BERITABUANA.CO, JAKARTA – Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo mengatakan bahwa aktualisasi dari haluan negara dan paradigma negara Pancasila, setidaknya mengisyaratkan lima fungsi. Pertama, kata dia, haluan negara sebagai mekanisme demokrasi dan alat komunikasi dengan rakyat, yang harus mampu menampung aspirasi seluruh rakyat.
“Kedua, haluan negara menjadi penghubung dan media interaksi bagi bertemunya berbagai arus pemikiran masyarakat dari segala lapisan, etnik,wilayah maupun golongan,” kata Bamsoet dalam FGD MPR RI bertajuk “MPR sebagai Lembaga Perwakilan Inklusif”, di Media Center Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (18/10/2021).
Selain itu, sambung Bamsoet sapaan politisi Partai Golkar ini, haluan negara dapat berfungsi menjadi saluran aspirasi bagi kelompok minoritas atau kelompok marjinal sekalipun. Keempat, ucapnya, haluan negara akan menjadi alat komunikasi, dalam menghimpun, mempersatukan semua elemen bangsa dan daerah.
“Kelima, haluan negara bersifat inklusif dalam menjalankan fungsi representasi serta fungsi permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia,” paparnya.
Namun diakui Bamsoet, dalam konsep demokrasi, seringkali melupakan bahwa di samping demokrasi mayoritas yang lebih mengutamakan suara mayoritas, juga dikenal dengan konsep demokrasi konsensus. Yakni, yang lebih mengutamakan hadirnya konsensus dalam penyelesaian berbagai persoalan kebangsaan, maupun dalam perumusan kebijakan.
Akan tetapi, kata Bamsoet, dalam praktik kehidupan politik berbangsa dan bernegara, saat ini Indonesia cenderung mengadopsi demokrasi mayoritas.
“Hari ini kita terjebak dalam demokrasi mayoritas ujungnya demokrasi angka-angka. Sehingga demokrasi kita menjadi demokrasi yang sangat mahal, dan timbulah korupsi-korupsi di semua tingkatan,”urainya.
“Padahal, sejatinya demokrasi mayoritas hanya dapat bekerja optimal dalam negara yang homogen, bahkan faktanya hanya sedikit sekali negara di dunia ini yang benar-benar mengadopsi model demokrasi mayoritas secara murni. misalnya Inggris dan Barbados,” ucapnya.
Sementara bagi negara dengan tingkat heterogenitas yang tinggi seperti Indonesia, kata Bamsoet, mengadopsi demokrasi mayoritas secara absolut justru akan lebih berpotensi menimbulkan permasalahan daripada menghadirkan solusi.
“Mengapa? Karena dalam masyarakat heterogen fleksibilitas untuk membangun kompromi akan lebih sulit dilakukan, jika tidak ada semangat dan komitmen kebangsaan yang kuat untuk merangkul dan mengedepankan kebersamaan. Penting kita sadari kalau kita biarkan demokrasi mayoritas ini terus berlanjut maka pemilik modal akan sangat berpengaruh dalam negara yang mengedepankan demokrasi mayoritas,” pungkas Bamsoet. (Jal)