Ketika Uang Tunai Ditolak: Menguji Makna Inklusi Keuangan di Era Digital

by
Ilustrasi.
Asep Dahlan. (Ist)

Oleh Asep Dahlan*

SEBUAH video singkat tentang seorang nenek yang gagal membeli roti karena pembayaran tunai ditolak seharusnya membuat kita berhenti sejenak. Peristiwa itu tidak terjadi di ruang diskusi akademik atau laporan lembaga keuangan, melainkan di depan kasir—ruang paling sederhana tempat warga berinteraksi langsung dengan sistem ekonomi. Di titik itulah makna kemajuan diuji: apakah ia benar-benar memuliakan manusia, atau justru meninggalkan sebagian darinya.

Digitalisasi pembayaran adalah keniscayaan zaman. Ia lahir dari tuntutan efisiensi, keamanan, dan kecepatan transaksi. Namun, setiap lompatan teknologi selalu menyisakan pertanyaan mendasar: siapa yang ikut melompat, dan siapa yang tertinggal?

Angka yang Meningkat, Realitas yang Tidak Seragam

Indonesia patut mencatat kemajuan dalam inklusi keuangan. Indeks inklusi nasional telah melampaui 80 persen—angka yang kerap dibaca sebagai keberhasilan digitalisasi dan perluasan akses layanan keuangan. Namun, statistik sering kali tidak mampu menangkap pengalaman manusia secara utuh.

Inklusi di atas kertas tidak selalu berarti inklusi dalam praktik. Memiliki rekening atau dompet digital belum tentu sejalan dengan kemampuan, kepercayaan, dan kenyamanan menggunakannya. Bagi sebagian lansia, uang tunai bukan sekadar alat transaksi, melainkan simbol kepastian, kontrol, dan rasa aman yang dibangun selama puluhan tahun.

Kasus nenek di gerai roti itu mengingatkan kita bahwa kemajuan tidak pernah bergerak seragam. Ia melaju cepat bagi mereka yang siap, tetapi terasa menjauh bagi mereka yang tertatih mengejar.

Ketika Sistem Mengalahkan Manusia

Masalah utama bukan terletak pada teknologinya, melainkan pada cara ia diterapkan. Ketika kebijakan non-tunai dijalankan secara kaku di tingkat layanan, sistem berubah menjadi pagar pembatas. Konsumen tidak lagi dinilai dari kemampuannya membayar, melainkan dari kesesuaiannya dengan perangkat dan aplikasi.

Padahal, uang tunai masih merupakan alat pembayaran yang sah. Menutup pintu terhadapnya secara sepihak berarti mempersempit ruang partisipasi ekonomi warga. Dalam konteks ini, penolakan bukan semata persoalan teknis, melainkan juga simbolik: ada kelompok yang secara tidak langsung diberi pesan bahwa mereka tidak lagi termasuk dalam arus utama.

Empati yang Terlupakan dalam Transformasi

Kasir bukan sekadar perpanjangan mesin transaksi. Ia adalah titik temu antara sistem dan manusia. Ketika empati absen di ruang ini, teknologi berubah menjadi instrumen yang dingin dan eksklusif.

Transformasi digital seharusnya mempermudah hidup, bukan menambah beban psikologis bagi mereka yang sudah rentan. Lansia yang datang membawa uang tunai hadir dengan harapan sederhana: pulang dengan kebutuhan terpenuhi, bukan dengan rasa malu atau kebingungan.

Inklusi sebagai Proses, Bukan Paksaan

Literasi keuangan digital memang perlu terus diperluas. Edukasi, pendampingan, serta perlindungan konsumen adalah fondasi penting menuju masyarakat yang semakin non-tunai. Namun, inklusi tidak bisa dipercepat hanya dengan logika pasar dan target adopsi.

Transisi yang adil berarti menyediakan waktu, pilihan, dan perlakuan yang manusiawi. Opsi pembayaran tunai tidak semestinya dipandang sebagai kemunduran, melainkan sebagai jembatan agar tidak ada yang terjatuh di tengah perubahan.

Mengukur Kemajuan dengan Martabat

Keberhasilan digitalisasi tidak diukur dari seberapa cepat uang tunai ditinggalkan, melainkan dari seberapa luas partisipasi ekonomi tetap terjaga. Sistem keuangan yang modern tetapi meninggalkan sebagian warganya mungkin efisien secara teknologi, namun rapuh secara sosial.

Catatan Penutup

Mungkin suatu hari uang tunai benar-benar akan menjadi kenangan. Namun sebelum hari itu tiba, kita perlu bertanya dengan jujur: apakah perjalanan menuju masa depan ditempuh dengan mengajak semua orang berjalan bersama, atau dengan membiarkan sebagian tertinggal di belakang kasir?

Sebab pada akhirnya, kemajuan sejati bukan diukur dari kecanggihan sistem pembayaran, melainkan dari kesediaan kita memastikan bahwa setiap orang—termasuk yang paling rentan—tetap memiliki tempat yang bermartabat dalam kehidupan ekonomi sehari-hari. ***

* Penulis adalah Konsultan Keuangan, sekaligus Pendiri Dahlan Consultant