Advokat Senior Nyatakan Indonesia Sudah Bertentangan dengan Pancasila

by
Advokat senior Eggy Sudjana dalam Dialog Kebangsaan bertemakan Menyongsong 100 Tahun Indonesia 'Revitalisasi Peran Strategis HMI untuk Indonesia Adil, Makmur dan Beradab yang menjadi rangkaian  Milad ke-75 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen, Senayan.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Advokat senior Eggy Sudjana menilai perjalanan bangsa Indonesia sudah sangat bertentangan dengan Pancasila.

Hal itu disampaikan dalam Dialog Kebangsaan bertemakan Menyongsong 100 Tahun Indonesia ‘Revitalisasi Peran Strategis HMI untuk Indonesia Adil, Makmur dan Beradab yang menjadi rangkaian  Milad ke-75 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (12/2/2022) ‘.

Selain Eggy Sudjana, narasumber dalam dialog yang juga dihadiri Ketua DPD RI, antara lain mantan Penasehat KPK Abdullah Hehamahua dan Pakar hukum Tata Negara Refly Harun.

“Bukan meninggalkan lagi, tetapi sudah bertentangan dengan Pancasila. Makanya kalau dilihat secara perspektif hukum sejak tahun 1998 itu pemerintahan ini ilegal, harusnya batal demi hukum karena bertentangan Pancasila,” katanya.

Salah satu yang bertentangan dengan Pancasila, kata Eggy, yakni adanya sistem pemilihan Presiden one man one vote.

“Sistem one man one vote ini coba dilihat, ini bertentangan dengan sila keempat Pancasila. Di situ tidak ada lagi ada musyawarahnya, lalu dimana azas perwakilannya,” ucap dia lagi.

Eggy mengatakan tidak sedang mengompori, namun memang faktanya sudah sangat jelas sehingga banyak yang harus diperbaiki negara ini.

Beruntung lanjutnya DPD RI saat ini berani menyuarakan berbagai persoalan dan kerusakan bangsa ini.

“Nggak ada DPD yang seberani sekarang ini. Makanya kita semua dukung perjuangan LaNyalla yang berani membongkar biang permasalahan bangsa,” tegasnya.

Abdullah Hehamahua juga menjawab dua pertanyaan LaNyalla yang dilontarkan kepada kader HMI. Yakni melakukan amandemen konstitusi ke-5 atau kembali ke konstitusi asli kemudian dilakukan penyempurnaan melalui adendum untuk perbaikan bangsa.

“Menurut hemat saya, kita harus kembali ke UUD 1945 asli dengan adendum sehingga kembali kepada MPR bersidang. Supaya tidak ada lagi yang namanya Presidential Threshold itu,” katanya.

Dalam adendum, Abdullah Hehamahua membolehkan untuk memasukkan poin- poin apa saja dalam memperkuat demokrasi.

“Misalnya mau memasukkan adanya penguatan peran DPD RI, ya silahkan,” ujar dia.

Sedangkan pakar hukum Tata Negara Refly Harun berbicara tentang Presidential Threshold. Menurutnya tidak ada rasionalitas penerapan PT 20 persen.

“Tidak ada dasar lagi untuk menerapkan PT 20 persen terutama karena pilpres dan pileg dilakukan serentak,” katanya.

Refly juga menyatakan keheranannya dengan adanya 22 putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan PT 20 persen.

“Kalau ada 22 putusan pengadilan untuk hal yang sama dan masih ada juga rakyat yang mengajukannya, yang jadi pertanyaan putusannya yang salah atau rakyatnya. Kalau kata saya, artinya putusannya yang salah,” kata Refly.

Lanjut Refly, dalam putusan hukum itu ada tiga hal yang harus dipenuhi. Yakni kepastian, keadilan dan kemanfaatan.

“Kita lihat PT 20 persen adil atau tidak. Tidak. Manfaatnya apa, yang ada malah banyak mudharatnya. Ini yang perlu terus kita perjuangkan,” tuturnya. (Kds)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *