Idul Adha dan Semangat Pengorbanan di Tengah Krisis Kemanusiaan

by
Ketua KMI, Edi Homaidi. (Foto: Istimewa)

Oleh: Edi Homaidi (Ketua Kaukus Muda Indonesia)

Hari Raya Idul Adha bukan sekadar momen ritual tahunan bagi umat Islam. Lebih dari itu, Idul Adha adalah representasi historis dan spiritual dari ajaran Islam tentang ketaatan, pengorbanan, dan keikhlasan. Di tengah kompleksitas zaman—ketimpangan sosial, krisis moral, hingga tragedi kemanusiaan global—pesan-pesan dari hari besar ini seharusnya hadir menjadi refleksi dan energi kolektif umat, khususnya generasi muda Islam.

Sejarah dan Asal-Usul Idul Adha
Idul Adha merujuk pada kisah agung Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya, Ismail AS. Kisah monumental ini terekam dalam Surah Ash-Shaffat ayat 102–107:

“Maka ketika anak itu sampai pada (umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.'” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Allah mengganti Ismail dengan seekor sembelihan besar sebagai bentuk penghormatan terhadap ketaatan Nabi Ibrahim. Inilah awal mula disyariatkannya ibadah kurban, yang kemudian menjadi amalan tahunan setiap 10 Dzulhijjah.

Makna Teologis dan Sosial
Dari sisi teologis, Idul Adha mengajarkan nilai ketaatan absolut kepada Tuhan, bahkan ketika perintah-Nya melampaui logika manusia. Dari aspek sosiologis, kurban adalah simbol solidaritas sosial. Daging hewan kurban dibagikan kepada masyarakat, terutama fakir miskin, sebagai bentuk distribusi kekayaan dan penghapusan ketimpangan.

Hadist Nabi SAW mempertegas keutamaan kurban: “Tidak ada amal yang paling dicintai Allah pada hari raya Idul Adha selain menyembelih hewan kurban.” (HR. Tirmidzi)

Landasan Syariat: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas
1. Al-Qur’an: Perintah berkurban dalam QS. Al-Kautsar ayat 2: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.”

2. Sunnah Nabi: Rasulullah SAW senantiasa berkurban tiap tahun. Dalam hadist riwayat Ahmad dan Ibnu Majah, disebutkan: “Rasulullah berkurban dengan dua ekor domba yang putih dan bertanduk, beliau menyembelih dengan tangan beliau sendiri.

3. Ijma’ Ulama: Para ulama sepakat bahwa kurban adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), kecuali sebagian mazhab Hanafiyah yang memandangnya wajib bagi yang mampu.

4. Qiyas: Ibadah kurban dianalogikan sebagai bentuk ibadah harta sebagaimana zakat dan fidyah. Maka, qiyasnya adalah adanya unsur kepedulian sosial dalam ibadah ini.

Relevansi bagi Generasi Muda
Sebagai Ketua Kaukus Muda Indonesia, saya mengajak generasi muda untuk menjadikan Idul Adha sebagai momentum rekonstruksi nilai-nilai pengorbanan dalam konteks kekinian. Pengorbanan hari ini bukan lagi menyembelih hewan semata, tapi mampu melepaskan ego, menahan hawa nafsu kekuasaan, mengalahkan individualisme, serta bersatu untuk menebar manfaat bagi bangsa.

Idul Adha adalah seruan moral untuk pemimpin muda, aktivis sosial, dan kaum terdidik agar menjadikan semangat Ibrahim-Ismail sebagai kompas perjuangan dalam membela keadilan dan kemanusiaan, baik dalam konteks lokal maupun global.

Dalam realitas yang penuh luka –perang, kemiskinan, perpecahan– Idul Adha hadir bukan hanya sebagai perayaan, tetapi sebagai resonansi spiritual untuk membangun peradaban baru. Jika Ibrahim dan Ismail mampu menunjukkan kesetiaan dan keikhlasan total kepada Allah, maka kita —sebagai generasi muda Nusantara— seharusnya mampu menunjukkan pengorbanan untuk kemaslahatan umat dan bangsa.

Idul Adha bukan sekadar menyembelih hewan, tapi menyembelih keserakahan, kebodohan, dan ketidakpedulian. ***