BERITABUANA.CO, JAKARTA – Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dan Kelompok Diskusi Kelompencapir sukses menyelenggarakan acara bedah buku yang vital, “Bank Tanah: Quo Vadis Reforma Agraria dan Kapitalisme Tanah.” Buku karya Dr. Nurnaningsih, S.H., M.Kn., ini menjadi sorotan utama karena menganalisis secara mendalam dilema kelembagaan Bank Tanah (LBT) Indonesia dalam mewujudkan mandat keadilan sosial agraria di tengah derasnya arus investasi.
Acara dibuka oleh Dr. M. Parulian Aritona, S.H., LL.M., MPP (Dekan FHUI), yang mengucapkan selamat dan mengapresiasi kontribusi Dr. Nurnaningsih dalam mengembangkan keilmuan hukum tata bumi di FHUI.
Sambutan dukungan juga disampaikan oleh Dr. Irfan, S.H., M.H. (Ketua Umum Ikatan Notaris Indonesia), yang menyebut isu Land Bank sebagai agenda penting untuk pembangunan nasional.
Panelis ahli yang hadir untuk membedah buku ini meliputi:
• Penulis: Dr. Nurnaningsih, S.H., M.Kn. (Pengajar FHUI)
• Pembahas:
• Dr. Suparjo Sujadi, S.H., M.H. (Associate Professor, Ketua Pusat Studi Hukum Tata Bumi UI)
• Dr. Dewi Tenti Septi Artiani, S.H., M.H., M.Kn. (Praktisi Notaris, Founder Kelompencapir)
• Dr. RB Agus Wijayanto, S.H., M.Hum. (Ahli Agraria, Eks. Inspektur Jenderal Kementerian ATR/BPN)
Dr. Nurnaningsih: Misi Ganda yang Harus Linear
Dalam pemaparannya, Jumat (21/11/2025),Dr. Nurnaningsih meluruskan mispersepsi publik yang resah akan adanya pengambilalihan tanah rakyat tak bersertifikat. Beliau menegaskan bahwa LBT berfokus pada inventarisasi tanah terlantar skala besar (perkebunan luas yang tidak diurus atau tanah dengan HGB yang expired atau tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan).
Penulis menekankan bahwa dualisme Bank Tanah—untuk investasi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat—adalah keniscayaan.
“Kedua tujuan dari Bank Tanah harus berjalan secara linear, beriringan. Jangan sampai tujuan kesejahteraan masyarakat dikesampingkan demi dorongan investasi. Di negara kita, negara hanya memiliki Hak Menguasai dari Negara (HMN), bukan hak milik, sehingga pengelolaan tanah harus bertujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tegas Dr. Nurnaningsih, menyerukan perlunya pengawasan eksternal yang efektif terhadap operasional LBT.
Dr. Suparjo Sujadi membawa diskusi ke dimensi fundamental, mengingatkan bahwa tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 dan 2 UUPA). Beliau mengkritik kecenderungan kebijakan agraria hari ini yang terlalu mekanis dan teknis, melupakan nilai-nilai mendasar dan mengabaikan spirit UUPA.
“Dinamika pertanahan nasional dan global semakin mengerikan. Ketika kita hanya berpikir teknis, kita mengabaikan arti di balik durasi, luas, dan nilai tanah bagi nasib bangsa. Kebijakan harus menjamin berkah karunia Tuhan,” ujar Dr. Suparjo.
Suparjo juga menyoroti temuan studi global mengenai Large Scale Land Based Investment (LSLBI) yang menunjukkan penyakit agraria serupa di Indonesia, seperti egosektoral antar-kementerian (ATR/BPN, Kehutanan, PUPR) dan kurangnya transparansi yang berpotensi menyentuh tanah rakyat dan hak ulayat.
Dr. Dewi Tenti Septi Artiani menyoroti bahwa LBT hadir di tengah krisis ketimpangan penguasaan tanah yang merupakan warisan struktural era kolonial.
“Adanya potensi tumpang tindih kewenangan antara LBT dengan BPN, Kementerian LHK, dan Pemda, berisiko menghambat efektivitas Reforma Agraria,” jelasnya.
Ia juga menyambut baik ide penulis mengenai perlunya mendorong penguasaan tanah secara komunal melalui model koperasi sebagai solusi untuk memerangi ketimpangan struktur agraria. Dr. Dewi mewanti-wanti agar fungsi Bank Tanah untuk kegiatan komersil tidak disalahgunakan, melainkan fokus pada manfaat sosial.
Dr. RB Agus Wijayanto, yang pro-Reforma Agraria namun mendukung Bank Tanah, menjelaskan pentingnya kelembagaan LBT dari sudut pandang administrasi pertanahan.
“Bank Tanah adalah kebutuhan untuk manajemen pertanahan. Jika tanah terlantar dikelola BPN, statusnya menjadi Aset Negara yang terikat UU Keuangan Negara dan sangat birokratis. Bank Tanah, sebagai badan hukum khusus, memiliki fleksibilitas dalam mengelola Hak Pengelolaan (HPL) untuk didistribusikan kembali,” terang mantan Irjen Kementerian ATR/BPN itu.
Agus juga memaparkan data bahwa LBT saat ini telah menguasai 34.000 hektar HPL, yang sebagian berasal dari penetapan tanah terlantar. Distribusi lahan ini diklaim telah dilakukan untuk kepentingan publik dan sosial, seperti terminal, bandara, perumahan MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah), dan program Reforma Agraria. Ia menegaskan bahwa tidak ada duplikasi kewenangan karena LBT tetap berkoordinasi dan diawasi oleh Komite Bank Tanah yang melibatkan Menteri terkait.
Acara bedah buku ini menyimpulkan bahwa terlepas dari kritisisme akademis, LBT adalah instrumen yang diperlukan. Namun, semua narasumber mendesak agar implementasi PP No. 64 Tahun 2021 harus diarahkan secara tegas pada mandat keadilan sosial dan pemerataan aset agraria, serta harus diiringi dengan mekanisme pengawasan eksternal yang kuat dari civil society dan lembaga pengkajian, agar LBT tidak hanya menjadi kendaraan bagi kepentingan kapitalisme tanah. (Kds)







