Dedi Setiadi: Sinema Kita Mestinya Wajah Budaya Kita

by
Dedi Setiadi, sutradara sinetron dan film

DI tengah kebangkitan film nasional yang sedang ditunggu-tunggu pecinta film, secara tiba pandemi Covid-19, mempropagandakan kesenangan pencinta film.

Bagi Dedi Setiadi, sutradara sinetron dan film, yang terbilang senior, mengaku sangat menyayangkan kondisi seperti itu. Menurutnya sangat memprihatinkan.

Dia mengaku satu judul film cerita yang baru saja selesai digarapnya tidak bisa tayang. Hal ini dikarenakan bioskop harus tutup dalam jangka waktu tak bisa ditentukan. Film berjudul “Terimakasih Emak Terimakasih Abah”, sedianya akan tayang pertengahan Maret 2020 terpaksa disimpan di gudang.

“Memprihatinkan kondisi pandemi ini. Ratusan pekerja film, mulai dari artis, kru, produser berhenti bekerja. Padahal, kondisi penonton film nasional sedang mesra dengan film lokal. Kualitas terus meningkat dan bervariasi ceritanya. Dan, penonton terus meningkat signifikan dari tahun 2016 hingga sekarang. Data terakhir menunjukkan ada sekitar 50 juta penonton film nasional setiap tahunnya. Indikator bahwa film kreasi anak bangsa kian disuka,”tutur Dedi Setiadi saat ditemui di gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail (PPHUI) Kuningan, Jakarta, pekan lalu.

Kemajuan di bidang produksi dan peningkatan penonton itu, dalam pandangan sutradara film Azrak ini masih bisa ditingkatkan dengan membangun gedung bioskop di setiap kabupaten.

“Gedung bioskop sekarang di seluruh Indonesia delapan puluh lima persen ada di ibu kota provinsi. Sementara di level pemda tingkat II, kabupaten/kota bioskop belum banyak gedung bioskop,” ungkap Dedi Setiadi.

Ke depan Dedi dan teman teman pekerja film akan beranjangsana ke beberapa pemda tingkat II untuk merealisasikan hasratnya itu.

“Produksi film banyak, potensi penonton film besar. Dua item ini mesti dijembatani. Momennya tepat. Insyaallah pandemi corona berhenti, kami akan jajaki pemda kabupaten/kota dan ke kementerian terkait,” ungkap pria kelahiran Sukabumi 71 tahun lalu.

Namun, ketika mendengar akan ada peraturan baru dari pengelola bioskop, khususnya bagi sutradara yang baru memulai membuat film, Dedi pun langsung dalam hati bertanya, untuk apa aturan itu? Apakah untuk menyeleksi film yang berkualitas atau untuk melindungi film film impor milik mereka?

Menurut Dedi, ia mendukung seandainya niatnya baik, tapi kalau nantinya untuk membatasi karya anak anak muda yang butuh berekpresi dan ingin mendapatkan pengakuan dari khalayak, ia akan protes keras.

“Niat baik demi meningkatkan mutu film nasional, tapi dampaknya harus dipikirkan. Di satu judul film itu lebih dari seratus kepala film yang terlibat. Mulai penulis cerita hingga bisa tayang di bioskop. Mereka itu kebanyakan sudah berkaluarga,” kata Dedi.

Dedi tidak menamfikan konten film nasional saat ini orientasi pasar lebih besar ketimbang bernilai edukasi. “Film itu semestinya ada nilai edukasi dan cinta kasih. Saya ekspresikan dan saya sajikan dalam film Terimakasih Emak Tetrimakasih Abah. Kebahagiaan itu tidak hanya bersandar pada kepemilikan harta yang banyak. Cinta kasih ayah kepada anak, anak pada orang tua, dan kasih sayang antara istri dan suami. Mestinya film film seperti ini diproduksi lebih banyak. Konten itu adalah ciri keluarga Indonesia.

Film kita, kata Dedi, tidak perlu berkiblat kepada nilai nilai konten film asing atau barat. “Kita punya nilai lebih indah,” kata Dedi.

Nama Dedi Setiadi menjulang lewat sineteon Siti Nurbaya dan Jendela Rumah (JRK). Dua sinetron itu tayang di TVRI Jakarta, pada era 80-an. Pada masanya kedua sinetron itu menjadi pilihan utama keluarga Indonesia. Saking disukainya pengelola bioskop ketika itu meminta kepada pihak TVRI Jakarta, agar sinetron Siti Nurbaya tidak ditayangkan pada malam Minggu.

“Menurut pengelola bioskop malam Minggu, saatnya mereka panen penonton,” ujar Dedi dengan wajah ceria.

Melihat tayangan televisi, Dedi mengakui lain dulu lain sekarang. “Sekarang ini stasiun televisi berlomba mengejar rating, bukan bagaimana menghadirkan tayangan beralas budaya Indonesia, seperti dulu. Jadi, membuat program tayangan yang penting disuka penonton. Mereka lupa ketika mereka mengajukan izin mendirikan stasiun TV, ter cantum di sana, ikut menjaga budaya bangsa dan mencerdaskan bangsa. Saya sudah lama punya pendapat hapus saja rating. Kan yang buat survey juga orang asing. Tentunya mereka punya kepentingan juga,” kata Dedi panjang lebar.

Ketika ditemui di Gedung PPHUI, Kuningan, Dedi sedang mengajar dialog dan akting, di lantai 5.

“Beginilah kegiatan saya keseharian kalau sedang tidak ada syuting,” kata Dedi Setiadi, selaku Ketua Bidang Pendidikan dan pelatihan, Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi).

Dia bersyukur di usia yang tidak muda lagi masih bisa berkarya. Bahkan dia berniat membuat film mengenai kehidupan Bung Karno. Berharap film itu menjadi karya terbesarnya. “Saya ingin seperti Akira Kurosawa, berkarya di usia 88 tahun,” katanya, mengakhiri percakapan. (Didang Pradjasasmita)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *