Anak Muda Indonesia Memilih Orang Dicintai Berdasarkan Pandangan Hidup

by
Desta Mahendra, Natasha Rizki, Fiona Anjani Foebe selaku Head of Marketing Oral Care PT Unilever Indonesia, Tbk dan Pingkan Rumondor, M.Psi seorang Psikolog klinis dan Peneliti relasi interpersonal

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Indonesia adalah bangsa yang kolektif, salah satu buktinya adalah tingginya jumlah pernikahan endogami (pernikahan antara suku atau kekerabatan yang sama). Data Badan Pusat Statistik 2010 menunjukkan 89,3% pasangan di Indonesia menikah secara endogami.

Di balik fakta tersebut, banyak dari pasangan ini mengalami masalah  disebabkan alasan fundamental seperti pandangan hidup yang tidak sejalan atau argumen yang berkelanjutan. Artinya, persamaan latar belakang tidak menjamin persamaan pandangan hidup.

Menanggapi fakta ini, Fiona Anjani Foebe selaku Head of Marketing Oral Care PT Unilever Indonesia, Tbk. menyampaikan, kebebasan untuk memilih pasangan yang sejalan dengan pandangan hidup tanpa terbelenggu pada batas-batas konvensional seperti persamaan suku, latar belakang sosial, atau selisih usia yang dipandang ‘ideal’ adalah hak setiap manusia, sehingga mereka dapat mengungkapkan cinta dengan percaya diri, serta bebas dari keraguan akan penilaian dari orang lain.

“ Brand Closeup berkomitmen untuk menghilangkan stereotype dari makna kedekatan, dan secara nyata mendukung anak muda dalam merealisasikan kedekatan dengan orang yang sejalan dengan pandangan hidupnya,” katanya.

Untuk menggali lebih jauh mengenai kebebasan untuk mencintai, survei dari tim global CloseUp yang melibatkan 514 anak muda di Indonesia memperlihatkan bahwa hanya 1 dari 2 anak muda yang percaya bahwa mereka bebas menentukan pilihan untuk bersama dengan orang yang mereka cintai, tanpa memandang latar belakangnya. Namun, 79% dari mereka mengaku telah mengikuti keinginan hati dan sedang atau pernah memilih untuk berada di hubungan yang ‘tidak konvensional’, seperti hubungan berbeda suku dan kelas sosial, atau usia yang terpaut jauh.

“Survei ini juga menunjukkan bahwa pasangan-pasangan yang menjalani hubungan ‘tidak konvensional’ ini menghadapi tekanan yang sangat kuat sehingga akhirnya kehilangan suara mereka: 43% dari mereka akan merahasiakan hubungan mereka karena tidak direstui orangtua, 31% merasa bersalah terhadap keluarga mereka, 58% merasa didiskriminasi, di-judge, atau dipermalukan, dan 44% bahkan terpaksa mengakhiri hubungan karena tidak direstui orangtua maupun masyarakat,” ungkap Fiona.

Pingkan Rumondor, M.Psi seorang Psikolog klinis dan Peneliti relasi interpersonal saat ini mulai mengamati adanya perilaku ‘sliding’ daripada ‘deciding’ diantara pasangan-pasangan muda, dimana mereka cenderung patuh ke batas-batas cinta konvensional yang ditentukan oleh masyarakat, tanpa aktif mengeksplorasi dan secara sadar memutuskan pilihannya sendiri. Tanpa keberanian untuk menyuarakan keinginan, kebahagiaan mereka pun akhirnya menjadi terbatas.

“Hasil penelitian menunjukkan bahwa pria dan wanita akan lebih mampu merasakan hubungan yang rewarding saat mereka berani memutuskan dan mengungkapkan hal-hal yang dianggap penting dalam hubungan, dibandingkan hanya mengikuti arus. Salah satu tahapan yang paling penting adalah memahami apa yang ingin kita rasakan dan dapatkan dari sebuah hubungan sehingga kita dapat lebih percaya diri menyuarakan isi hati kepada pasangan, dan akhirnya mencintai orang yang sesuai dengan nilai-nilai kita,” terang Pingkan.

Hal ini dialami pasangan selebritas, Natasha Rizky dan Desta Mahendra yang sudah melewati masa berjuang untuk sebuah hubungan cinta dengan beda usia 16 tahun. Rasa percaya diri ini juga  membantu mereka menemukan keberanian untuk meyakinkan semua orang – baik itu orangtua atau masyarakat bahwa hubungan mereka pantas diperjuangkan.

Natasha bercerita, “Di masa pacaran, aku dan Desta banyak menerima tentangan dari keluarga dan orang-orang sekitar – terutama karena perbedaan usia kami yang terpaut 16 tahun. Aku percaya bahwa cinta memang harus diperjuangkan. Karena aku dan Desta sangat yakin bahwa kami memiliki visi dan prinsip hidup yang sejalan, perlahan-lahan kami juga mampu meyakinkan orang-orang bahwa persepsi mereka tentang hubungan beda usia tidak selamanya benar. Akhirnya sampai sekarang kami bisa menikmati kebahagiaan dari perjuangan kami dulu.” (efp)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *