Dampak Luar Biasa Pandemi Covid-19 dan Pembelahan Sikap Publik

by
Covid-19.
Teddy Yamin.

Oleh: Teddy Mihelde Yamin (Direktur Ekeskutif Cikini Studi)

DI tengah pandemi Covid-19 yang semakin menggila di berbagai belahan dunia ini, selalu dan tak terhindarkan terjadinya pembelahan sikap publik. Di darat maupun di media sosial (medsos), dalam menyikapinya kebijakan  pemerintah. Bahkan di beberapa negara menimbulkan gejolak politik dan kerawanan sosial yang parah. Karena  memang dampak pandemi ini luar biasa. 

Hari-hari ini adalah hari pusing, deg-degan bagi banyak orang di Republik Indonesia, dan sebagian isi planet bumi. Tampaknya  bukan hanya rakyat tetapi juga pemerintahan dimana-mana. Ada yang takut kehilangan nyawanya, ada juga yang deg-degan menjalankan kebijakan yang tepat. Bagaimana tidak, curva penyebaran dan kematian corona virus di Tanah Air, memang benar-benar meroket tinggi. Setiap hari bermacam rekor terpecahkan. Yang semula pede, belakangan sibuk berdalih. 

Sementara dampak ekonomi dan sosialnya jangan ditanya lagi, so pasti menyebar dan terasa kemana-mana. Sedangkan buntutnya masih belum terlihat. Sekarang ‘maju kena  mundur kena’ kayak judul film saja, artinya nggak bisa bergerak. Apakah berarti RI pasrah? Melihat pertambahan yang tak terkendali sekalipun berbagai pembatasan  sudah dilakukan di tengah PPKM Darurat  beberapa lembaga  rating  asing besar dunia  sudah menyarankan, agar RI  mengambil langkah lebih tegas lockdown. Tapi, aku nggak yakin apapun lembaga dunia itu yang memberi saran, bisa  dijalankan, tanpa kucuran duit yang banyak. 

Namun begitu, pemerintah patut mensyukuri rakyat masih cukup sabar, sekalipun kelangsungan hidupnya tengah terancam. Beda dengan negara tetangga kondisi ini membuat  politiknya bergolak. Kalau pun ada nakes yang mundur, karena beban kerja yang tinggi sementara ‘ekstra bonus’ yang dijanjikan tak kunjung turun. Masih bisa dikendalikan. Begitu juga kayaknya dengan suara-suara BEM di beberapa kampus, juga redup, mahasiswa pun aman dan terkendali. Kalau partai politik nggak usah dibahas, kalau urusan sponsor selesai,  semua akan baik-baik saja.

Kalau di Indonesia sebenarnya mudah dicermati. Di satu sisi berasal dari kelompok pendukung pemerintah, yang mendukung apapun kebijakan yang diputuskan seolah ‘tanpa cela, menutup mata semua nada minor’. Sekalipun mengorbankan sikap kritisnya dengan memaklumi segala kealpaan yang terjadi. Walau kasat mata akibatnya  mengorbankan besarnya korban. 

Yang membuat miris, dalam kondisi sepahit ini masih saja ‘mentang-mentang’, tak sensitif, tak konsisten dan seolah abai. Misalnya  bias dalam memutuskan suatu peraturan atau kebijakan. Awalnya ngomong A, faktanya sekarang jadi C. Padahal di era digital saat ini, jejak digitalnya mudah dicari. Contoh terakhir dalam perubahan PP tentang Statuta UI, spontan saja jadi cemoohan publik, dalam berbagai versi. Ada yang sinis atau sekedar lucu-lucuan. 

Sementara di lain pihak, adalah kelompok yang sepertinya mendapatkan momen untuk protes, marah ataupun sekedar ‘ngenyek’. Maklum netizen banyak yang zonk dan punya waktu  selama PPKM dan bekerja WFH ini. 

Sikap memaklumi kebobrokan rasanya sah saja. Tidak ada yang salah, wong namanya ‘cinta ya tetap cinta’.  Seperti ungkapan, “Tahi kucing juga rasa coklat”. Sebaliknya, apakah wajar dalam kondisi seperti ini publik marah?

Jadi ingat pendapat Ariel Heryanto, Profesor dari Monash University,  Australia yang menganalisa akar sikap membenci pada orang Indonesia. Menurutnya, “Wajar saja, selama ada ketimpangan, orang berhak marah. Saat ada ketimpangan, orang butuh jalur atau wadah untuk mengungkapkannya. Kalau di suatu negara, jalur atau wadah itu tidak ada, orang akan mencari caranya sendiri. Bisa dengan ujaran kebencian, hoax, atau bahkan bom bunuh diri,” katanya pada suatu acara obrolan bareng “Media dalam Dinamika Politik Identitas” di Jakarta pada Jumat (20/7/2018) lalu. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *