Massa Pandemi dan Krisis Kepercayaan

by
Covid-19.

FEATURE – Mengubah prilaku orang sangatlah tidak mudah. Terlebih di masa pandemi Covid-19, yang sudah berlangsung cukup lama. Banyak diantara mereka yang sudah ‘patah arang’ alias frustasi yang disebabkan berbagai masalah.

Masalah mereka tidak jauh, adalah masalah ‘perut’. Perusahaan ada yang tutup, menghentikan kegiatannya, mengurangi produksi, membatasi aktivitas jumlah karyawan. Ini semua berakibat terjadinya pemutusan hubungan kerja, mengurangi pendapatan karyawan.

Kemudian dampak dari itu juga, karyawan yang sudah kesulitan ditambah lagi dengan sulit mencari peluang usaha. Bila pun berusaha dengan berdagang seadanya, misal menjual berbagai makanan, seperti warung kecil, sulit mendapatkan pembeli. Karena mereka juga harus bersaing dengan penjual lama yang juga lagi kesulitan mendapat pembeli. Ditambah, banyaknya minimarket.

Seperti itu memang kenyataannya, aku Evan Noverdi, salah seorang karyawan di rumah makan (restoran) siap saji Hanamasa, asal negara Jepang.

Evan di rumah makan siap saji Hanamasa, memangku jabatan Chef Keliling mengaku mendapat kerja begantian. akibatnya gaji dipotong lebih dari 50 persen.

Katanya, jelas itu membuatnya bingung. Banting stir usaha, juga sepi pembeli. Begitu juga menyewakan mobilnya. Jarang sekali yang mau menyewa. Mau ikut tarikan online ia mendapat informasi dari temannya yang sudah lebih dulu juga tidak gampang, karena sudah banyak.

Semua itu menyebabkan Evan malah bertanya-tanya, Covid-19, benar ada atau hanya ciptaan (rekayasa). Pertanyaan yang muncul itu, bukan hanya Evan saja, warga pada umumnya, seorang pengacara, sampai wartawan pun masih ada yang berpikiran terlalu sempit seperti itu.

Mereka bahkan ada yang berargumen lebih simpel menyebut Covid-19 itu rekayasa, dengan beralasan bahwa para Tuna Wisma yang hidup ngasal tidak ada yang terpapar Covid-19.

“Hidup yang sudah sulit, mau dibuat sulit lagi. Bagaimana kita mau makan, kalau banyak yang dilarang. Orang kaya mah enak. Diam di rumah 3 tahun pun gak kelaparan,” begitu pernyataan alasan lainnya dari para warga yang umumnya kelas bawah.

Nah, alasan-alasan seperti itulahlah yang sangat sulit untuk diluruskan. Alasan ringan, tapi oleh orang-orang yang tidak bisa berpikir normal, dijadikan pedoman untuk tidak mematuhi anjuran pemerintah untuk selalu menjaga Protokol Kesehatan. Mereka sudah semaunya, tak sadar dampak yang timbulkan sangat besar, yakni penularan.

Semoga semua hal di atas akan selesai. Berbagai solusi sudah dilakukan oleh pemerintah. Sosialisasi yang tak henti. Semua unsur pemerintah dilibatkan. Swasta dan bahkan sampai ke anak-anak.

Insya Allah, kita sudah dipenghujung masalah besar wabah (Covid-19). Satu kata yang saat ini ditunggu, yakni vaksin. Beredar ini, dan rakyat sangat tak diberatkan mendapatkan vaksinnya, syukur-syukur gratis. Persoalan yang menyulitkan negara kita ini, selesai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *