Komite I DPD RI Keberatan Pembahasan RUU Omnibus Law Ciptaker Dilakukan Ditengah Pandemi Covid-19

by
Ketua Komite I DPD RI, Teras Narang. (Foto: Dokumentasi Humas DPD)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Komite I DPD RI keberatan terhadap dilakukannya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja, oleh DPR RI disaat pandemi virus corona, Covid-19. Apalagi Pemerintah sudah menyatakan pandemi Covid-19 sebagai ‘Bencana Nasional” dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020.

Keberatan ini disampaikan oleh Ketua Komite III DPD RI, Agustin Teras Narang dalam keterangan tertulisnya, Kamis (16/4/2020), menanggapi rencana pembahasan RUU tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang akan dilakukan oleh DPR dengan Pemerintah.

Untuk itu, lanjut Senator asal Kalimantan Tengan itu, pihaknya mengusulkan agar Pembahasan RUU tentang Cipta Kerja ditunda terlebih dahulu sampai masa pandemi Covid-19 dinyatakan telah berakhir oleh Pemerintah.

“Komite I DPD RI juga menyarankan agar pada saat pandemi Covid-19 berlangsung, Pemerintah, DPR RI dan DPD RI untuk membuka dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan atau pemangku kepentingan untuk memberikan masukan terhadap isi dan muatan RUU tentang Cipta Kerja melalui sarana daring dan sebagainya (dengan memperhatikan social dan physical distancing);” ujarnya.

Sedang terkait RUU Omnibus Law Cipa Kerja, Teras atas nama seluruh anggota Komite I DPD RI berpandangan bahwa RUU ini banyak menyangkut dengan kepentingan daerah, maka sebagaimana amanat Pasal 22D UUD NRI 1945 ayat (2) yang menyatakan bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah.

“Hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka pembahasan terhadap RUU tentang Cipta Kerja ini harus dilakukan secara tripartit oleh DPR RI, Pemerintah dan DPD RI;” tegasnya.

Apalagi, menurut mantan Gubernur Kalteng itu, Komite I DPD RI melihat banyaknya jumlah peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU tentang Cipta Kerja (493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden dan 4 Peraturan Daerah), menunjukkan tidak sensitifnya pembentuk undang-undang atas kondisi regulasi di Indonesia yang hyper regulasi;

“Komite I DPD RI berpandangan bahwa substansi pengaturan RUU tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Terdapat 2 (dua) pasal dalam RUU tentang Cipta Kerja yang bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan dan Putusan MK, seperti dalam Pasal 170 yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah UU. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011 yang menyebut PP memiliki kedudukan lebih rendah dibanding UU, sehingga PP tidak bisa membatalkan/mengubah UU. Selain itu, dalam Pasal 166 disebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Perda. Hal itu bertentangan dengan Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 terkait pengujian beberapa pasal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan pengujian/pembatalan Perda menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung;” bebernya.

Bahkan setelah dicermati, Teras menilai bahwa RUU tentang Cipta Kerja banyak memuat frasa yang melakukan perubahan dan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. RUU tentang Cipta Kerja akan menimbulkan terjadinya sentralisasi pemerintahan/perijinan yang berpotensi merugikan daerah serta berdampak pada hilangnya semangat otonomi daerah yang merupakan tuntutan reformasi 1998 yang berakibat terjadinya amandemen UUD NRI tahun 1945;

“RUU tentang Cipta Kerja telah menghilangkan makna Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 91 pada ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda,” pungkasnya. (Rls)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *