Pemolisian Kerumunan (Crowd Policing) Pada Era Politik Pengerahan Massa

by
Dr. Andry Wibowo, SIK., M.H.,MSI

HAMPIR dua puluh tujuh tahun penulis bertugas sebagai personel Polri setelah lulus dari Akademi Kepolisian tahun 1993. Dengan rentang waktu itu setidaknya penulis mengalami dua masa waktu sistem politik pemerintahan. Periode 1993-1999 adalah masa dimana polisi menjadi bagian dari ABRI sebagai kesatuan sistem politik Orde Baru. Pada masa ini stabilitas keamanan relatif terkendali. Isu keamanan hanya seputar pada persoalan separatisme yang terjadi di Aceh, Timor Timur dan Irian Jaya (kini disebut Papua). Sehingga kebijakan pemolisian diarahkan pada pemolisian yang bersifat rutin dan operasi kepolisian yang berkaitan dengan pengelolaan keamanan pada tiga wilayah tersebut .

Berikutnya hingga saat ini penulis bertugas dalam masa reformasi dan demokrasi, dimana dinamika politik dan konflik kekuasaan menjadi “driving force“ utama yang mempengaruhi upaya pemolisian. Salah satu sebabnya adalah banyaknya aktivitas masyarakat yang berkaitan dengan kerumunan massa yang diakibatkan oleh lahirnya kebijakan pemerintah, perumusan undang-undang, dan pemilihan umum.

Di masa kepemimpinan presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, ketika penulis menjabat sebagai Kepala Bagian Operasi Polres Jakarta Pusat pada tahun 2009-2010, tercatat hampir 2000-an kegiatan kerumunan massa disetiap bulannya. Aktivitas demonstrasi yang terjadi di wilayah hukum Jakarta Pusat dengan tujuan istana merdeka yang mengambil berbagai tema, mulai dari penuntasan kasus pelanggaran HAM (kegiatan kamisan) yang dilakukan oleh keluarga korban reformasi 98 yang dihadiri oleh 5-10 orang, sampai dengan demonstrasi penuntasan kasus bail out bank Century. Dalam ingatan penulis, aksi demonstrasi terkait dengan isu bank Century pernah mencapai puncaknya dengan pengumpulan massa sebanyak 80 hingga 120 ribu orang yang tesebar di 16 lokasi titik demonstrasi.

Dinamika situasi perkembangan masyarakat seperti ini terus terjadi tidak hanya di ibu kota Jakarta, tetapi menyebar di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Aktivitas politik menggunakan massa seperti ini menjadi tradisi baru pasca reformasi, yang memiliki konsekuensi mahalnya pembiayaan baik dari sisi pengerahan massa maupun pengendaliannya.

Sebagaimana yang terjadi saat penulis sebagai Kapolres Metro Jakarta Timur, terjadi mobilisasi massa dalam jumlah besar yang berkaitan dengan kasus penistaan agama Ahok, dimana kelompok 212 mengklaim menghadirkan hampir 1 juta massa di silang Monas. Hanya untuk melakukan pengamanan di Jakarta saja, pada saat itu Polri menurunkan kekuatan lebih dari 20-40 ribu pasukan (5-10 persen jumlah Polri) belum lagi pengerahan TNI sebagai kekuatan pendukung kegiatan.

Peristiwa terbaru perihal aktivitas pengamanan Polri terjadi di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia terkait dengan aktivitas demonstrasi yang menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Demonstrasi yang disertai dengan amuk massa yang merusak fasilitas milik privat, umum dan negara yang mengakibatkan kerugian cukup besar.

Dari sisi pengembangan organisasi kepolisian, perjalanan proses demokrasi dengan tradisi pengerahan massa (mass mobilization) dapat menjadi pertimbangan kelembagaan dalam membangun organisasi kepolisian yang efektif berkaitan dengan kebijakan pemolisian kerumunan (crowd policing). Hal ini terkait dengan struktur, sumber daya organisasi, model pemolisian (kegiatan maupun operasi) serta aspek doktrin dan tata lakunya serta kerja sama kelembagaan. Diperlukan model pengembangan kapasitas profesionalisme personil Polri termasuk pelibatan TNI secara profesional (peran dan tindakan polisionil) dalam mendukung peran dan fungsi kepolisian dalam pengendalian massa tersebut.

Dalam rezim demokrasi, polisi tidak dapat bekerja sendiri. Polri dan TNI tunduk pada kepemimpinan yang sah dari hasil demokrasi itu sendiri. Problem politik yang cenderung menggunakan pengerahan massa memerlukan konsensus bersama dari otoritas demokrasi tentang aturan pengumpulan massa (crowd regulation). Regulasi ini terkait dengan urusan crowd management seperti jumlah orang, substansi, waktu, hak dan kewajiban, termasuk sanksi dan pertanggungjawaban. Diperlukan standar operasionalisasi pemolisian dalam bentuk crowd control yang dimulai dari tindakan pemolisian yang lunak (soft policing) hingga upaya pemolisian yang tegas dan kuat (hard policing).

Hal ini patut menjadi bahan pertimbangan bersama sebagai upaya mengantisipasi keamanan negara di masa yang akan datang. Karena diperkirakan politik massa seperti yang terjadi dalam kurun waktu 20 tahun perjalanan reformasi masih terus akan terjadi. Apalagi dalam era globalisasi dan demokrasi dengan kondisi multi partai, ditambah perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang masif. Sehingga negara harus bersiap diri dalam mengoperasionalkan demokrasi yang cocok dengan spirit konstitusi negara.

Dengan demikian demokrasi dapat beroperasi melalui regulasi dan kesiapan aparatnya untuk menjaga ruang kebebasan berpendapat dan berkumpul. Kebebasan yang dapat terlaksana dalam koridor keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun hal pokok dan yang utama adalah bagaimana menjalankan upaya membumikan demokrasi secara tepat dalam batasan konstitusi dan regulasi yang sudah disepakati bersama. Sehingga sistem demokrasi yang dipilih saat ini adalah sebuah pilihan jalan yang benar untuk Indonesia. Sistem yang menjamin ruang kebebasan untuk cita cita bersama, terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur.

Sudah selayaknya, seluruh komponen anak bangsa baik buruh, adik-adik mahasiswa, pemuda, menjaga agar ruang demokrasi ini tetap terbuka. Jangan biarkan ruang kebebasan ini dibajak oleh segelintir kelompok yang ingin memanfaatkan dan memaksakan syahwat politiknya, yang justru akan merugikan kepentingan nasional dan cita cita kemerdekaan 1945.

Demokrasi membutuhkan saling mendengar, berpikir tentang orang lain (the other), menjunjung tinggi kemanusiaan, beradab serta bermartabat dalam bertindak. Kita tidak menginginkan perbedaan sikap dan cara pandang terhadap sebuah gagasan maupun persoalan berujung dengan pengerahan massa yang berdampak pada pengerahan pasukan pengamanan disisi lainnya. Situasi yang justru akan melahirkan rasa tidak aman dengan biaya mahal yang sejatinya jauh dari nilai nilai demokrasi itu sendiri.

Demokrasi semestinya dibangun dengan mengedepankan dialektika gagasan dan nilai konstruktif dalam sikap batin yang matang. Bukan seperti yang terjadi saat ini, demokrasi baru sebatas dipahami sebagai ajang adu kuat jumlah massa yang justru rawan menimbulkan konflik baik secara horizontal dan vertikal.

Demokrasi adalah instrumen damai untuk mengelola negara dan masyarakat yang mengedepankan kompetensi dan kapasitas akal budi yang baik. Bukan sebaliknya, demokrasi dijadikan kuda troya untuk kepentingan kekuasaan yang menghalalkan segala cara. Sehinggga dari waktu ke waktu energi kita sebagai sebuah bangsa habis dikuras hanya untuk mengurusi pengerahan massa (mass mobilization) yang datang berjilid jilid dan mengabaikan kepentingan bersama yang lebih luas.

*Dr. Andry Wibowo* – (Anggota Kepolisian Republik Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *