Oleh: Andoes Simbolon (Wartawan Senior Beritabuana.co)
KABAR duka meninggalnya Roy Binilang Bawatanusa (BB) Janis saya dapat dari Ketua DPD PDI P Jakarta, Adi Wijaya alias Aming, Senin (28/12/2020) malam sekitar pukul 21.00 Wib. “Roy meninggal, Roy BB Janis.” Aming menyampaikan berita duka itu kepada saya dari dalam mobilnya karena sudah siap-siap meninggalkan kantornya di Jalan Tebet Raya, Jakarta selatan. “Barusan,” kata Aming menambahkan.
Saya kaget mendengar berita meninggalnya Roy BB Janis. Setelah itu saya menelepon tiga teman wartawan yang selama ini sudah bersahabat dan akrab dengan almarhum. Mereka rupanya sudah lebih dulu mendapat kabar tersebut beberapa waktu sebelumnya. Berkat kemajuan teknologi informasi dewasa ini, memang segala macam informasi dengan cepat tersebar melalui WA, instagram atau facebook. Begitu jaga besok paginya, hampir semua media online sudah memberitakan kepergian Roy BB Janis.
Dia menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Ini bisa dimengerti karena almarhum adalah seorang politisi nasional dan kiprahnya di dunia politik sudah tergolong lama. Saya sendiri mengenal almarhum sudah cukup lama, dan kemudian semakin dekat pada tahun 90 an. Tak hanya saya, wartawan lain dari berbagai media pun akrab dengannya. Mas Roy, begitu dirinya akrab disapa, termasuk politisi yang mudah diwawancarai. Kemudahan itu membuat hubungan wartawan dengan almarhum cepat akrab. Sebagai pimpinan partai, Roy pun sudah di kenal luas terutama di PDI Perjuangan. Dia tak pernah membuat jarak dengan anggota partai, sehingga tidak ada sekat meski kedudukannya adalah elit PDI Perjuangan.
Selain itu, Roy adalah sosok politisi periang, cerdas, humoris dan selalu senyum. Pembawaannya luwes dan selalu tenang. Tetapi dibalik itu, almarhum pun seorang politisi yang tegas dalam berpolitik, teguh dengan prinsip yang diyakininya termasuk berjuang atau memperjuangkan kepentingan rakyat.
Saya pernah memperkirakan karir politiknya bakal moncer, hingga suatu saat Roy jadi pucuk pimpinan di PDI Perjuangan. Kongres PDI Perjuangan I di Semarang tahun 2001, Megawati Soekarnoputri menunjuk dia sebagai salah satu ketua DPP. Hubungannya dengan Megawati dan suaminya Taufiq Kiemas begitu dekat dan harmonis.
Ternyata perkiraan itu meleset. Kongres di Bali tahun 2005 rupanya merubah jalan politiknya. Tidak lama setelah kongres, Roy dan beberapa koleganya yang sepaham terpaksa hengkang dan kemudian mendirikan partai baru, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP).
Pada hal sejujurnya, justru karena kecintaannya lah pada PDI Perjuangan sehingga Roy berusaha kritis, meluruskan yang dianggapnya bengkok. Roy ingin membangun suatu budaya atau tradisi politik baru di PDI Perjuangan, termasuk mengikis habis kultur feodalisme. Sayang, gagasan atau idenya di kongres tak mendapat sambutan dari elit partai lain hingga dia memutuskan keluar dari ‘Kandang Banteng’ yang membesarkannya. Praktek partai modern itu sempat diwujudkan di PDP, dimana dia salah satu pimpinannya.
Sebagai sahabat, saya sebetulnya tidak setuju atas keputusannya. Saya mendukung gagasan dia membangun PDI Perjuangan menuju partai modern, tapi tak bisa dipaksakan saat itu juga. Karena menjadikan PDI Perjuangan sebagai partai modern tak semudah membalik tangan. Jadi waktu dia keluar dari PDI Perjuangan dan mendirikan partai baru saya justru sedih.
Bagi saya, Roy adalah politisi PDI Perjuangan yang dinamis, berintegritas, nasionalis, sehingga tak berlebihan keberadaannya di Kandang Banteng harus dipertahankan sebagai pengawal dan menjaga roh partai, partai penjaga tegaknya NKRI dan Pancasila.
Perlu kita ingat lagi, tahun 1996 silam, Roy ikut berjuang mendukung dan mempertahankan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Dengan pendukung setia Megawati lainnya, Roy ikut menghadapi kekuasaan Orde Baru (Orba) yang mencoba menzolimi Megawati dengan cara melengserkannya. Seorang Roy mau ‘berkeringat’ turun ke jalan menentang pemerintah yang memuluskan Kongres kubu Fatimah di Medan. Dia tidak memperdulikan tubuhnya yang besar ketika ikut long march dari kantor DPP PDI ke Monas.
Keberadaan panggung demokrasi di halaman kantor DPP PDI Jalan Diponegoro 58 Jakarta, adalah hasil negosiasi dia dengan yang lain saat bertemu dengan Pangdam Jaya Mayjen TNI Sutiyoso.
Demi eksistensi PDI Promeg, Roy bersedia menerima jabatan Ketua PDI Jakarta. Tugasnya tidak mudah, karena harus menata kembali PDI di Jakarta setelah amburadul karena perpecahan pada waktu itu. Melengkapi struktur kepengurusan tingkat kota, kecamatan, kelurahan hingga ke tingkat paling bawah bukan lah pekerjaan mudah.
Roy terlibat dalam setiap aksi dan kegiatan PDI Promeg sebelum Soeharto lengser, mempersiapkan pelaksanaan Munas dan Kongres di Bali 1998. Bahkan Roy tercatat ikut membidani lahirnya PDI Perjuangan sebelum diselenggarakan Pemilu 1999.
Sekitar dua atau tiga tahun lalu, saya diajak teman untuk menghadiri perayaan ulang tahunnya di sebuah rumah makan di kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Tidak banyak yang datang, kecuali anak dan istrinya, serta beberapa kawannya seperjuangan pendiri PDP. Saya terharu melihat keadaannya yang sedang sakit. Kata teman saya, Mas Roy kena stroke. Saya sempat memeluknya, meski saya sudah tak bisa mendengar dengan jelas ucapannya. Tetapi dari raut wajahnya, saya lihat dia senang melihat kedatangan kami. Dari cerita teman, penyakit yang dialami Roy setelah dia mengalami kecelakaan saat berkendaraan tahun 2009.
Selamat jalan mas Roy. Semoga Tuhan meridhai perjalanan hidup mu yang penuh perjuangan untuk memajukan demokrasi. ***