Kata Tamliha, Nasib UU Penyiaran Tergantung pada RUU Omnibus Law

by
Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PPP Syaifullah Tamliha. (Foto:Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Anggota Komisi I DPR RI Syaifullah Tamliha mengatakan, Undang-Undang (UU) Penyiaran ini sudah 2 kali di revisi, yang pertama UU 24/1997 dan kedua UU No. 32/2002, kemudian dua priode mau merevisi tidak juga selesai. Namun, tarik menarik kepentingan dalam pembahasan revisi UU Penyiaran tak kunjung selesai karena di satu sisi, perubahan teknologi yang begitu pesat membuat materi RUU Penyiaran yang merevisi UU Penyiaran No.32 Tahun 2002 itu dianggap tak lagi up to date sehingga harus menyesuaikan dengan kondisi kekinian.

“Nah seperti apa masa depannya, ini tergantung kepada RUU Omnibus Law Cipta kerja,” ungkap Tamliha dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk “RUU Penyiaran: Bagaimana Masa Depan Digitalisasi Penyiaran di Indonesia?” di Media Center Gedung Nusantara III DPR RI, Selasa (11/2020).

Politisi Fraksi PPP itu mengingatkan, apabila Rancangan Undang-Undang tentang Omnibus Law disahkan oleh DPR dalam waktu segera, maka ada puluhan isu krusial tentang UU Penyiaran. Sementara perbaikan dan penyempurnaan materi RUU Penyiaran harus dilakukan untuk memberi ruang digitalisasi penyiaran yang dinilai lebih menguntungkan dari berbagai aspek dibanding penggunaan siara televisi saat ini yang masih menggunakan frekwensi analog.

Di sisi lain, Staf Ahli Menteri bidang Hukum Kemkominfo Prof. Dr. Henri Subiarto mengakui materi RUU Penyiaran yang sudah usang karena tidak menyesuaikan dengan perkembangan siaran teknologi digital.
Menurutnya, migrasi atau peralihan dari TV analog ke penyiaran digital atau Analog Switch-Off (ASO) sudah dilakukan beberapa negara karena TV analog dianggap boros frekuensi.

Dia menjelaskan, TV yang ditonton di rumah merupakan frekwensi analog yang boros pita frekwensi, sedangkan penyiaran digital berbasis internet seperti hemat pita frekwensi, sehingga TV rumahan di Indonesia menghabiskan frekuensi, yang dampaknya bukan hanya merugikan pendapatn negara. Apalagi, masyarakat cenderung lebih senang menyaksikan menyaksikan siaran televisi digital melalui telepon selularnya.

Oleh karena itu, dengan migrasi teknologi digital menjadi keharusan. Dengan demikian, pemanfaatan spektrum frekuensi akan makin efisien, daya saing industri penyiaran akan meningkat, serta tingkat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga akan makin optimal. TV analog yang boros frekuensi, menurutnya telah membuat frekuensi yang tersedia bagi masyarakat agar bisa melakukan akses internet menjadi makin sedikit. Padahal saat ini di era digital, Internet sangat dibutuhkan masyarakat.

“Kelebihan frekuensi ini juga bisa menjadi dividen digital yang menjadi sumber keuangan negara. Dia mengingatkan pemerintah bisa rugi hingga puluhan triliunan rupiah dalam satu bulan, jika tak kunjung memiliki dividen digital berupa spektrum frekuensi,” katanya.

Oleh karena itu, ia mendukung perbaikan dari materi RUU Penyiaran khususnya terkait pengaturan dan pemberian dasar hukum untuk siaran digitalisasi berbasis internet. (Kds)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *