Oleh: Agus Widjadjanto*
PERANG Jawa yang dikobarkan oleh Pangeran Keraton Ngajogjokarto Hadiningrat yang meletus pada tahun 1825 hingga 1830, yang merupakan calon Raja Hamengkubuwono ke V yakni RM Ontowiryo bergelar Pangeran Diponegoro, yang dipicu oleh perlakuan tidak adil dan ikut menciptakan politik dinasti Keraton yang dilakukan oleh Residen Belanda yang membawahi wilayah Kedu saat itu, dimana sebagai Kerajaan yang mempunyai kedaulatan dan hak istimewa sebagai kerajaan Mataram Islam NgajogjoKarto Hadiningrat, dan penerapan pajak yang terlampau berat dirasakan oleh petani dan rakyat kecil hingga berkibar pemberontakan yang dikenal dengan perang Diponegoro atau Perang Jawa.
Akibat dari perang tersebut ribuan tentara Berkebangsaan Belanda telah tewas, dan hampir 20 Ribu orang Jawa tewas dalam perang tersebut , yang mengakibatkan kas dari Pemerintahan Belanda (VOC) bangkrut. Pasca Perang Jawa inilah merupakan tonggak dimulainya penjajahan secara Yuridis formal oleh Pemerintahan Belanda, dengan politik hukum melalui Tanam Paksa dan Kerja Rodi untuk mengembalikan perekonomian dari Pemerintahan Hindia Belanda saat itu.
Tanam Paksa atau Cultuurstelsel diterapkan pada tahun 1830, setelah Pangeran Diponegoro menyerah dan dibuang ke Menado, hingga berakhir dipenjara Kota Makasar, Ujung Pandang. Aturan Tanam Paksa diterapkan oleh Gubernur Jendral Johanes Van Den Bosch, dimana Tanam Paksa adalah kebijakan yang mewajibkan masyarakat Hindia Belanda saat itu, memberikan tanah garapannya seluas 20 persen dari total luas yang dimiliki, untuk ditanami komoditas eksport seperti kopi, teh, kakao dan tebu. Tanam Paksa sendiri dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula, setelah adanya kritik dari para cendikiawan Belanda sendiri.
Pada saat Gubernur Jenderal Pemerintahan Hindia Belanda, dijabat oleh Herman Williem Daendels pada tahun 1808 hingga 1811 Masehi, dicanangkan pembuatan jalan sepanjang 1100 Km., sebagai jalan pos jaga kepentingan militer Belanda untuk mengamankan Pulau Jawa di Pantai Utara dari serangan Inggris dan kelancaran dalam menyampaikan informasi melalui dinas pos, dengan cara Kerja Rodi atau kerja paksa kepada penduduk Bumiputera di Pulau Jawa, saat itu dilokasi antara Anyer hingga Panarukan. Banyak sekali korban meninggal dunia saat itu, karena tidak digaji dan tidak diberikan makan dari penduduk pribumi atau yang saat itu disebut golongan Bumiputera, baik orang Sunda Banten, Sunda Kerawang, hingga Cirebon, Jawa baik Jawa Tengah hingga Jawa Timur sampai ujung wilayah ‘Tapal Kuda’ saat ini, hingga ribuan orang jadi korban dan itu adalah para pahlawan Kusuma Bangsa tanpa tanda jasa yang tidak dilabeli dan mendapat bintang pahlawan nasional.
Disamping sebagai jalan untuk pos jaga dan informasi cepat melalui darat untuk kepentingan informasi inteljen lewat pos, jalan Pantura saat itu juga untuk membangun pabrik persenjataan militer di Semarang dan Surabaya. Dan dikemudian hari setelah jalan tersebut jadi dan setelah Pemerintahan Hindia Belanda berhasil memadamkan Perang Jawa oleh Pangeran Diponegoro pada tahun 1830, maka untuk mengembalikan perekonomian Belanda saat itu yang bangkrut karena pembiayaan perang, diterapkan politik Tanam Paksa kepada masyarakat di Jawa untuk menanam komoditas tertentu yang bisa dijadikan eksport keluar negeri untuk menutup kas Pemerintahan Hindia Belanda saat itu, dan itu berlangsung hingga kedatangan Jepang mendarat di Pulau Jawa dan Sumatra, pada tahun 1942.
Pada tahun 1890, politikus dalam Parlemen Belanda yang bernama C.Th. Van Deventer mengemukakan Politik Etis, yang digunakan untuk menyelamatkan rakyat Bumiputera agar Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melakukan politik balas budi atas ekploitasi, baik alam maupun sumberdaya rakyat di wilayah Kolonial Hindia Belanda dengan cara membangun irigasi, bendungan untuk pertanian rakyat dan mendirikan sekolah-sekolah, juga mengirim para anak-anak bangsawan Jawa ke Belanda untuk bisa menjadi Sarjana. Hal itu adalah berkat jasa dari C.Th. Van Deventer, seorang ahli hukum dan sosiologi serta politikus muda Belanda yang melihat secara langsung kondisi masyarakat di kolonialisasi Hindia Belanda saat itu. Dari sini lah mulai para pemuda Bumiputera, baik Jawa, Sumatera, Kalimantan, Ambon, Maluku, Ende, Nusa Tenggara Timur, sedikit demi sedikit bersekolah dan menjadi Warjana yang nanti merupakan cikal bakal penggerak Indonesia dalam Sumpah Pemuda 1928, yang diwakili oleh Jong Jawa, Jong Ambon Maluku, Jong Sumatera, Jong Sulawesi, dan tidak ada tercatat satu pun perwakilan dari golongan Timur asing yang saat itu merupakan golongan kedua setelah Eropa yang diciptakan oleh penguasa Hindia Belanda di Indonesia, dan dari kaum terpelajar inilah baik yang sekolah di Batavia, hingga Bandung serta lulusan negeri Belanda sebagai motor dinamisator penggerakhingga Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Lalu muncul pertanyaan, apakah benar seperti yang ditulis dalam sejarah dan pidato-pidato Bung Karno yang menyatakan Bangsa Nusantara ini telah dijajah oleh Belanda selama 350 Tahun? Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun mungkin menjadi salah satu narasi sejarah yang paling umum didengar oleh masyarakat. Namun, bagaimana kalau ternyata narasi itu hanyalah mitos belaka?
Pada 1968, seorang ahli hukum bernama Gertrudes Johannes Resink sukses mematahkan mitos tersebut. Resink memaparkannya dalam karya Indonesia’s History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (1968). Hasilnya, Resink menyimpulkan bahwa Indonesia tidak dijajah 350 tahun oleh Belanda. Selama ini narasi 350 tahun penjajahan dihitung dari awal kedatangan orang Belanda ke Indonesia pada 1596 sampai kemerdekaan tahun 1945. Namun, apa benar sekonyong-konyong orang Belanda datang untuk menjajah? Sejarah mencatat mereka datang untuk berdagang, sekalipun dari perdagangan proses kolonialisme tercipta.
Lalu, jika terjadi penjajahan, apa iya pemerintah Kolonial Belanda menguasai wilayah Indonesia dalam satu waktu bersamaan? Tentu tidak. Pemerintah Kolonial Belanda sendiri baru terbentuk pada 1800, setelah VOC bangkrut. Kedua pertanyaan itulah yang mendorong Resink melakukan riset. Dia membedah dokumen-dokumen hukum dan surat perjanjian milik kerajaan-kerajaan, dan selama proses pembedahan, dia mengetahui banyak kerajaan dan negara di Indonesia yang belum pernah ditaklukkan Belanda sampai tahun 1900-an.
Pada abad ke-17 misalnya, kerajaan-kerajaan lokal bisa menjalin hubungan diplomatik dengan bangsa-bangsa lain tanpa diatur oleh pemerintahan VOC. Lalu, sepanjang 1900-an, masih banyak kerajaan lokal yang belum dijajah Belanda, seperti Aceh yang baru dikalahkan pada 1903, Bone pada 1905 dan Klungkung-Bali, pada 1908. Dari sini, Resink mengambil kesimpulan: Tidak ada satupun wilayah Indonesia yang benar-benar dijajah selama 350 tahun. Jika menarik garis dari pendudukan di Klungkung+Bali, pada 1908 saja, maka Belanda baru menjajah Indonesia 37 tahun.
Kendati kekeliruan terjadi, Belanda tetap saja ngotot menjajah Indonesia selama 350 tahun. Sikap ini sebetulnya ditunjukkan untuk gagah-gagahan. Pada 1936, misalnya, Gubernur Jenderal de Jonge dengan bangga menyebut sudah menjajah Indonesia selama 300 tahun supaya orang tahu betapa kuatnya Belanda. Padahal, Belanda saja baru bisa menguasai seluruh wilayah pada tahun 1900-an. erkat jasanya mematahkan mitos penjajahan, Resink sangat dihormati di Indonesia. Dia pun diberi kewarganegaraan Indonesia oleh Soekarno pada 1950. Sayangnya, sekalipun sudah ada yang mematahkan mitos tersebut, banyak orang terlanjur percaya Indonesia dijajah 350 tahun oleh Belanda. (berita dari berita CNBC).
Setelah Jepang mendarat di Jawa dan tentara Belanda menyerah pada Jepang, yang melakukan pendekatan. Secara Politis Sosiologis dengan menyatakan bahwa Jepang sebagai saudara tua, penderitaan rakyat belum berakhir, dimana pada tahun 1942, masuknya militer Jepang ke Hindia Belanda, rakyat masih juga dipaksa Kerja Paksa untuk membangun jalan dan jalur pangan untuk kepentingan pertahanan militer Jepang yang dikenal dengan Romusha, dan korbannya mencapai puluhan ribu orang karena kelaparan, dimana tragedi kemanusiaan saat itu jangan dibayangkan ada komisi hak asasi manusia, lewat PBB maupun LSM swasta yang kerap dibiayai asing untuk menyuarakan Demokrasi dan HAM, belum lahir dan belum ada. Istilah Hak Asasi Manusia (HAM), merupakan istilah relatif baru dan disyahkan setelah berakhirnya perang dunia ke dua, yang dimenangkan oleh Sekutu Amerika Serikat dan Uni Sovyet, yang lalu dibentuk badan baru yang disebut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menggantikan Liga Bangsa-Bangsa yang dirasa tidak bisa memberikan kontribusi memadai untuk mencegah terjadinya perang dunia saat itu. Adalah Eleanor Roosevelt, janda mendiang Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt, yang dipilih menjadi ketua bersama dari komisi PBB tentang Hak Asasi Manusia (United Nations Commission on Human Rights), yang menemukan frasa the Rights of Man tersebut. Walaupun begitu, tidak bisa berlaku surut mengadili pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, baik kejahatan kemanusiaan saat Tanam Paksa maupun saat pembuatan jalan Anyer-Panarukan dan tragedi pembantaian Westerling. Hal ini bisa terjadi apabila pemenang dari perang dunia ke dua saat itu adalah pihak yang satu kelompok kepentingan politik dalam komunitas Negara negara sekutu Amerika Serikat
Bahwa pada tahun 1820 hingga pada tahun 1900 di Wilayah Hindia Belanda yang dulu disebut bagian dari Nusantara itu yang disebut ‘masa kegelapan’ dalam sejarah bangsa, dalam perputaran Tjokro Manggilingan (perputaran kejayaan dan proses sebuah bangsa melalui siklus waktu), itulah waktu yang sesungguhnya terjadi masa waktu penjajahan yang pada akhirnya mentari terbit juga dari Timur, saat menjelang bulan Juni 1945 hingga Indonesia merdeka, setelah menyerahnya Jepang kepada Sekutu.
Setelah Indonesia merdeka, jalan raya antara Anyer hingga Panarukan, menjadi jalan paling menentukan dalam memberikan kontribusi pertumbuhan perekonomian di Jawa, hingga dibangunnya jalan Tol Trans Jawa oleh Pemerintahan Jokowi dan peran jalan Anyer-Panarukan tetap paling dominan di Pulau Jawa, baik dari aspek pariwisata maupun dari aspek ekonomi dan keamanan Negara. Indah saat ini, merupakan hasil pengorbanan dari rakyat dan pahlawan kusuma bangsa yang tidak pernah dilabeli dan diberikan status ‘Pahlawan’, atas pengorbanan mereka dalam membangun jalan tersebut dan hal ini agar bisa menjadi pembelajaran generasi muda agar jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah) agar sejarah bangsa kalian tidak dimanipulasi oleh keturunan dari bangsa lain, sebagai upaya melakukan penjajahan secara modern (Neo Kolonialisme), baik melalui budaya maupun Agama, dengan cara menghilangkan jejak sejarah Nenek Moyang kalian dimasa lalu agar tidak ada lagi rasa kebanggaan terhadap leluhurmu. Itu cara lama, tapi gaya baru, hingga banyak saudara-saudara kita yang mabuk hingga hilang percaya diri, karena kebodohan dari diri kita sendiri. Janganlah mengalami kemunduran dalam pola pikir dan kecerdasan. Sebagai anak bangsa, harus punya visi misi pola pikir lebih baik dari generasi ‘Pendobrak 1945’, saat merdeka. Dan seharusnya, lebih cerdas dan lebih baik dari generasi Wali Songo pada abad ke 14 Masehi, saat membangun peradaban baru di Nusantara, melalui budaya asli nusantara, dengan tata cara adat nusantara, dengan pakaian yang berciri khas nusantara. Oh indahnya. Inilah trade mark-nya Indonesia, bukan mengadopsi pakaian yang berciri khas dari budaya bangsa lain, sangat menyedihkan. Ismail Marjuki menciptakan lagu-lagu yang menggugah rasa nasionalisme kita, dengan ciri khas Indonesia, wanita-wanitanya cantik-cantik dengan gaya khas Nusantara yang memberikan kesan oh ini wanita Indonesia, sangat luar biasa kecantikannya memancar keluar, bukannya justru ditutupi hingga hilang ke Indonesiaannya.
Itulah sebabnya para Founding Father’s kita dulu saat mengkonsep membentuk berdirinya Negara Kesatuan RI, dalam satu pasal menyangkut pemilihan pemimpin bangsa, baik sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan mensyaratkan “harus orang Indonesia asli”, yang nota bene orang Bumiputera, bukan golongan Timur asing maupun turunan asing lainya, karena para Bapak pendiri bangsa belajar dari sejarah kondisi bangsa ini sebelum Indonesia merdeka, yang oleh Pemerintahan Hindia Belanda menggolongkan masyarakat menjadi tiga, yakni golongan Eropa, golongan Timur asing yakni china dan arab dan golongan Bumiputera yang kerap disebut kaum Inlandders.
Mari kita isi kemerdekaan ini dengan keadilan kemakmuran dan tidak pernah kehilangan jati diri sebagai bangsa yang punya ruh ke Indonesiaan untuk mencapai masyarakat adil makmur, demah ripah loh jinawi, toti tentrem kerto raharjo. ***
* Penulis adalah Pemerhati Sosial, Budaya, Hukum, dan Politik di Jakarta.