Peperangan Jokowi yang Sebenarnya, Membagikan ‘Akal Sehat’ Pada Rakyat

by
Teddy Yamin. Analis Cikini Studi.

Catatan : Teddy Mihelde Yamin (Direktur Eksekutif Cikini Studi)

SETELAH jajaran pemerintah pusat di awal sibuk mempermainan kata-kata dalam memerangi covid. Seolah siasat dan jurusnya yang paling ‘akurat’ digunakan, sampai-sampai tak ada satu teori dan refrensi di dunia ini yang kuasa membantahnya. Saking ‘sophisticated’ strategi perang yang dimainkan, akhirnya kerepotan menggolongkan strategi perang macam apa yang tengah dimainkan.

Sementara kurva penyebaran covid yang terus meroket, belum terlihat tanda-tanda turun dan stabil. Bahkan masih dihantui gelombang ke 2 sejalan arus balik pemudik. Padahal dalam peperangan kali ini musuh tak terlihat, musuhnya belum juga berhasil dikalahkan. Yang pasti kasus positif penularan covid masih sangat tinggi. Eh, ujungnya sekarang perhatian beralih ke pembukaan mall-mall, seremoni di sana… seremoni di sini, mall pun dibuka dimana-mana. It’s ok berarti Plan B, pikirku. Salah? Mungkin kalau pertimbangannya hanya dilihat dari satu sisi, walau beradu dengan bahaya lebih besar dan lebih menakutkan.

Justru heran dengan team yang mengatur jadwal Presiden, rasanya perlu dipertimbangkan agar tak mempermalukan Presiden dengan kunjungan yang tak terlalu penting. Misalkan memaksakan Presiden muncul hanya untuk memastikan Mall dibuka aman? Bagaimana dengan pasar-pasar tradisional yang selama ini dibuka? Bukankah di pasar tak kurang besar resikonya ? Tak terhitung jumlahnya pasar yang sangat kurang pengawasannya, sehingga terjadi penumpukan di mana-mana. Miris dan mengerikan melihatnya, padahal Presiden Jokowi dikenal menaruh perhatian besar dengan pasar tradisional selama ini.

Kalau sekedar mengharapkan kesadaran masyarakat, mustahil sukses kecuali dikenakan sanksi tegas dan diawasi petugas langsung di lapangan atau CCTV. Semoga tak terjebak tindakan represif. Karena tak adil juga memaksakan masyarakat untuk ‘berdiam’ tanpa santunan yang cukup.

Bicara peperangan siapa yang tak kenal Sun Tzu dan Machiavelli, keduanya bisa dibilang sebagai tokoh militer dan politik yang paling berpengaruh di muka bumi ini. Di masa hidupnya China daratan selalu ramai oleh berbagai peperangan yang tak pernah ada habisnya. Dalam kondisi seperti itulah Sun Tzu tampil sebagai jendral perang yang hidup di negara Wu pada abad ke-6 SM.

Sun Tzu adalah seorang ahli startegi perang yang hidup lebih 2600 tahun lalu, atau seabad sebelum Socrates lahir. Secara umum filosofi perang Sun Tzu tersebut lebih menekankan tentang bagaimana memenangi perang tanpa harus terjadi pertempuran dengan cara mempertahankan kontrol atas musuh dalam situasi yang ketat daripada perang itu sendiri. Dan cara ini sepertinya sedang diperankan oleh Xi Jinping dalam menghadapi Trump.

Sedangkan Nicolo Machiavelli adalah seorang tokoh besar di dunia filsafat politik asal Florence, Italia. Bukunya yang berjudul Il Principe (Sang Pangeran) adalah hasil pengalaman, pengamatan dan pemikirannya dalam situasi Italia yang karut marut dan penuh intrik berdarah. Dalam kondisi seperti itulah ia menghalalkan tindakan kotor, curang, adu domba, tipu muslihat, menyingkirkan semua norma-norma susila serta agama untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Ini sungguh mengerikan, semoga tak ada pemimpin di Republik ini yang tega memainkan strategi ini.

Sejalan dibukanya PSBB di beberapa daerah selepas lebaran. Akhirnya, selamat datang gelombang kedua. Semoga saja datangnya tak seperti gelombang tsunami, bagaikan air bah menyapu pantai dan menarik seisi pantai ke tengah laut. Mungkin kini rakyat telah hilang rasa takutnya karena tuntutan sejengkal perut dan negara yang takut kehilangan pamor, karena ‘bangkrut’ ekonominya?

Memang virus ini tak akan pernah benar-benar hilang. Jika kini rakyat cenderung disalahkan karena seolah abai dengan keselamatannya, bukankah hal ini sudah disadari resikonya pembuat kebijakan. Rakyat tak bisa sepenuhnya disalahkan. Jangan mudah menyalahkan masyarakat. Bukankah justru geliat ekonomi yang diharapkan, yang terjadi terjadilah. Demi perputaran roda ekonomi rakyat. Karena rakyat juga frustasi dengan ‘nasib hidupnya’ jika terus di rumah, harus keluar untuk berdagang, harus keluar untuk tetap ‘ngojek’, harus keluar untuk membuka lapak tambal bannya dan segala macam aktivitas yang mendatangkan uang demi menyambung hidupnya.

Bahkan tak berbatas sampai di situ, berangsur-angsur semuanya akan kembali ramai lagi. Bukankah ini yang diharapkan pemerintah?

Harapan kini, bagaimana memperkuat imunitas diri agar tak terkena. Disamping memastikan Dokter dan tenaga medis yang bertugas di Rumah Sakit tetap semangat, tingkatkan kewaspadaan dan sabar. Jadi jika selama sekitar 10 tahun ini Jokowi selalu memenangkan Pilkadanya berawal dari Solo hingga Pilpres, sekarang ditunggu peperangan membagikan akal sehat pada rakyat, tanpa senjata dan tanpa perlu janji2 muluk lagi, kecuali menjanjikan hidup normal dan tetap sehat.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *