar, misalnya.

Sejak pernyataan Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia bahwa dirinya telah menerima aspirasi sekelompok pengusaha yang menginginkan adanya perpanjangan masa jabatan presiden hingga 2027.

Tidak hanya itu, usulan para pengusaha seperti disampaikan Bahlil, didasarkan atas pertimbangan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil.

Wacana tersebut menuai kontroversi. Di pihak pendukung ada Muhaimin Iskandar dari PKB yang awalnya mengkritisi pernyataan Bahlil. Selanjutnya Airlangga Hartarto dari Golkar dan Zulkifli Hasan dari PAN.

Selain ketiga ketua umum partai pendukung pemerintah tersebut, Luhut Binsar Panjaitan sebagai sosok yang relatif dekat dengan Presiden Jokowi juga mendukung wacana penundaan pemilu.

Bahkan, Luhut mengklaim, dirinya memiliki akses terhadap big data yang merekam dukungan masyarakat terhadap penundaan pemilu.

“Dalih para pihak pendukung secara umum ada dua, yaitu aspirasi masyarakat dan pertimbangan kondisi ekonomi. Sementara itu, Partai Demokrat, PDIP, dan PKS merupakan partai-partai yang menolak tegas wacana tersebut,”kata Alkautsar dalam keterangan tertulisnya, dimuat Selasa (29/3/2022).

“Demikian halnya, dengan kalangan masyarakat sipil dan akademisi, sebagian besar menyatakan sikap penolakan. Dalih yang diajukan secara umum sama yaitu penundaan pemilu adalah inkonstitusional,”tambahnya.

Masih dikatakan pria yang akrab disapa Al ini, di publik sendiri banyak pihak meragukan kesahihan data yang digunakan sebagai dalih untuk menunda pemilu. Meski sekalipun, sambung dia, data tersebut dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.

Justru, jika dicermati dalih pertama para pendukung penundaan pemilu mengandung ‘sesat pikir’.

“Hal ini dikarenakan adanya pengadopsian pandangan yang berpendirian bahwa demokrasi identik dengan suara mayoritas, dan itu kontradiktif terhadap sesuatu yang esensial dari demokrasi,” tegas Al

Karl Popper dalam konteks yang berbeda pernah mengajukan sebuah pandangan tentang ‘paradoks toleransi’. Menurutnya, kata Al, toleransi yang tidak terbatas akan mengarah pada hilangnya toleransi itu sendiri.

“Meminjam konstruksi berpikir Popper, guna menyikapi pengidentifikasian demokrasi sebagai suara mayoritas, dapat pula diajukan gagasan tentang paradoks demokrasi,” ucapnya.

Jika demokrasi identik dengan suara mayoritas, lanjut Al, maka pihak-pihak yang anti demokrasi dapat membangun pengaruh. Sehingga, mayoritas berkehendak sama dengan pihak yang mempengaruhinya, yaitu menentang demokrasi.

Berdasarkan kehendak mayoritas yang berada di bawah dikte pihak kontra demokrasi, maka demokrasi selanjutnya bermutasi menjadi tirani mayoritas. Ada adagium dari Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” yang berarti kekuasaan cenderung untuk korup.

“Karena itulah kekuasaan perlu dibatasi untuk mencegah kemungkinannya berubah menjadi kesewenang-wenangan. Dalam konteks Indonesia, konstitusi pasca amandemen telah menegaskan dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa pemegang kedaulatan adalah rakyat,” sebut pria asal Aceh ini mengingatkan.

“Kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan tertinggi yang mana tidak ada lagi kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya. Bila dimaknai secara sederhana, hal itu berarti setiap kehendak rakyat tidak dapat ditolak karena konstitusi sebagai hukum tertinggi telah menyatakan rakyat sebagai pemegang kedaulatan,” ulas Demisioner Ketua LMND DKI Jakarta ini.

Kemudian, lanjutnya, termasuk misalnya kehendak rakyat untuk menunda pemilu sebagaimana klaim para pendukung wacana penundaan pemilu. Namun, jangan abaikan frasa lanjutan dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 di atas bahwa rakyat memegang kedaulatan dan hal itu dijalankan berdasarkan undang-undang dasar.

Maknanya, adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat dilakukan berdasarkan ketentuan yang ada dalam konstitusi.

“Lalu, dengan adanya frasa lanjutan tersebut, tidak kah konstitusi malah membatasi kekuasaan rakyat atau dalam lain kata rakyat tidak sepenuhnya berdaulat? Rakyat tetap berdaulat meski ada ketentuan semacam itu dalam konstitusi. Konstitusi sendiri merupakan ekspresi dari kehendak rakyat yang direpresentasikan melalui anggota MPR yang dipilih melalui pemilu,” papar dia.

Selanjutnya, kekuasaan rakyat tanpa hukum, menurut Alkautsar akan membuatnya condong ke arah anarkisme yang berpotensi chaos. Kondisi semacam ini, justru akan membuka peluang bagi pihak terkuat dalam masyarakat memangsa pihak yang lemah.

“Demokrasi dipastikan merosot menjadi tirani mayoritas. Kedaulatan rakyat beralih menjadi kedaulatan oligarkis. Reformasi yang meminta tumbal darah para pejuangnya akan gagal menghasilkan sistem politik yang mendudukkan rakyat pada posisi tertinggi. Jangan sampai itu terjadi kembali,” pungkasnya.(Jal)