Bicara Soal PPHN, Bamsoet Kembali Tegaskan, Penguatan Haluan Negara Bukan Suatu yang Tabu

by
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. (Foto: Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, apa pun hasilnya dari upaya menghadirkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam bentuk baru, yakni Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), semua berpulang kepada kekuatan partai politik (Parpol) yang ada di Parlemen. Namun, jika merujuk pada beberapa negara di dunia, ketentuan mengenai pengaturan haluan negara bukanlah sesuatu yang tabu.

Bambang Soesatyo mengatakan ini saat menjadi Keynote Speech pada Focus Group Discussion/FGD MPR RI bertema ‘Pokok-Pokok Haluan Negara’, di Media Center Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (11/10/2021).

Negara-negara yang dimaksud Bamsoet sapaan politisi Partai Golkar ini, seperti Irlandia, India, dan Filipina yang menyebutkan secara tegas prinsip-prinsip haluan negara tersebut di dalam Konstitusi mereka. Irlandia mencantumkan Directive Principles of Social Policy pada Pasal 45 Konstitusi Irlandia Tahun 2015. India mencantumkan Directive Principles of State Policy pada Bab IV Konstitusi India. Sedangkan Filipina mencantumkan Declaration of Principles and State Policies Principles pada Pasal II Konstitusi Filipina Tahun 1987.

“Sementara beberapa negara lainnya, meskipun tidak secara tegas mencantumkan di dalam Konstitusi, tetapi beberapa pengaturan di dalam Konstitusi memuat prinsipprinsip haluan negara. Misalnya di negara Afrika Selatan, Brazil, dan Korea Selatan. Sistem ketatanegaraan di setiap negara akan selalu dibangun dari konsensus nasional yang merupakan penjelmaan kehendak rakyat, yang dibentuk berdasarkan karakteristik dan ke-khasan masing-masing negara,” ulasnya.

Di Indonesia, menurut Bamsoet, pentingnya kehadiran sebuah haluan negara, berangkat dari sebuah kebutuhan akan hadirnya prinsip-prinsip yang bersifat direktif, yang akan menjabarkan prinsip-prinsip normatif dalam Konstitusi menjadi kebijakan dasar politik negara, sebagai panduan atau pedoman bagi penyelenggaraan pembangunan nasional. Setelah MPR tidak lagi memiliki wewenang menetapkan GBHN, fungsi GBHN digantikan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 – 2025.

“Namun dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan tersebut masih menyisakan beragam persoalan. Selain kecenderungan eksekutif sentris, dengan model sistem perencanaan pembangunan nasional yang demikian, memungkinkan RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan. Karena implementasi RPJMN didasarkan kepada visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam pemilihan umum, maka masingmasing dapat memiliki visi dan misi yang berbeda dalam setiap periode pemerintahan,” sebut dia.

Demikian pula antara sistem perencanaan pembangunan nasional dan sistem perencanaan pembangunan daerah, kemungkinan berpotensi terjadi ketidakselarasan pembangunan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tidak terikat untuk mengacu RPJMN mengingat visi dan misi Gubernur/Bupati/Walikota sangat mungkin berbeda dengan Visi dan Misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Di samping itu, desentralisasi dan penguatan otonomi daerah (Otda) berpotensi mengakibatkan tidak sinerginya perencanaan pembangunan antar daerah, serta antara pusat dan daerah.

“In-konsistensi arah dan kebijakan pembangunan antara jenjang nasional dan daerah berpotensi menghasilkan program pembangunan yang bukan saja tidak saling mendukung, tetapi juga bisa saling menegasikan satu sama lain. Dampak dari implementasi pembangunan yang tidak sinergis, tidak selaras, dan tidak berkesinambungan, sangat berpotensi menimbulkan in-efisiensi atau pemborosan anggaranm. Merujuk pada kondisi saat ini, kita telah menginjakkan kaki pada fase akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005–2025. Saat ini adalah saat yang ideal untuk meletakkan dasar legalitas yang tepat dan memadai, untuk menyusun program pembangunan jangka panjang berikutnya, mengingat menjelang tahun 2024 energi dan fokus perhatian kita akan terserap untuk penyiapan berbagai agenda politik di tahun 2024,” kata Bamsoet.

Karena itu, masih menurut mantan Ketua DPR RI ini, keberadaan PPHN ini justru akan makin melengkapi sempurnanya bangunan ketatanegaraan Indonesia, yaitu Indonesia memiliki Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, UUD NRI 10 Tahun 1945 sebagai haluan konstitusional negara, dan PPHN sebagai kebijakan dasar pembangunan negara. Substansi PPHN hanya mengatur hal-hal yang bersifat filosofis dan turunan pertama dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, hadirnya PokokPokok Haluan Negara sama sekali tidak akan mengurangi ruang dan kewenangan Pemerintah untuk menyusun cetak biru pembangunan.

“Sampai di titik ini, dari beberapa uraian yang saya kemukakan tadi, kiranya kita dapat menarik kesimpulan awal bahwa kita memang memerlukan penjabaran lebih lanjut dari cita-cita dan tujuan Indonesia merdeka sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Maka sebenarnya, perdebatan atas gagasan menghadirkan PPHN, bukanlah terletak pada urgensinya, melainkan terletak pada bentuk hukum dan substansi dari PPHN itu sendiri,” demikian Bamsoet. (Jimmy)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.