Menteri LHK, Siti Nurbaya: Indonesia Targetkan di 2030, Penurunan Emisi GRK Sebesar 29 Persen

by
Menteri LHK RI, Siti Nurbaya.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya menjadi salah satu narasumber dalam dialog nasional yang digelar salah satu grup media di Indonesia, Kamis (28/1/2021). Selain Menteri LHK, dialog yang mengangkat tema “Sustainable Energy: Green and Clean” ini menghadirkan narasumber lain yaitu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ketua Komisi VII DPR RI, Direktur Utama PT Pertamina, Kepala SKK Migas, dan Direktur Utama PLN.

Menteri Siti mengawali paparannya dengan menerangkan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia dan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) Nasional. Dalam NDC-nya, Indonesia memiliki target penurunan emisi GRK pada tahun 2030 sebesar 29 persen, dan hingga 41 persen dengan dukungan internasional.

“Target NDC pada tahun 2030, yaitu penurunan emisi GRK sebesar 29 persen atau setara dengan 834 juta ton CO2e. Khususnya pada sektor energi, target pengurangan karbon sebesar 314 juta ton CO2e. Angka tersebut terbagi dalam beberapa sub sektor yaitu energi efisiensi sebesar 41,76 juta ton CO2e, energi baru terbarukan (EBT) 183,66 juta ton CO2e, energi bersih 74,00 juta ton CO2e, fuel switching 9,59 juta ton CO2e, dan agriculture, forestry and other land use (AFOLU) 5,00 juta ton CO2e,” terangnya.

Kementerian LHK, selaku National Focal Point (NFP) pada UNFCCC,selalu memberikan dukungan agar kelima sektor dalam NDC yaitu sektor energy; limbah; industrial processes and production use (IPPU); pertanian; dan kehutanan, dapat mencapai target pengurangan emisi. Mendorong upaya pencapaian target NDC pada sektor energi, Menteri Siti menyampaikan hal yang dapat didukung oleh Kementerian LHK dalam EBT adalah mendorong Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk Bioenergi, pemanfaatan jasa lingkungan air untuk teknologi mikrohidro, pemanfaatan sampah menjadi energi listrik, dan pemanfaatan panas bumi atau geothermal.

Menteri Siti mengelaborasikan, Kementerian LHK terus mendorong pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk bioenergi atau singkatnya adalah Hutan Tanaman Energi (HTE). Pelepasan kawasan hutan 6,91 juta Hektare (Ha) yang 78,39 persen adalah sawit yang juga berpotensi untuk menjadi sumber bioenergi. Selain itu, izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 0,44 juta Ha adalah HTI untuk sektor energi.

“Hal lain dari Kementerian LHK untuk mendukung terciptanya EBT adalah adanya kebijakan dan regulasi usaha pengembangan hutan tanaman energi yaitu Peraturan Menteri LHK Nomor 62 Tahun 2019 dan Nomor 11 Tahun 2020. Kemudian, penerapan sistem agroforestry pada hutan tanaman dimaksudkan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pangan dan energi. Kementerian LHK juga telah menyusun nota kesepahaman dengan Kementerian ESDM tentang pengembangan EBT di kawasan hutan,” jelas dia.

Potensi Bioenergi

Hingga saat ini, sebagaimana yang disampaikan Menteri LHK, telah terdapat potensi-potensi terkait HTI untuk bioenergi, diantaranya adalah terdapat 14 unit usaha dengan luas alokasi untuk tanaman energi seluas 156,032 Ha dengan jenis tanaman berupa Sengon, Kaliandra, Akasia, Bakau, Gamal, Bambu dan sebagainya. Terdapat juga 18 unit usaha di 10 Provinsi yang berkomitmen mengembangkan bioenergi, dengan luas alokasi untuk tanaman energi seluas 46.600 Ha.

Selanjutnya, Menteri Siti memberikan contoh penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dari Kementerian LHK yang dapat mendukung EBT. Contoh yang pertama adalah teknologi mikrohidro yang dapat menjadi pembangkit listrik tenaga air skala kecil dengan batasan kapasitas antara 5 kW hingga 1 MW per unit, sehingga pemanfaatan jasa lingkungan air sebagai mikrohidro ini dapat membantu daerah remote yang tidak terjangkau pembangkit dari PLN.

Teknologi mikrohidro di kawasan konservasi memanfaatkan aliran sungai. Teknologi ini telah memberikan manfaat kepada 29.285 kepala keluarga di 16 desa sekitar kawasan konservasi. Selain di kawasan konservasi, dunia usaha atau para pemegang ijin pemanfaatan jasa lingkungan air juga telah ada yang berkontribusi membangun pembangkit listrik mikrohidro.

Sebanyak 7 unit pemegang ijin, terdapat 2 unit yang telah membangun mikrohidro yaitu di kawasan Taman Naional (TN) Kerinci Seblat sebesar 6 MW dan TN Manupeu Tanadaru-Laiwangi Wanggameti sebesar 1,6 MW. Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian LHK hingga saat ini telah membangun 31 unit mikrohidro yang memberi manfaat pada 1.731 kepala keluarga di 28 desa sekitar kawasan hutan.

Dukungan lainnya agar EBT tercipta adalah mendorong pemanfaatan sampah menjadi energi listrik. Diperkirakan, total sampah yang bisa diolah mencapai 16 ton per hari, untuk menghasilkan listrik sebesar 234 MW. Beberapa lokasi percepatan pembangunan fasilitas Pembangkit Listrik Teknologi Sampah (PLTSa) antara lain Palembang, Kota Tangerang, Tangerang Selatan, DKI Jakarta, Kota Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Denpasar, Surabaya, Manado dan Makassar.

Potensi EBT lainnya adalah panas bumi atau geothermal yang di Indonesia mencapai hingga sebasar 14.961 MW. Jumlah tersebut, sebesar 12.705 MW berada di kawasan konservasi yang menyebar di 18 Provinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Maluku.

Melihat potensi EBT yang sangat besar di Indonesia, Menteri Siti mengharapkan penciptaan dan pemanfaatan EBT di Indonesia dapat meningkat hingga sebesar 50 persen pada tahun 2050, agar penggunaan bahan bakar fosil seperti batubara dapat berkurang hingga 50 persen pada tahun yang sama.

Menteri Siti menegaskan pada dialog kali ini bahwa Indonesia termasuk negara yang cukup baik dalam upaya pengendalian perubahan iklim. Tren positif Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim dibuktikan dengan keberhasilan kinerja pengurangan emisi GRK periode 2014-2016 dengan volume pengurangan emisi sekitar 20,3 juta ton CO2e.

“Hasil positif tersebut membuat Indonesia menerima dana sebesar 103,8 juta Dolar Amerika dari Green Climate Fund (GCF) melalui skema Result Based Payment (RBP). Melalui skema yang sama juga, Indonesia menerima 56 juta Dolar Amerika dari Norwegia atas keberhasilan penurunan emisi GRK,” demikian disampaikan Menteri LHK Siti Nurbaya. (Kds)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *