Menag Jangan Terus Resahkan Umat dengan Isu Radikalisme dan Sertifikasi Da’i

by
Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid.

Oleh: Hidayat Nur Wahid (Anggota Komisi VIII DPR RI dari F-PKS)

DALAM rapat kerja pertama setelah reses Komisi VIII DPR RI dengan Kementerian Agama (Kemenag), saya sebagai Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS, menyampaikan langsung secara virtual aspirasi umat terutama umat Islam yang kembali resah akibat pernyataan-pernyataan dari Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi yang dinilai sebagai meresahkan dan tidak adil terhadap Umat Islam, dan bisa menghadirkan saling curiga di antara umat (jamaah Masjid) karena isu ‘Good Looking dan Hafidh’ dan pembelahan di antara para penceramah atau para dai akibat program penceramah bersertifikat.

Dalam Rapat Kerja kemarin, secara virtual saya mengkritisi pernyataan Menag yang mengatakan bahwa program sertifikasi Da’i/Penceramah bersertifikat sudah dikerja-samakan dengan MUI, BNPT, BPIP, dsb. Tetapi anehny program itu malah tidak pernah dimajukan oleh Kemenag kepada mitra kerja konstitusionalnya yaitu kepada DPR, sebagai program kerja Kemenag, apalagi sebagai program prioritas Kemenag di tahun 2020, dan karenanya DPR/Komisi VIII, tidak pernah memberikan persetujuannya. Dalam Raker tersebut, Menag menyampaikan bahwa para Penceramah/Da’i tidak harus bersertifikat, bahkan Dirjen Bimas Islam juga sampaikan bahwa program itu sukarela, karenanya tidak ada sanksi apa pun. Maka bila demikian, menjadi aneh jika Kemenag ngotot mengerjakan program dengan kualifikasi seperti itu, seolah-olah malah jadi kewajiban, apalagi dengan mengatakan sudah didukung oleh MUI. Sebab faktanya MUI justru melalui surat resmi yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum dan Waketum MUI secara tegas dan terbuka menolak program itu. Penolakan secara terbuka juga disampaikan oleh PP Muhammadiyah. Dengan fakta-fakta itu, maka mestinya program ini dihentikan saja dan tidak dilanjutkan, agar tidak melanjutkan keresahan Umat dan hal yang potensial memecah belah di antara Umat.

Kemenag justru seharusnya menyuarakan tentang pentingnya keselamatan Umat, Bangsa dan Negara dari segala bentuk radikalisme dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945, yang bisa menghancurkan moral, Agama dan NKRI. Bukan hanya menyasar ke Masjid, Hafidh, good looking, bisa Bahasa Arab, dan bahwa ASN harus steril dari ideologi Agama tertentu. Hal-hal tersebut konotasi dan kaitannya mudah dipahami bahwa itu semua tertuju pada komunitas Umat Islam. Karena Menag diundang oleh MenPAN-RB untuk bahas soal Tolak Radikalisme di kalangan ASN, mestinya Menag menyampaikan soal sterilisasi ASN dari segala bentuk radikalisme yang bertentangan dengan Pancasila, termasuk komunisme, separatisme, liberalisme, kapitalisme. Juga radikalisme yang karena bertentangan dengan Pancasila juga hancurkan moral bangsa seperti LGBT (via berkali-kali pesta seks ratusan gay), pedopilia (korbannya lebih dari 350 anak dalam kasus dengan pedopil dari Perancis), korupsi, dan termasuk yang dikeluhkan oleh MenPAN-RB yaitu Poliandri, suatu praktek dari ideologi radikal yang menyimpang dari ajaran Agama dan hukum di Indonesia, tapi yang mulai jadi tren di kalangan ASN. Sayang sekali, Menteri Agama sama sekali tidak menyinggung, malah diam seribu bahasa, terhadap bahayanya beragam praktik ideologi radikal yang dicemaskan oleh masyarakat Umum, dan melanggar aturan hukum dan membahayakan eksistensi NKRI itu.

Yang dijelaskan oleh Menag terkait praktik dan penyebaran radikalisme hanya menyasar pada kelompok umat Islam, itu pun secara generalisasi tanpa fakta lapangan yang terukur dan tidak diskriminatif, karena terminologi dan contoh yang digunakannya sangat mengarah pada agama dan Umat Islam, yaitu penyebaran radikalisme melalui pemuda goodlooking, hafidh alQuran, bisa bahasa Arab, jadi Imam di Masjid, padahal beliau berbicara pada forum umum di Kementrian PAN-RB yang wajarnya ingin agar ASN bebas dari segala bentuk radikalisme termasuk ; komunisme, pedopilia, poliandri, LGBT dll.

Oleh karena itu, seharusnya Menag segera mengoreksi pernyataan-pernyataan dan program-program yang meresahkan Umat Islam itu, dan tidak mencari celah dan alasan-alasan dengan melemparkan masalahnya ke MenPAN-RB. Menag juga harusnya ingat betul bahwa Kementerian Agama didirikan tanggal 3 Januari 1946 sebagai terima kasih Negara pada umat Islam yang telah rela demi keselamatan proklamasi dan NKRI dari ancaman separasi minoritas dari Indonesia Timur, maka Umat Islam rela berkorban sila pertama diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga Pemerintah RI (Presiden Sukarno) memberi hadiah dengan didirikannya Kementerian Agama. Sangat penting untuk diingat oleh Menag sehingga kebijakan yang dikeluarkan adalah kebijakan yang adil dan mencerminkan realisasi dari sejarah dan tidak malah mencurigai dan berlaku tidak adil kepada Umat Islam dengan isu radikalisme, terorisme, dan sebaiknya Menag tidak lanjutkan tindakan/kebijakan tidak adil kepada Umat Islam, tidak-bijakan yang bisa memecahbelah Umat yang telah berjasa bagi hadir dan selamatnya NKRI dari penjajahan Asing dan pemberontakan PKI.

Tapi saya apresiasi, Menag dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, akhirnya menerima kritik keras dan penolakan dari Komisi VIII DPR tentang pemotongan Rp100.000 BOS per siswa yang dilakukan oleh Kemenag untuk Siswa Madrasah dan Pesantren (yang merupakan bagian dari pemotongan anggaran pendidikan Kemenag sebesar Rp2 Triliun), padahal sebelumnya sudah disepakati oleh Kemenag dengan Komisi VIII DPR bahwa tidak ada potongan apa pun dari dana BOS dan itu harus diserahkan penuh kepada para siswa di bawah Kemenag yang berhak. Alhamdulillah Kemenag bisa menerima kritik itu dan sepakat untuk mengembalikan dana pemotongan tersebut kepada para siswa yang berhak. Dan saya sampaikan agar proses pengembalian itu harus betul-betul dilakukan dengan amanah dan dilaporkan secara serius dan jujur dalam raker dengan Komisi VIII DPR. Agar Komisi VIII DPR bisa percaya bahwa dana-dana pemotongan itu sudah dikembalikan sebagaimana seharusnya, dan sebagaimana kesepakatan dengan Komisi VIII DPR.

Begitulah seharusnya yang dilakukan Kemenag, memperhatikan kritik dan koreksi publik, serius memperbaiki dan tidak mengulangi. Agar Umat dan Bangsa, yang sedang terkena musibah covid-19 ini, tidak tambah resah, termasuk resah karena isu radikalisme dan terorisme terkait dengan ASN, Hafidh/good-looking yang aktif di Masjid, maupun sertifikasi Penceramah. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *