Siasat Kotor Penghilangan Saham Pendiri Blue Bird, Hukum Republik Indonesia Tak Berlaku

by
Dr. Mintarsih A. Latief di Gedung Mahkamah Agung RI. (Foto: Dok. Pribadi)

BERITABUANA.CO, JAKARTA — Salah satu pendiri Blue Bird, dr. Mintarsih A. Latief Sp.KJ, mengungkapkan bahwa Blue Bird didirikan oleh empat kelompok keluarga yang secara bertahap tersingkir. Pada akhirnya, perusahaan tersebut dikuasai hanya oleh seperdelapan keluarga, yakni Purnomo dan kawan-kawan (keluarga Purnomo dan keluarga Chandra, termasuk di dalamnya mertua dari Nikita Willy), serta Gunawan Surjo Wibowo.

“Pada tahun 1994, Purnomo dan Kresna (putra dari Chandra) menggelapkan seluruh saham milik saya di anak perusahaan PT Blue Bird Taxi,” sebut Mintarsih A. Latief kepada wartawan di Jakarta, Rabu (17/12/2025).

Atas peristiwa tersebut, Mintarsih menggugat melalui perkara No. 270/PDT.G/2001/PN.Jak.Sel, dengan putusan bahwa seluruh saham yang digelapkan harus dikembalikan kepada Mintarsih.

Kekerasan Fisik dan Tekanan Hukum

Setelah kekalahan pada perkara pengadilan PT Ziegler, pada tahun 2000 terjadi serangkaian tindakan kekerasan fisik dan tekanan hukum terhadap pemegang saham yang bukan berasal dari kelompok Purnomo dkk, antara lain:

a. Purnomo selaku Direktur Blue Bird, bersama istri dan Sri Ayati Purnomo (putri dari Purnomo), melakukan kekerasan fisik terhadap pemegang saham Janti Wirjanto yang saat itu berusia 74 tahun, dengan bukti visum et repertum No. 88/VER/U/2000.

b. Upaya penculikan terhadap Mintarsih dan Tino (orang kepercayaan pemegang saham alm. Surjo Wibowo), dengan bukti No. 218/PNH/2001, 302/W/VI/2015 s/d 305/W/VI/2015, serta surat-surat pernyataan bermeterai. Nasib Tino sendiri berakhir dengan meninggal dunia akibat tabrak lari.

c. Pelaporan ke kepolisian yang berujung pada diterbitkannya:

  • Surat Perintah Penangkapan Mintarsih dengan alasan perbuatan tidak menyenangkan (Bukti No. Sprin/1294/XI/2000/Serse),
  • Surat Perintah Membawa Mintarsih sebagai tersangka (Bukti No. Sprin/383/SPTM/X/2000/Serse),
  • Surat Perintah Penggeledahan Badan, Pakaian, dan Rumah (No. Pol. Sprin/307/XI/2000/Serse).

d. Penipuan warisan melalui Akta Pertolongan Pembagian Harta Peninggalan No. 82/P3HP/2000/PAJS tanggal 14 Agustus 2000, yang kemudian digugat Mintarsih melalui perkara No. 911/Pdt.G/2001/PAJS, dengan putusan bahwa akta tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pengalihan Sasaran: Saham CV Lestiani

Karena cara kekerasan dan tekanan kepolisian tidak berhasil meraup saham Mintarsih, Lani Wibowo, dan Elliana Wibowo, maka sasaran penggelapan saham beralih ke kepemilikan 15 persen saham PT Blue Bird Taxi, melalui sejumlah siasat kotor.

Siasat Kotor Kesatu

Setelah teror-teror pada tahun 2000 yang menyeramkan, Mintarsih mengundurkan diri sebagai Pesero Pengurus/Direksi CV Lestiani melalui penetapan Ketua PN Jakarta Pusat No. 02/2001/SOM.PN.JKT.Pst tanggal 30 April 2001, yang telah dijawab tertulis oleh Chandra dan Purnomo bahwa mereka tidak keberatan.

Namun, pengunduran diri sebagai pengurus dimanipulasi menjadi pengunduran diri sebagai pesero/pemegang saham. Selanjutnya dibuat Akta Perubahan No. 5 tanggal 21 Desember 2001 oleh Notaris F.K. Makahanap, SH, SpN, secara diam-diam tanpa kehadiran Mintarsih, yang diarahkan untuk menggelapkan saham Mintarsih di CV Lestiani.

Berdasarkan Pasal 17 Anggaran Dasar CV Lestiani, akta tersebut harus dilegalisasi PN Jakarta Pusat, namun faktanya tidak ada legalisasi, sebagaimana dibuktikan dalam Surat No. W10.U113774.12.2013.03 tanggal 9 Desember 2013.

Siasat Kotor Kedua

Karena gagal, Purnomo dan Chandra membuat Akta Pendirian PT Ceve Lestiani No. 1 tanggal 5 Maret 2002, dengan pemegang saham hanya Purnomo dan Chandra, yang disahkan melalui Tambahan Berita Negara No. 6663 Tahun 2002 halaman 2.

Namun pengesahan tersebut dipalsukan seolah-olah sebagai peningkatan status CV Lestiani menjadi PT Ceve Lestiani, padahal Kepaniteraan Hukum PN Jakarta Pusat tidak pernah melegalisasi perubahan apa pun pada CV Lestiani.

Siasat Kotor Ketiga

Manipulasi berlanjut melalui pembuatan Daftar Pemegang Saham PT Blue Bird Taxi tanggal 1 Mei 2013, yang dibuat sepihak oleh Purnomo tanpa RUPS dan tanpa sepengetahuan Mintarsih, padahal berdasarkan Pasal 92 ayat (5) UUPT, kewenangan direksi adalah setara.

Daftar ini kemudian digunakan kembali pada RUPS 10 Juni 2013, untuk mengubah status CV Lestiani menjadi PT Ceve Lestiani tanpa dasar hukum.

Siasat Kotor Keempat

Pemegang saham Purnomo dkk mengabaikan UUPT No. 40 Tahun 2007, khususnya Pasal 56 tentang pemindahan saham, karena tidak pernah ada Akta Pemindahan Hak atas Saham.

Manipulasi ini diperkuat dengan keputusan RUPS yang menyatakan:

“Berhubung suara yang hadir menyetujui 100 persen dengan suara bulat terpenuhi, maka rapat memutuskan untuk menyetujui Penyesuaian Saham.”

Padahal keputusan tersebut bertentangan dengan hukum, Anggaran Dasar Perseroan, dan peraturan perundang-undangan.

IPO Blue Bird Tbk Dinilai Cacat Hukum

Mintarsih juga mempersoalkan pelaksanaan IPO PT Blue Bird Tbk, yang dinilainya cacat hukum. Ia telah meminta OJK menunda IPO, namun merasa tidak ditanggapi secara serius. Mintarsih kemudian melaporkan OJK ke Ombudsman RI, dengan dasar Pasal 93 dan Pasal 95 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Ia juga mengungkap adanya gugatan terkait pemakaian gedung tanpa izin, kerja sama operasional, serta gugatan merek di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Respons OJK dan Ombudsman

Anggota Ombudsman RI Pranowo Dahlan menyatakan pihaknya akan meneliti dugaan maladministrasi. Sementara Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad menegaskan bahwa penyelesaian sengketa harus sesuai UU Pasar Modal dan menekankan pentingnya keterbukaan informasi kepada publik.

“Semua harus disclose, termasuk sedang bermasalah. Biar investor tahu sebelum membeli saham,” kata Muliaman. (Ery)