Oleh: Agus Widjadjanto*
SANGAT disayangkan, pendidikan sejarah bangsa saat ini sangat minim disosialisasikan dan diajarkan kepada generasi muda. Padahal, memahami sejarah adalah langkah penting agar kita dapat belajar dari masa lalu, mencegah pengulangan peristiwa kelam, dan memperkuat langkah ke depan.
Sejarah Kolonialisasi di Indonesia
Dalam kurun waktu antara tahun 1800-an hingga 1942, sebelum Jepang mendarat di Indonesia, wilayah Nusantara tidak sepenuhnya dijajah oleh Belanda. Ada masa tertentu ketika wilayah ini dikuasai oleh Perancis akibat imbas Revolusi Perancis, kemudian beralih kepada Inggris, sebelum akhirnya kembali kepada pemerintahan Hindia Belanda.
Banyak yang kurang memahami bahwa Herman Willem Daendels adalah perwakilan Napoleon Bonaparte di Hindia Belanda. Meskipun Daendels adalah orang Belanda, ia sejak muda beralih ke Perancis dan menjadi kolonel di bawah komando Napoleon. Ambisinya adalah menerapkan Revolusi Perancis pada Kerajaan Belanda dengan mengganti sistem monarki menjadi sistem yang sesuai dengan Revolusi Perancis. Ketika Perancis mengalahkan Inggris dan Belanda, wilayah Hindia Belanda otomatis menjadi jajahan Napoleon. Napoleon pun menunjuk adiknya untuk mengangkat Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dengan pangkat mayor jenderal (bintang dua) dalam kemiliteran Perancis.
Perjalanan Daendels ke Hindia Belanda
Dalam perjalanan sejarahnya, Daendels berlayar dari Perancis menuju New York, Amerika Serikat, yang saat itu sedang berjuang meraih kemerdekaan dari Inggris dengan bantuan Perancis. Dari New York, ia melanjutkan perjalanan menuju Hindia Belanda, menghindari patroli angkatan laut Inggris dan Belanda, hingga akhirnya mendarat di Pantai Anyer, Banten. Dari sana, ia menempuh perjalanan darat ke Batavia selama tiga hari tiga malam.
Saat menjabat sebagai Gubernur Jenderal, Daendels terinspirasi dari kesulitan perjalanan daratnya. Ia kemudian memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer hingga Panarukan, serta jalur dari Batavia menuju Bandung dan Sukabumi. Pembangunan ini dilakukan melalui kerja rodi yang memakan banyak korban jiwa.
Namun, pada tahun 1811, kekuasaan Hindia Belanda beralih ke Inggris setelah Inggris memenangkan beberapa pertempuran. Daendels digantikan oleh Thomas Stamford Raffles.
Reformasi oleh Thomas Stamford Raffles
Raffles memulai berbagai reformasi penting, seperti membagi Jawa menjadi 18 karesidenan (dari sebelumnya hanya dua wilayah), mengangkat bupati pribumi menjadi pegawai negeri, serta membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor. Ia juga menerapkan sistem peradilan Resident Court untuk mengadili perkara pidana dan perdata berat dengan menggunakan sistem hukum Inggris berbasis juri.
Sistem juri ini menekankan pada pencarian keadilan yang objektif, di mana hakim hanya memimpin sidang, sementara keputusan perkara ditentukan oleh para juri. Hal ini menjadi bukti bahwa pada masa kolonial, Indonesia pernah menerapkan sistem hukum Inggris.
Geger Sepoy dan Politik Devide et Impera
Pada masa Raffles, terjadi peristiwa “Geger Sepoy” pada tahun 1811. Tentara Sepoy, yang berasal dari India dan berada di bawah komando Inggris, menyerbu Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan bantuan tentara Mangkunegaran. Serangan ini menyebabkan kerusakan besar pada keraton dan menewaskan tokoh-tokoh penting, termasuk Panglima Perang KRT Sumodiningrat.
Peristiwa ini adalah contoh nyata dari politik “Devide et Impera” (pecah belah dan kuasai), di mana penjajah memanfaatkan konflik antar keraton untuk melemahkan persatuan bangsa.
Kesadaran akan pentingnya persatuan baru muncul pada awal abad ke-20 dengan lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908, yang kemudian disusul oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Refleksi Penegakan Hukum di Indonesia
Setelah merdeka, penegakan hukum di Indonesia menghadapi tantangan besar. Hukum sering dijadikan sebagai lahan bisnis, dan mafia peradilan sulit diberantas.
Dalam konteks ini, sistem peradilan juri seperti yang pernah diterapkan pada masa Raffles dapat menjadi solusi. Melalui law transplant (transplantasi hukum), Indonesia yang menganut sistem hukum kontinental Eropa dapat mengadopsi sistem juri dari Anglo-Saxon.
Sistem ini memungkinkan keputusan perkara diambil oleh juri yang dipilih secara acak, baik dari kalangan hukum maupun non-hukum, sehingga keadilan dapat tercapai secara objektif. Dengan demikian, peluang terjadinya mafia hukum dan kesewenangan hakim dapat diminimalkan.
Penutup
Atas dasar tranplantasi hukum, maka sistem juri dapat dan bisa diterapkan di Indonesia, dengan sistem juri tersebut Hakim hanya bersifat pasif memimpin sidang, karena yang memutuskan perkara adalah para Juri (yang nota bene bisa berlatar belakang hukum bisa juga berlatar belakang non hukum) yang dipilih oleh negara dengan cara acak, karena yang diutamakan adalah dari sisi keadilan sebagai ‘rasa’ yang dipandang mewakili perasaan keadilan masyarakat.
Dengan sistem Juri tersebut maka peluang terjadinya mafia hukum/peradilan dan tindakan kesewenangan hakim dalam memutus perkara atas nama kemandirian/kemerdekaan atau imparsial sejauh mungkin bisa dicegah atau setidak nya ditutup dengan sistem Juri tersebut.
Hal ini merupakan pandangan hukum progresif, demi tegaknya hukum itu sendiri di negeri ini, yang didambakan oleh setiap insan anak bangsa biar hukum sebagai Panglima bisa diwujudkan.
Merdeka! ***
* Penulis adalah Praktisi Hukum/ Pemerhati Sosial, Politik, Budaya dan Sejarah Bangsa.