Formappi Mencatat, DPR RI di Awal Tahun Ini Ditandai Semangat Emosional

by
Lucius Karus, FORMMAPI.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus mengatakan, pengusiran Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dan Sekjen Kemensos Harry Hikmat dari ruang Rapat Kerja DPR RI, merupakan ekspresi kemarahan yang seperti tak bisa dikendalikan atau dikompromikan. Hal yang sama juga terlihat dalam kasus Arteria Dahlan (Anggota F-PDIP) yang meminta seorang Jaksa supaya di copot karena menggunakan bahasa Sunda di dalam rapat DPR RI.

“Kejadian pengusiran dan juga luapan emosi kemarahan Anggota DPR terhadap mitra kerja nampaknya menjadi semangat awal tahun 2022 DPR. DPR RI mengawali tahun dengan semangat yang emosional,” kata Lucius Karus dalam keterangan tertulisnya yang diterima beritabuana.co, Kamis (20/1/2022).

Seperti diketahui, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani terpaksa diusir pimpinan rapat Komisi III DPR RI Desmond J Mahaesa hanya karena datang terlambat dan langsung duduk di Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI pada Kamis(13/1/2022) lalu.

Sementara Sekjen Kemensos Harry Hikmat, pada Rabu kemarin (19/1/2022) juga diusir oleh Komisi VIII DPR karena alasan adanya komunikasi buruk Harry dengan Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily.

Belum lagi, sikap Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan yang juga mendapat sorotan karena minta Jaksa Agung untuk mencopot seorang Jaksa karena menggunakan bahasa Sunda dalam rapat.

Namun, Lucius Karus melihat kasus pengusiran Komnas Perempuan dan Sekjen Kemensos tersebut muncul dari kondisi ketakberdayaan DPR RI dalam melaksanakan fungsi-fungsi khususnya, yakni fungsi Pengawasan.

Ketakberdayaan itu, kata dia terlihat jelas dari penilaian Formappi yang melihat DPR RI periode ini cenderung menjadi ‘stempel’ pemerintah. Penilaian ini pun disebut Lucius bukan tanpa sebab.

“Dan DPR sendiri nampaknya merasakan betul kondisi lembaga yang lemah di hadapan pemerintah itu,” ucapnya.

Ketakberdayaan DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan tambah Lucius membuat kekuasaan mereka yang besar jadi sia-sia. Sebab menurutnya, kekuasaan besar jika tak berfungsi hampir pasti mengganggu emosi hingga memunculkan stres atau frustrasi.

“Orang yang stres dengan mudah bisa marah-marah,” sebut Lucius seraya menambahkan, itu merupakan dugaannya menjadi alasan mendasar kenapa beberapa hari di awal tahun ini muncul banyak kasus DPR marah dan mengusir mitra kerjanya.

Menurut dia, sikap seolah-olah ekspresi marah hingga pengusiran itu memperlihatkan wajah DPR yang tegas dan penuh kekuasaan. Pada hal, tindakan mengusir itu hanya agar terlihat gagah, garang, penuh kuasa, menakutkan, dan lain-lain.

Lucius menyebutkan, persoalan Komisi III DPR RI mengusir Komnas Perempuan, Komisi VIII DPR RI mengusir Sekjen Kemensos, merupakan ekspresi DPR yang frustrasi karena merasa tak berdaya, tumpul, dan seolah-olah hanya stempel pemerintah saja.
Pada hal menurut dia, tak ada alasan mendasar yang bisa diterima dari tindakan pengusiran itu.

“Komisi III DPR RI mengusir Komnas Perempuan hanya karena terlambat dan tidak meminta izin untuk masuk. Alasan yang disampaikan Komnas dicuekin saja. Ya Komisi III DPR RI memang tak perlu alasan Komnas, karena mereka hanya mau perlihatkan saja kekuasaan besar DPR yang nyatanya ‘tumpul’ di hadapan pemerintah. Maka pengusiran hanya sekedar untuk terlihat masih punya kuasa besar itu. Alasan se rasional apapun tak akan bisa menahan emosi kemarahan itu karena hanya dengan begitu DPR bisa menunjukkan masih punya kuasa terhadap pemerintah,” terang Lucius.

Begitu juga dengan kemarahan Komisi VIII DPR RI atas Sekjen Kemensos. Konon cara komunikasi Sekjen dengan Komisi VIII DPR RI bermasalah. Kalau persoalan komunikasi Sekjen yang bermasalah, Lucius pun mempertanyakan apakah komunikasi Komisi VIII DPR RI yang mengusirnya tak lebih bermasalah?

“Jadi alasan bisa dibikin-bikin saja. Tersinggung sedikit langsung usir. Padahal kalau masalah di komunikasi, maka selesaikan dengan komunikasi yang baik. Dan komunikasi yang baik bukan dengan mengusir Sekjen tetapi mengajaknya berkomunikasi yang baik menurut versi DPR itu,” imbuhnya.

Dia menekankan lagi, alasan tidak begitu penting bagi DPR, karena yang penting bisa mengekspresikan diri sebagai lembaga yang penuh kuasa atas pemerintah dan karenanya kesalahan kecil saja sudah harus sampai mengusir. (Asim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *