Kebijakan Presiden Donald Trump dalam Konteks Geostrategis dan Politis Indo-Pasifik

by
Agus Widjadjanto. (Foto: Istimewa)

Oleh: Agus Widjajanto (Praktisi hukum,dan penulis esai sertai pemerhati masalah sosial budaya politik hukum dan sejarah bangsanya)

KEBIJAKAN Presiden Donald Trump memengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Pada tahun 2025, rupiah menguat 21 poin (0,14%) ke level Rp 16.329 per dolar AS. Namun, ketidakpastian kebijakan perdagangan Trump menyebabkan pelemahan rupiah dalam jangka panjang.

Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah:

  • Kebijakan Perdagangan: Ketidakpastian kebijakan perdagangan Trump memengaruhi nilai tukar rupiah.
  • Data Ekonomi Makro: Pelemahan ekonomi makro juga berkontribusi terhadap nilai tukar.
  • Ketidakpastian Global: Perang dagang dan ketegangan global turut memengaruhi fluktuasi rupiah.

Dampak terhadap Indonesia:

  • Pelemahan Rupiah: Menyebabkan kenaikan biaya impor dan penurunan daya saing ekspor.
  • Inflasi: Biaya impor yang tinggi turut mendorong inflasi.
  • Perekonomian: Pelemahan mata uang memengaruhi kestabilan ekonomi nasional secara umum.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada tanggal 10 April 2025 adalah sebagai berikut:

  • Kurs BCA: 1 USD = Rp 16.760 – Rp 16.785 (e-Rate), Rp 16.600 – Rp 16.900 (TT Counter & Bank Notes)
  • Kurs Wise: 1 USD = Rp 16.940
  • Kurs Finnhub: Tidak tersedia informasi terkini

Hal ini sangat memengaruhi perekonomian bukan hanya di Indonesia, tetapi berdampak serius terhadap ekonomi global secara keseluruhan.

Resesi ekonomi dunia diprediksi meningkat akibat kebijakan Presiden Donald Trump, terutama terkait tarif perdagangan. Beberapa poin penting:

  • Probabilitas Resesi Global: JP Morgan memprediksi peluang resesi global naik dari 40% menjadi 60%, akibat kebijakan tarif yang menurunkan kepercayaan pelaku bisnis dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
  • Reaksi Pasar: Bursa saham AS menunjukkan penurunan tajam pada indeks Nasdaq, Dow Jones, dan S&P 500.
  • Perang Dagang: Tarif perdagangan Trump memicu ketegangan dagang, terutama dengan Tiongkok.
  • Pemangkasan Suku Bunga: Federal Reserve diperkirakan akan memangkas suku bunga hingga tiga kali untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Lembaga seperti S&P Global dan Goldman Sachs juga memperkirakan peningkatan risiko resesi di AS antara 30-35%. Beberapa analis menyebut risiko ekonomi AS akan semakin besar jika kebijakan tarif Trump berlanjut.

Kebijakan tersebut bukan hanya berpotensi memicu resesi global, tetapi juga meningkatkan ketidakpastian di kawasan. Negara-negara akan menyusun kebijakan untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Dalam sejarah, ketika resesi memuncak, beberapa negara memilih jalan ekstrem: ekspansi melalui perebutan sumber daya dengan operasi militer. Hal ini bisa saja terjadi di kawasan Indo-Pasifik.

Resesi ekonomi dunia sebelum Perang Dunia II dipengaruhi oleh:

  • Depresi Besar (1929-1939): Menyebabkan pengangguran, penurunan produksi, dan harga.
  • Krisis Keuangan (1929): Dimulai dengan kejatuhan pasar saham.
  • Dampak Perang Dunia I: Inflasi dan ketidakstabilan ekonomi pasca perang.
  • Kebijakan Proteksionisme dan Isolasionisme: Justru memperburuk krisis.
  • Konflik Politik: Termasuk kebangkitan Nazi Jerman.

Dampaknya:

  • Pengangguran massal
  • Penurunan produksi dan harga
  • Ketegangan politik antarnegara

Kondisi Geostrategis dan Geopolitik Indo-Pasifik

Indo-Pasifik, yang dianggap sebagai kawasan dengan potensi pertumbuhan ekonomi tertinggi abad ini, sangat rentan terhadap konflik besar antara negara adidaya, baik dalam bentuk perang ekonomi maupun militer.

Setidaknya terdapat dua titik rawan di kawasan ini:

  1. Pulau Taiwan: Diklaim Tiongkok sebagai bagian dari negaranya. Ketegangan meningkat karena Amerika secara hukum menyuplai persenjataan kepada Taiwan. Dalam satu dekade terakhir, Tiongkok telah mengembangkan kemampuan militernya:
    • Tiga kapal induk modern, penerus Lioning
    • Teknologi militer satelit dan pesawat tempur J-20 yang diklaim menyaingi F-35
    • Pesawat pembom jarak jauh Xian H-6K dan rudal Dong Feng
    • Drone canggih dan kekuatan militer yang disebut-sebut melampaui AS dan Rusia
  2. Laut China Selatan: Tiongkok mengklaim wilayah ini berdasarkan sejarah, namun bertentangan dengan UNCLOS.Tiongkok:
    • Tidak menjelaskan batas wilayah klaimnya secara jelas
    • Mengabaikan prinsip hukum laut dan hak negara lain
    • Menolak putusan Mahkamah Internasional 2016
    • Membangun pulau buatan dan instalasi militer
    • Melakukan aktivitas ekonomi dan mengerahkan kapal perang

Laut China Selatan kaya akan minyak dan gas alam, penting untuk menopang kebutuhan energi Tiongkok dengan populasi 1,408 miliar jiwa (2024). Pangkalan militer di pulau-pulau reklamasi dapat menjangkau ASEAN dan Australia. Sengketa terjadi antara Tiongkok dan negara ASEAN termasuk Indonesia (pulau Natuna) terkait nine-dash line.

Sementara itu, perang dagang antara Tiongkok dan AS terus berlangsung. Pakta pertahanan AUKUS (AS, Australia, Inggris) memperkuat posisi Barat di kawasan, menciptakan situasi mirip tahun 1930-an saat Jepang dikucilkan dan bersiap menghadapi perang.

Sejarah Sebagai Cermin Masa Kini

Jepang menyerang Pearl Harbour karena merasa terancam oleh kebijakan AS yang pro-Tiongkok dan memberlakukan embargo. Serangan pada 7 Desember 1941 bertujuan untuk melemahkan kekuatan Armada Pasifik AS.

Situasi saat ini tidak jauh berbeda. Ketegangan di Indo-Pasifik bisa berubah menjadi perang besar, dipicu oleh hal-hal tak terduga.

Kebijakan Trump yang Merugikan Tiongkok:

  • Perang Tarif: Menurunkan ekspor Tiongkok ke AS
  • Pembatasan Investasi: Menghambat arus modal dari Tiongkok
  • Kebijakan Teknologi: Membatasi akses terhadap teknologi canggih AS

Kebijakan ini bertujuan melindungi kepentingan ekonomi AS, namun berpotensi memicu konflik yang lebih besar.

Imbas bagi Indonesia

Indonesia sebagai negara non-blok tanpa perjanjian militer formal harus waspada, apalagi kawasan Natuna merupakan titik strategis yang rawan konflik. Para pengambil kebijakan perlu bersikap sigap untuk mempertahankan kedaulatan secara mandiri.

Blokade global seperti di Ukraina bisa terjadi. Amerika bersama sekutu melawan Tiongkok dan sekutunya, dengan dampak kehancuran ekonomi dunia akibat senjata modern yang masif.

Penulis teringat pernyataan seorang petinggi militer Indonesia tahun 1970-an: “Indonesia tidak mungkin perang.” Namun empat tahun kemudian Indonesia menyerbu Timor Timur. Ini menunjukkan bahwa segala kemungkinan bisa terjadi sewaktu-waktu.

Kekuatan Diplomasi Harus Didukung Kekuatan Militer

Diplomasi tanpa kekuatan militer hanyalah macan ompong. Negara yang ingin damai harus siap untuk perang demi menjaga teritori dan kedaulatan.

Sebagai poros maritim global dengan 17.000 pulau, Indonesia harus memperkuat kemampuan Angkatan Laut, mengamankan ZEE 200 mil laut dari pantai. Pada tahun 1960, Indonesia memiliki kekuatan laut terbesar di Asia Timur. Ini harus diwujudkan kembali melalui kekuatan Blue Water Global Navy yang disegani dunia.

Pertahanan Rakyat Semesta

Doktrin pertahanan rakyat semesta harus dihidupkan. Dengan 270 juta jiwa penduduk, Indonesia memiliki potensi menciptakan puluhan juta tentara pejuang dalam waktu singkat. Tantangannya adalah kesiapan logistik dan alat utama sistem persenjataan.

Semoga Tuhan selalu melindungi bangsa ini.
Amin. ***