Papua dan Impian Mencapai Kesejahteraan yang Berkeadilan

by
Agus Widjadjanto, dalam sebuah diskusi yang digelar di Media Center, Gedung DPR RI. (Foto: Istimewa)

 

Oleh: Agus Widjajanto (Pemerhati Sosial, Budaya dan Sejarah Bangsa)

BERBICARA mengenai Papua tentu tidak bisa dilepaskan dari adat istiadat serta sejarah bergabungnya Papua, yang dulu disebut Irian Jaya, ke pangkuan Ibu Pertiwi. Papua adalah taman firdaus (surga) dalam dunia nyata yang tampak di depan mata. Pertanyaannya, apakah kita bisa menempatkan “surga” itu dalam setiap sanubari para pengambil keputusan di negeri ini? Apakah kita mampu menjadikannya spirit dalam dada setiap warga negara, sebagai bagian dari saudara kita dalam bingkai Negara Kesatuan?

Pada medio tahun 70-an, band legendaris Koes Plus menyanyikan lagu Kolam Susu, yang menggambarkan betapa suburnya tanah Indonesia. “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman” adalah ungkapan yang layak untuk menggambarkan Papua, bukan hanya karena tanahnya yang subur, tetapi juga karena emas dan intan permata yang melimpah. Namun, sering kali kita lupa bahwa Papua adalah bagian penting dari sejarah berdirinya negara ini. Saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, wilayahnya mencakup bekas jajahan Pemerintahan Hindia Belanda, termasuk Papua.

Papua resmi bergabung dengan Indonesia setelah melalui proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Ini merupakan hasil dari Perjanjian New York yang ditandatangani oleh Belanda dan Indonesia pada tahun 1962. Pada 1 Oktober 1962, Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua kepada UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority), badan pelaksana sementara PBB yang dibentuk untuk menangani konflik perebutan Irian Jaya. UNTEA berperan dalam memindahkan kekuasaan dari Belanda kepada Pemerintah Indonesia, dengan pemimpinnya diangkat oleh Sekretaris Jenderal PBB atas persetujuan kedua belah pihak.

Kemudian, pada 1 Mei 1963, Papua secara resmi diserahkan kepada Indonesia. Kedudukan Papua semakin kuat setelah dilakukan Referendum Act of Free Choice atau Pepera pada tahun 1969. Terlepas dari berbagai perdebatan, itulah yang tercatat dalam risalah PBB.

Saat ini, Papua diberikan status Otonomi Khusus (Otsus), yang memberikan hak kepada provinsi di Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri. Otonomi khusus diberikan berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua, dengan tujuan mewujudkan keadilan, menjunjung harkat martabat, serta melindungi hak-hak dasar mereka. Selain itu, Otsus bertujuan untuk mempercepat pembangunan ekonomi serta mengatasi konflik dan tuntutan pemisahan diri dari NKRI.

Otsua Papua, Kebijakan Sangat Baik

Secara konsep, Otsus Papua adalah kebijakan yang sangat baik untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat Papua. Namun, implementasinya di lapangan tidaklah mudah. Banyak kendala yang muncul, salah satunya adalah kesiapan mental, spirit, dan sumber daya manusia (SDM) dari pemegang keputusan di pemerintahan daerah Papua. Padahal, keberhasilan Otsus seharusnya didukung oleh pendidikan kaderisasi, sosialisasi, serta pendekatan sosiologis dari para ahli dan komunitas keagamaan setempat. Sebuah tim komprehensif perlu dibentuk untuk memberikan pendidikan dan pelatihan khusus bagi pengelolaan pemerintahan serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan.

Pendekatan ini bisa melibatkan saudara-saudara kita dari Indonesia Timur, seperti para pakar sosiologi dan budaya dari Nusa Tenggara Timur (NTT) maupun Ambon. Mereka, bersama tokoh agama, akademisi, budayawan, dan aktivis sosial, dapat memberikan wawasan tentang tata kelola pemerintahan dan pembangunan masyarakat Papua. Dengan demikian, Otsus bisa benar-benar mencapai tujuan utamanya: mempercepat kesejahteraan masyarakat Papua.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak pejabat di Papua justru terjerat kasus korupsi. Dana Otsus yang seharusnya digunakan untuk pendidikan dan kesejahteraan masyarakat malah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Ini harus menjadi perhatian utama. Budaya hidup yang kurang baik perlu diubah, dan rasa tanggung jawab harus ditanamkan. Pendidikan yang baik adalah kunci untuk mengubah nasib masyarakat tradisional Papua menjadi lebih modern, tanpa kehilangan kearifan lokalnya.

Ironisnya, banyak mahasiswa Papua yang belajar di universitas-universitas di Jawa—seperti di Yogyakarta, Jakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan Makassar—sering kali menunjukkan sikap ingin melepaskan Papua dari Indonesia. Seolah-olah mengelola negara itu mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Apalagi, dengan adanya dukungan politis dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, banyak yang berpikir bahwa Papua bisa merdeka begitu saja. Padahal, negara-negara besar tersebut tentu memiliki agenda dan kepentingan sendiri. Tidak ada makan siang gratis di dunia ini. Mereka akan mempertimbangkan faktor geo-strategis dan geo-politik, baik di kawasan Asia Tenggara maupun dalam konteks global. Kepentingan Papua, yang dianggap lebih kecil dibandingkan kepentingan strategis global, bisa saja tidak sebanding dengan dukungan yang diberikan.

Oleh karena itu, kita harus memahami bahwa Papua, sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, memerlukan SDM yang mampu mengelola kekayaan tersebut. Kesejahteraan tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dibangun dengan pendidikan yang baik dan tata kelola yang benar. Dana Otsus yang besar harus digunakan secara efektif, dan kemajuan Papua bergantung pada saudara-saudara kita di Papua sendiri. Cara berpikir yang kurang baik harus diubah agar masyarakat Papua bisa berperan aktif dalam pembangunan daerahnya.

Pendekatan Restorative Justice, yang pernah penulis bahas sebelumnya, merupakan model penyelesaian konflik secara adat di Papua. Konsep ini diadopsi oleh para ahli hukum Barat, tetapi sejatinya merupakan bagian dari kearifan lokal Papua. Semangat persatuan juga bisa diambil dari filosofi Ubuntu dari Afrika Selatan: Kami adalah satu dan tidak bisa dipecah dan dipisah.

Sejak zaman Yunani kuno hingga Kekaisaran Romawi, politik selalu ada, dan rakyat sering menjadi objek dari permainan politik itu sendiri. Oleh karena itu, mari kita jadikan Papua sebagai subjek, bukan objek. Agar masyarakat Papua bisa berperan dalam membangun kesejahteraan daerahnya, mereka harus memiliki kesadaran untuk belajar dan beradaptasi. Mahasiswa-mahasiswa Papua yang telah menyelesaikan pendidikan di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi seharusnya kembali dan berkontribusi untuk Papua.

Sistem perwakilan di Indonesia telah dirancang agar daerah memiliki suara dalam pemerintahan. Keberadaan MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, termasuk dari Papua, sangat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Oleh sebab itu, pemerintah dan DPR harus berani mengambil langkah politik dengan mengembalikan kewenangan MPR melalui amandemen terbatas, agar arah pembangunan bangsa ini menjadi lebih jelas.

Pemerintah juga harus lebih serius dalam memperhatikan Papua, bukan hanya melalui Otsus, tetapi juga dengan pendekatan sosial dan budaya yang lebih bermartabat. Papua memiliki karakteristik sosial dan budaya yang unik, sehingga pembangunan di sana tidak bisa disamakan dengan wilayah lain seperti Jawa atau Sumatera.

Pendekatan budaya dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan, menyelesaikan konflik, serta menciptakan dialog perdamaian di Papua. Kearifan lokal seperti bakar batu, ararem, potong jari (Iki Palek), ukiran kayu, tarian perang, dan pakaian adat koteka bisa menjadi alat untuk membangun keharmonisan sosial.

Jika dilakukan dengan benar, Papua bisa menjadi tanah surga bagi penduduknya sendiri dan bagi Indonesia secara keseluruhan. ***