BERITABUANA.CO, JAKARTA – Komite II DPD RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) membahas RUU tentang Cipta Kerja terkait bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) hari Senin (6/7/2020).
Dalam RDPU tersebut, Komite II DPD RI menilai terdapat beberapa permasalahan terkait dengan draf RUU Cipta Kerja di Bidang PUPR, terutama hilangnya kewenangan daerah dalam mengelola perizinan di bidang PUPR dan sumber daya daerah.
Wakil Ketua Komite II DPD RI, Hasan Basri menyesalkan bahwa RUU ini juga banyak menarik kewenangan daerah ke pusat, salah satunya di bidang PUPR. Banyak proses-proses perizinan yang sebelumnya dipegang daerah, akan ditarik ke pemerintah pusat melalui RUU Cipta Kerja.
“RUU Cipta Kerja menghapus Pemerintah Daerah sebagai pihak yang diberi wewenang untuk mengatur dan mengelola sumber daya air dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, sehingga kewenangan tersebut hanya ada pada Pemerintah Pusat,” ucapnya.
Senada, Wakil Ketua Komite II DPD RI lainnya, Abdullah Puteh, jika RUU ini bukan sebagai solusi atas permasalahan panjangnya mata rantai birokrasi perizinan yang dikeluhkan pemerintah pusat terkait pembangunan dan investasi. Keberadaan RUU ini justru menimbulkan proses yang lebih rumit karena harus melalui pemerintah pusat.
“Anggapan seperti ini menurut saya keliru juga. Mata rantai demokrasi ini kalau mau diperpendek, jangan ditarik ke pusat, justru diserahkan ke daerah. Masalah lapangan kerja, ekonomi, itu yang tahu daerah, bukan kementerian. Yang diharapkan tidak ribet, justru jadi ribet,” tegas Puteh.
Dua narasumber yang hadir dalam RDPU tersebut juga sepandangan dengan pendapat Komite II DPD RI. Veri Junaidi mengatakan, permasalahan lambatnya perizinan dan investasi di daerah yang dikeluhkan pemerintah pusat, disebabkan karena masalah regulasi yang begitu gemuk. RUU ini dinilai pemerintah sebagai solusi atas gemuknya regulasi tersebut. Tetapi jika dilihat lebih lanjut, gemuknya regulasi itu paling banyak terdapat di Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.
Narasumber lainnya, Ferry Amsari mengatakan, materi dalam RUU Cipta Kerja banyak yang memindahkan kewenangan daerah ke pusat secara besar-besaran. Berbagai kegiatan terkait tambang, minerba, migas, pelabuhan, yang dapat memberikan pendapatan daerah, ditarik ke pusat melalui peraturan turunan dari pemerintah pusat.
“Gagasan otonomi daerah yang membuka ruang bagi kader-kader politik untuk mengelola daerahnya sendiri dengan kebijakan yang terlepas dari kebijakan pusat, itu kehilangan roh-nya. Karena semua harus melalui izin dan ketentuan yang diatur oleh pemerintah pusat,” kata Ferry.
Sementara itu, Anggota Komite II DPD RI, Habib Hamid Abdullah, berharap seharusnya pemerintah daerah tetap memiliki kewenangan dalam mengelola daerahnya, jangan semuanya ditarik ke pusat. Pemerintah Daerah dinilai lebih memahami dalam melakukan pengawasan terhadap berbagai aktivitas yang terdapat di daerahnya. Habib berpendapat jika berbagai kewenangan daerah ditarik ke pusat, ke depannya akan menimbulkan kegaduhan dari daerah-daerah.
“Seharusnya dipilah-pilah, mana perizinan yang diurus daerah, mana yang pusat. Dan ini akan menimbulkan kegaduhan yang luar biasa. Jangan sampai nanti ada pihak asing yang memborong lapangan pekerjaan di daerah. Ini akan panjang masalahnya, jangan sampai DPD RI kendor memperjuangkan aspirasi daerah,” ucap Habib yang berasal dari Kalimantan Selatan ini. (Rls)