Keterampilanm Menulis Bukan Bakat Lahir, tapi Bisa Dipelajari

by
Acara Bincang Santai Teras LPP ATVI.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Setiap orang bisa menulis, apalagi seorang dosen. Dosen dapat menuliskan setiap materi pelajaran yang disampaikan di ruang kelas. Menulis hanya memindahkan dari bentu ucapan ke dalam bentuk tulisan. Keterampilan menulis bukan bawaan atau bakat dari lahir, tetapi keterampilan yang bisa dipelajari oleh siapa saja. Terpenting ada niat dan aksi memulai sampai selesai.

Hal tersebut disampaikan praktisi, dosen, dan penulis buku, Rusman Latief dalam acara Bincang Santai Teras LPPM ATVI (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat-Akademi Televisi Indonesia) yang disiarkan langsung melalui channel Youtube, Kamis (30/12/2021). Acara tersebutr dipandu, Sisca T. Guring, dosen ATVI dan juga berprofesi sebagai blogger.

Rusman latief, adalah dosen tetap ATVI, juga menjadi dosen tidak tetap di beberapa kampus, di antaranya; Universitas Indonesia, Polimedia Jakarta, Universitas Pancasila, Universitas Mercu Buana, dan Universitas Tama Jagakarsa. Sebelum berprofesi dosen, merupakan praktisi bidang produksi acara televisi, di Indosiar, dan beberapa stasiun televisi swasta nasional lainnya. Saat ini, sudah menulis 12 buku, didominasi bidang ilmu penyiaran, khususnya produksi acara televisi.

Acara Bincang Santai Teras LPP ATVI ini seungguhnya mengandung konten yang bermanfaat bagi banyak kalangan, apalagi mahasiswa dan dosen. Acara dwi mingguan ini merupakan kolaborasi dengan Masterpedia, Taman Bacaan Bukit Duri Bercerita, dan didukung oleh Dana, penerbit Prenada Jakarta dan Penerbit Diomedia, Solo.

Dalam acara itu, Rusman latief menjelaskan, bahwa dosen yang enggan menulis buku, selalu dengan alasan klasik, tidak memiliki keterampilan menulis. Padahal seorang dosen sudah memiliki keterampilan menulis, yaitu dengan menulis skripsi, tesis atau desertasi.

“Itu semua merupakan keterampilan menulis. Hanya, keengaan ini, muncul karena tidak dosen kurang memiliki motivasi. Hanya mau jadi dosen yang biasa-biasa saja. Cukup mengajar di kelas melakukan pengabdian masyarakat dan menulis jurnal. Kurang motivasi menulis buku. Padalah nilai Jenjang Jabatan Akademik (JJA) menulis buku teks atau ajar, nilainya tinggi, sama dengannilai menulis di jurnal internasional,” katanya.

Menulis buku, lanjut Rusman, memang bukan suatu pekerjaan instan, tetapi melalui tahapan-tahapan perencanaan. Pertama, harus memiliki niat, yaitu keinginan menulis buku yang manfaat. Jika niat sudah dimiliki, kedua adalah kepercayaan diri. Mampu menulis buku, mampu menyusun kata, kalimat, paragrap dan menjadi buku. Ketiga, iklas atau tulus.

“Menulis buku tidak mengharapkan sesuatu, misalnya materi atau pengharagaan. Pokoknya iklas saja. Keempat, jika buku yang ditulis buku ilmiah, harus menjunjung tinggi nilai kejujuran. Kejujuran melakukan sitasi pada setiap pendapat seseorang. Jujur mengakui apa yang disampaikan adalah pandangan atau pendapat seseorang. Tahapan ke lima atau tahapan terakhir, SIAP. Maksudnya siap menyelesaikan buku tersebut. Tidak menyerah dengan berbagai halangan dan hambatan. Pokoknya siap mengelesaiakan hingga terbit,”papar Rusman Latief.

Bagi dosen yang ingin menulis khusus buku ajar, Rusman menyarakan, tulislah buku sesuai bidang yang diajarkan atau bidang keahlian. Dengan cara demikian akan lebih mudah menulisnya di banding jika menulis buku yang tema kurang dimengerti dan dipahami.

“Tulislah buku sesuai bidang keahlian, dan konsisten pada bidang ilmu yang sama. Misalnya, buku tentang broadcasting. Kosistenlah pada bidang itu. Jika menulis buku tentang produksi acara televisi nondrama, buku berikut jangan menulis tentang marketing. Ini akan menyulitkan penerbit untuk mengetahui bidang keahlian kita. Akan muncul keraguan untuk menerbitkannya. Selain itu, pembaca juga akan kebingungan tentang bidang keahlian kita,” ujarnya.

Hal yang perlu diperhatian, sebelum menulis, perlu melakukan observasi, penelitian, pengamatan jenis buku-buku yang sudah diterbitkan. Tujuannya, agar tidak menulis buku yang sama dengan buku yang sudah terbit. Hindari menulis buku yang sama dengan buku yang sudah terbit.Jika pun harus sama bahasannya, bedakan isi dan teknik penyampaiannya.

Sebaiknya, tulislah buku yang berbeda, terutama pada isinya. Jangan menulis buku, merupakan kumpulan kutipan dari buku-buku atau hanya kumpulan pandangan ahli, Jangan buat seperti kliping.

“Beranilah menulis pendapat atau pandangan sendiri, tentunya berdasarkan padangan dari para ahli. Dengan demikian akan ada hal baru dalam buku yang ditulis anda tulis. Ini menjadi nilai lebih dari buku-buku sebelumnya,” katanya.

Jangan Takut Menulis

Lebih lanjut Rusman mengatakan, menulis buku ajar atau referensi, tidak cukup dengan modal sumber dari buku. Karena, dalam satu buku, pasti ada kekurangnnya. Isinya juga kadang sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian. Sementara kita menulis buku ingin menyampaikan sesuatu yang baru yang mungkin belum ditemukan dalam buku yang sudah terbit.

Oleh karena itu, kita perlu melakukan observasi dan penelitian langsung kelapangan. Misalnya melakukan wawancara (bertanya) kepada para ahli atau praktisi.

Tujuannya, untuk mendapatkan hal-hal baru dari bidang yang akan kita tulis. Selain itu, selalu up date perkembangan bidang ilmu yang kita tulis. Melalui media, khususnya media online. Dengan demikian, buku yang kita tulis akan berbeda dengan buku-buku yang sudah terbit.

Rusman Latief, menyarankan kepada calon penulis, khususnya para dosen yakni menulis buku jangan takut kepakaran seseorang yang sudah menulis buku. Buku yang ditulis seorang guru besar atau seorang doktor.

“Yakinlah apa yang anda akan tulis memiliki nilai yang sama yang ditulis oleh guru besar atau para doktor. Percayalah guru besar dan para doktor, manusia sama dengan anda. Memiliki keterbatas pemikiran. Tidak mengetahui secara sesusi. Mungkin yang lupa dari perhatian mereka itulah yang anda tulis untuk melengkapinya,” katanya.

Untuk menembus penerbit mayor agar buku anda dapat diterbitkan dan dipasarkan saecara nasional, tambah Rusman, pastikan, buku yang anda tulis, ada pasarnya atau pembacanya. Misalnya, buku ajar tentang teori jurnalistik. Pasar buku ini, sudah ada pasar atau pembacanya mahasiswa ilmu komuniksi media massa.

“Jika tidak memastikan ada konsumennnya, penerbit tidak berani mengeluarkan biaya produksi tanpa mengetahui konsumen buku tersebut. Penerbit adalah industri bisnis yang mencari keuntngan ekonomi. Jadi tidak hanya memperhatikan unsur idealisme sebuah buku tetapi juga unsur bisnisnya,” ucap Rusman. (Jimmy)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *