BERITABUANA.CO, JAKARTA – Komite Peduli Jakarta (KPJ) menilai rencana penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) DKI Jakarta berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian rakyat, khususnya sektor hiburan malam. Menurut KPJ, regulasi yang diterapkan tanpa kajian matang bisa mengurangi pendapatan usaha kecil, mengancam lapangan kerja, hingga mendorong munculnya praktik hiburan ilegal.
KPJ menegaskan, klaim bahwa KTR akan memperkuat ekonomi rakyat karena menghadirkan lingkungan lebih sehat terlalu optimistis. “Jika diterapkan secara serampangan, larangan total merokok di hiburan malam justru bisa menurunkan omzet, mematikan usaha mikro hingga menengah, dan memberatkan pekerja,” tulis KPJ dalam keterangan yang diterima, Kamis (25/9/2025).
Risiko bagi Usaha dan Tenaga Kerja
Sektor hiburan malam disebut menyerap ribuan pekerja, mulai dari musisi, operator sound system, bartender, MC, petugas keamanan, hingga staf layanan. Menurut KPJ, larangan total merokok akan membuat pengunjung kurang nyaman, sehingga berpotensi menurunkan jumlah kunjungan dan berdampak langsung pada pendapatan usaha serta pekerjanya.
“Mayoritas usaha hiburan malam beroperasi dengan margin keuntungan tipis. Investasi tambahan seperti ventilasi khusus atau pemisahan ruang akan menambah beban operasional,” kata KPJ.
Regulasi Dinilai Tidak Proporsional
KPJ menilai kebijakan KTR yang menyamakan ruang hiburan malam dengan fasilitas publik seperti sekolah atau rumah sakit tidak adil. Karakteristik pengunjung hiburan malam berbeda dengan ruang publik umum, sehingga regulasi seharusnya mempertimbangkan perbedaan fungsi ruang.
Selain itu, KPJ menilai regulasi yang disusun tanpa melibatkan asosiasi pengusaha, akademisi, tokoh masyarakat, hingga komunitas pekerja hiburan, berisiko melahirkan aturan yang jauh dari realitas sosial-ekonomi warga.
Beban Biaya dan Efek Substitusi
Penerapan ruang khusus merokok dengan standar kesehatan dinilai membutuhkan biaya besar, terutama bagi usaha kecil dan menengah. Dalam kondisi ekonomi yang menantang, banyak pelaku usaha lebih memilih memangkas pengeluaran daripada berinvestasi pada fasilitas tambahan.
KPJ juga mengingatkan soal potensi efek substitusi. Jika aturan terlalu keras, sebagian pengunjung bisa beralih ke tempat hiburan “gelap” yang tak diawasi pemerintah. Hal itu justru berisiko menumbuhkan praktik ilegal dan menciptakan ketimpangan antara hiburan kelas atas yang mampu patuh dengan hiburan pinggiran yang tetap bebas rokok.
Ajakan KPJ ke DPRD DKI
KPJ mendesak DPRD DKI Jakarta dan Pemprov DKI untuk lebih selektif dalam merumuskan regulasi KTR. Menurut mereka, aturan yang sehat harus proporsional, berbasis zonasi sosial-ekonomi, serta melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
“Jangan sampai kebijakan kesehatan berubah menjadi beban ekonomi baru bagi masyarakat. Solusi seperti ruang merokok dengan ventilasi standar lebih realistis dibanding larangan total,” tegas KPJ. ***