Melihat Konflik di Afghanistan dan Memetik Pelajaran dari Konflik Peradaban

by
Ilustrasi

SEBAGAI seorang praktisi dan akademisi yang dilatarbelakangi kepada pengalaman panjang selama hampir 28 tahun menjadi bagian dari berbagai aktivitas pengelolaan konflik di berbagai level di banyak tempat (dari Aceh sampai dengan Poso, bahkan Bosnia Herzegovina, Afghanistan) menilai betapa mahalnya dan buruk harga suatu konflik kekuasaan, konflik peradaban.

Mahal dan buruknya konflik peradaban tidak saja dimaknai sebagai suatu kalkulasi kerusakan material dan hilangnya nyawa manusia tetapi mahal dan buruknya konflik seperti Afghanistan pada realitas sejarahnya menunjukkan lahirnya suatu model siklus konflik yang bersifat berulang dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikut sebagai suatu konflik yang hadir berseri-seri (series conflict) dengan tema sama yang merugikan upaya pembangunan peradaban .

Konflik seperti ini umumnya melahirkan suatu relasi sosial masyarakat yang rapuh (fragile society) atau dengan kata lain “Mix But Not Combine” dimana mitos dan memori konflik menjadi bagian dari sikap dan perilaku masyarakat yang selalu terbawa dalam alam sadar dan bawah sadarnya dan sewaktu-waktu dapat menjadi pemicu konflik konflik baru dalam berbagai skala dan kepentingan.

Jika menilik pada pendekatan kesejarahan, Afghanistan sendiri tidak banyak suku (kurang lebih 7-9 suku bangsa) yang mendiami wilayah geografisnya yang tidak lebih dari 600-an ribu hektare.

Dengan posisinya yang berada di antara Asia Tengah dan Asia Selatan, menjadikan Afghanistan menjadi salah satu jalur sutra (economy road) yang menghubungkan negara-negara yang mengelilinginya.

Manusia sudah tinggal di Afghanistan sejak Zaman Batu Tua (Paleolitik) Tengah. Lokasi strategis negara tersebut di sisi sepanjang jalur sutra telah menghubungkan Afghanistan dengan budaya Timur Tengah dan Asia bagian lain.

Sepanjang abad, Afghanistan telah menjadi tempat tinggal untuk banyak orang dan telah menjadi objek dari banyak kampanye militer, terutama dari Aleksander Agung, Maurya, Arab, Mongolia, Inggris, Rusia dan di era modern oleh dunia barat.

Afghanistan juga menjadi tempat di mana dinasti Kushan, Hun Putih, Samanid, Safarid, Ghaznavid, Gurid, Khilji, Mughal, Hotaki, Durrani dan lain-lain telah bangkit dan membentuk kerajaan besar.

Sejarah politik negara Afghanistan modern mulai dengan penguasaan Kekaisaran Hotaki dan Durrani di Abad ke-18. Pada akhir Abad ke-19, Afghanistan menjadi negara penyangga di antara Kekaisaran Rusia dan Kemaharajaan Britania.

Setelah Perang Afghanistan ketiga di 1919, Raja Amannullah mencoba untuk memodernisasi Afghanistan, tapi gagal.

Afghanistan menjadi negara yang damai pada waktu pemerintahan Zahir Syah selama empat puluh tahun. Pada tahun 1970-an, serangkaian kudeta diikuti dengan serangkaian perang sipil menghancurkan sebagian besar Afghanistan.

Kejadian-kejadian ini mulai ketika negara tersebut dijadikan negara sosialis di bawah pengaruh Uni Soviet selama Perang Soviet-Afghanistan.

Setelah pasukan Soviet meninggalkan Afghanistan, negara ini menjadi negara Islam karena Persetujuan Peshawar, namun sebagian besar wilayahnya telah dikuasai oleh kelompok supremasi Islam, Taliban, yang memerintah negara itu selama hampir lima tahun sebagai rezim totaliter.

Sejak serangan 11 September 2001 di Amerika, saat Taliban dipaksa keluar dari Afghanistan oleh koalisi yang dipimpin NATO, struktur politik Afganistan diganti dengan pemerintah pro-Barat yang dipilih melalui proses demokrasi.

Potret konflik dan perang di Afghanistan menunjukkan bahwa wilayah ini menjadi arena dimana banyak kepentingan institusi ideologis, politik dan ekonomi dalam negeri berkolaborasi dengan aliansi asing berkonflik dalam rangka mewujudkan supremasi kekuasaan di Afghanistan dengan mengusung dalil dalil demokrasi, islamisme, sosialisme, monarkisme maupun nasionalisme.

Realitas sejarah Afghanistan menunjukkan bahwa kemenangan dan kekalahan masing-masing faksi terjadi secara silih berganti sehingga kemenangan faksi Taliban kali ini juga meninggalkan satu pertanyaan kristis, akankan faksi Taliban saat ini akan mampu membentuk suatu pemerintahan yang didasarkan pada prinsip satu untuk semua, semua untuk satu untuk mewujudkan suatu Tanah Aair Afghanistan yang damai atau kembali kepada siklus konflik dan perang saudara yang selalu terjadi berulang.

Dari potret sederhana tersebut diatas , kita dapat belajar tentang mahalnya kedamaian di Afghanistan diakibatkan rapuhnya harmoni sosial akibat faksionalisasi kelompok serta tidak adanya perekat kebangsaan yang disepakati sebagai suatu konsesus bersama yang menjadi fundamental norma bagi sistem pemerintahan dan pergaulan sosial masyarakat.

Indonesia dengan konsesus kebangsaan yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa melalui rumusan Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945 adalah instrumen mendasar yang menjadi spirit konstinusional yang tidak saja menyatukan yang beragam tetapi juga menjadi norma yang wajib dioperasionalkan dalam sistem pemerintahan dan pergaulan sosial masyarakat.

Konsesus kebangsaan yang berjumlah empat tersebut menjadi katalisator sekaligus media transformatif bagi pengaruh-pengaruh asing yang bersifat ideologis, politik, dan ekonomi termasuk budaya yang bertebaran pada era informasi dan globalisasi.

Fenomena konflik peradaban (The Clash Of Civilization ) sebagaimana thesis Samuel Hutington yang tergambarkan pada konflik Afganistan menjadi pelajaran penting bagi bangsa Indonesia yang multi kultur, apalagi pada era informasi dan globalisasi yang membuat potensi konflik peradaban lebih bersifat terbuka, sehingga negara memerlukan satu pendekatan yang tegas dan all any cost dalam menegakkan nilai-nilai kebangsaan dalam sistem pemerintahan dan relasi sosial serta mencegah segala bentuk politisasi dan gerakan politik yang bertentangan dengan konsesus kebangsaan yang telah disepakati dan mengikat bagi seluruh Warga Negara Indonesia sekaligus sebaga jiwa dari NKRI yang merdeka dan berdaulat yang harus dihormati oleh bangsa bangsa lain.

Yogya , September 2021

*Satrio Toto Sembodo* – (Pecinta Tanah Air dan Pancasila) 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *