Azas PDI Perjuangan, PANCASILA

by

Oleh : Dr. Ahmad Basarah

Ahmad Basarah.

SAAT ini banyak beredar di media sosial pembicaraan di tengah-tengah masyarakat yang membahas azas atau ideologi PDI Perjuangan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PDI Perjuangan. Sayangnya pembahasan tersebut jauh dari kebenaran filosofis, hukum dan faktual atas isi azas partai yang dirumuskan dalam AD/ART PDI Perjuangan.

Rumusan azas atau ideologi PDI Perjuangan diatur dalam Bab II tentang Azas, Jati Diri dan Watak. Pasal 5 ayat (1) berbunyi : “Azas Partai adalah Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia sesuai dengan jiwa dan semangat kelahirannya pada 1 Juni 1945”.

Dari konstruksi hukum pasal 5 ayat (1) AD/ART PDI Perjuangan itu sangatlah jelas pengertian hukumnya bahwa Pancasila yang diakui secara resmi kenegaraan dan kepartaian oleh PDI Perjuangan adalah Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Pengertian frasa kalimat “sesuai dengan jiwa dan semangat kelahiranya pada 1 Juni 1945” adalah mengandung pengertian bahwa proses kelahiran Pancasila memang dimulai dari Pidato Bung Karno di depan sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945 dan mengalami perkembangan dalam naskah Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan yang diketuai oleh Bung Karno hingga mencapai konsensus final tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang juga diketuai oleh Bung Karno.

Pandangan filosofis kami bahwa sila-sila Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945 itu bukanlah kalimat mati, tetapi mengandung makna falsafah pada setiap silanya. Untuk memahami makna falsafah sila-sila Pancasia menurut maksud para Pembentuk Pancasilanya, maka kami merujuk pada penjelasan Bung Karno saat menyampaikan pidato 1 Juni 1945 tersebut dan perkembangan pembahasannya selanjutnya di Panitia Delapan, Panitia Sembilan hingga saat tercapai konsensus final di PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

Dalam konteks tersebut, kami tidak mengakui Pancasila 1 Juni 1945 dalam konteks rumusan sila-sila Pancasila yang memang berbeda dengan rumusan sila-sila Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945, akan tetapi kami memaknainya sebagai pengertian atas falsafah dasar yang terkandung dalam sila-sila Pancasila tersebut.

Kalau kita mau membaca secara utuh dan jernih keseluruhan isi Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, akan terlihat jelas betapa konstruksi pemikiran Bung Karno memiliki korelasi yang kuat antara pemikiran Nasionalisme, Sosialisme dan Ketuhanan/Islam. Namun kami juga menyadari, sebagai akibat dampak politik desoekarnoisasi sejak era orde baru dulu, tidak banyak masyarakat Indonesia yang tahu isi pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 tersebut.

Ambil saja satu contoh saat Bung Karno menjelaskan Sila Ketuhanan. Bung Karno berkata bahwa tiap-tiap bangsa Indonesia berTuhan, bahkan bangsa dan negara Indonesiapun menjadi bangsa dan negara berTuhan. Lalu Bung Karno tegaskan lagi bahwa tiap-tiap bangsa Indonesia itu wajib menjalankan perintah Tuhannya dengan cara yang leluasa, bahkan Bung Karno memberi contoh bagi umat Islam menjalankan perintah Tuhannya menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW dan agama-agama lain menurut petunjuk nabi-nabi atau pemuka-pemuka agamanya. Terakhir Bung Karno menyebut Ketuhanan yang berkebudayaan dengan penjelasan bahwa tiap-tiap umat beragama menjalankan perintah Tuhannya itu dengan tiada egoisme agama sehingga hidup saling hormat-menghormati antar pemeluk agama. Dalam kaitan tersebut, Bung Karno berpegang teguh pada Surat Al Kafirun yang mengatakan “Lakum dinukum waliyadiin” yang artinya bagimu agamu dan bagiku agamaku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *