Perppu Pandemi Covid-19, Akankah Berakhir Seperti Perppu 4/2008?

by
Ilustrasi.
Anthony Budiawan. (Ist)

Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

MENJELANG akhir tahun 2007, krisis finansial global pecah dan membawa ekonomi dunia masuk resesi. Pertumbuhan ekonomi dunia 2008 negatif 1,85 persen. Kondisi ini membuat pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden, menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pada 15 Oktober 2008. Perppu adalah undang-undang (UU) yang diterbitkan secara sepihak oleh presiden, tanpa melibatkan dan persetujuan DPR. Sedangkan pembentukan UU disetujui kedua belah pihak: pemerintah dan DPR.

Penerbitan Perppu adalah hak subyektif Presiden ketika Presiden merasa ada ancaman yang membahayakan, atau istilah di UU kegentingan yang memaksa. Sehubungan dengan krisis finansial global, Presiden ketika itu merasa ada kegentingan yang memaksa sehingga menerbitkan 3 Perppu sekaligus. Pertama, Perppu No 2 tahun 2008 tentang Bank Indonesia yang ditetapkan 13 Oktober 2008. Kedua, Perppu No 3 tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan 13 Oktober. Dan Perppu No 4 tahun 2008 (Perppu No 4) tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

Perppu diterbitkan karena negara memerlukan UU yang harus diberlakukan seketika karena ada kegentingan yang memaksa secara mendadak. Sedangkan UU untuk itu belum ada, atau ada tetapi tidak cukup. Karena diterbitkan secara sepihak oleh Presiden, Perppu harus mendapat persetujuan DPR pada masa persidangan berikutnya. Dalam hal ini, DPR bisa menerima atau menolak Perppu tersebut.

Sehubungan dengan Perppu No 4/2008, DPR menolak mengesahkan Perppu tersebut menjadi UU. Penolakan umumnya terkait Pasal 29 yang memberi kekebalan hukum kepada para pejabat serta semua pihak pelaksana Perppu. Pasal 29 berbunyi: Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.

Perppu No 4/2008 juga dianggap memberi wewenang di luar batas kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan status bank bermasalah dan penanganannya. KSSK hanya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Dan kekuasaan mutlak ada di Menteri Keuangan karena kalau ada selisih pendapat maka Menteri Keuangan sebagai ketua KSSK dapat menetapkan keputusan.

Perppu No 4/2008 juga dianggap memberi wewenang absolut kepada KSSK dengan menghilangkan fungsi dan wewenang DPR terkait keuangan negara, seperti diatur dalam Undang-Undang Dasar. Karena Menteri Keuangan dapat mengeluarkan uang negara atas nama krisis tanpa minta persetujuan DPR.

Sekarang terbukti keputusan DPR ketika itu ternyata tepat. Dana pinjaman likuiditas yang diberikan kepada Bank Century ternyata bermasalah, dan merugikan keuangan negara. Karena Perppu No 4/2008 tidak disahkan, maka tidak ada pihak yang kebal hukum. Beberapa pihak yang terlibat merugikan keuangan negara diproses hukum, dan dinyatakan bersalah. Baik dari Bank Century maupun Bank Indonesia.

Pemerintah belum lama berselang juga menerbitkan Perppu No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Cakupan Perppu No 1/2020 ini jauh lebih luas dan lebih “radikal” dari Perppu No 4/2008. Perppu No 1/2020 selain mengatur Stabilitas (atau Jaring Pengaman) Sistem Keuangan juga mengatur kebijakan Keuangan Negara dalam menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional.

Perppu No 1/2020 dianggap lebih “radikal” karena pemerintah dapat menentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara sepihak tanpa perlu mendapat persetujuan DPR dengan defisit anggaran yang awalnya maksimal 3 persen dari PDB menjadi tidak terbatas, dan berlaku selama 3 tahun. Selain itu, semua pasal yang menjadi alasan DPR menolak Perppu No 4/2008 masih ada di dalam Perppu Pandemi Covid-19 ini. Termasuk pasal kekebalan hukum yang mendapat banyak sorotan masyarakat, dan wewenang absolut pemerintah dalam bidang anggaran yang tidak memerlukan persetujuan DPR, bahkan selama 3 tahun. Dan juga wewenang dan kekuasaan Bank Indonesia dan pemerintah yang sangat besar dalam menentukan dan memberikan pinjaman likuiditas maupun penyertaan modal kepada semua bank dan perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan tanpa persetujuan DPR.

Oleh karena itu, secara logika, fraksi DPR yang dulu menolak Perppu No 4/2008 diperkirakan juga akan menolak Perppu Pandemi Covid-19 ini. Kalau tidak, masyarakat bisa menilai fraksi-fraksi ini sebagai petualang politik yang hanya membela kepentingan sesaat. Karena alasan penolakan di Perppu No 4/2008 masih sangat valid di Perppu No 1/2020 ini. Sedangkan fraksi yang dulu menerima Perppu No 4/2008 untuk disahkan jadi UU, fraksi Demokrat dan Fraksi PKS, diperkirakan juga akan menolak Perppu Pandemi Covid-19 ini. Alasannya sederhana, yaitu taat hukum dan konsisten dengan keputusan yang lalu. Dengan perhitungan seperti ini, Perppu Pandemi covid-19 menghadapi tantangan untuk ditolak oleh semua fraksi.

Dalam bidang hukum dikenal yang namanya yuris prudensi. Yaitu keputusan hukum pada periode lalu dapat dijadikan acuan untuk memutus perkara yang sama pada periode sekarang. Apakah dalam politik juga akan ada semacam “politik prudensi”? ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *