Banyaknya Pekerja Migran Indonesia Non Prosedural, Jadi PR Menteri PPMI

by
Koordinator Pengelolaan Pengetahuan, Data, dan Publikasi Migrant Care, Trisna Dwi Yuni Aresta. (Foto: Humas Migrant Care)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Banyaknya pekerja migran Indonesia (PMI), non prosedural yang diakibatkan tingginya biaya pengurusan dokumen ketenagakerjaan dan dokumen lainnya, menjadi pekerjaan rumah atau PR, dari Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Abdul Kadir Karding.

Kendala lainnya, kata Koordinator Pengelolaan Pengetahuan, Data, dan Publikasi Migrant Care, Trisna Dwi Yuni Aresta lewat keterangan tertulisnya, Selasa (19/11/2024), termasuk masa pengurusan dokumen yang lama.

“Kendala itu menjadi peluang bagi para calo menawarkan jasa jalan pintas, akhirnya para calon PMI tergiur dengan jalan pintas non prosedural berbiaya murah,” sebut dia.

Lanjut Dwi Yuni, sebelum Menteri PPMI menyebut lebih dari lima juta warga negara Indonesia menjadi pekerja migran non prosedural di luar negeri. Ia menyebutkan para PMI tersebar di 100 negara tujuan, seperti Malaysia, Arab Saudi, Taiwan, Korea Selatan, dan Hong Kong.

“Para pekerja migran yang tidak terdaftar alias ilegal tersebut memang menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Kementerian PPMI,” ujarnya lagi.

Menurut Dwi Yuni, PMI ilegal tersebut rawan mengalami eksploitasi dan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Karena mereka berangkatnya tidak prosedural, negara tidak bisa menjamin nasib seseorang karena mereka tidak masuk Sistem Komputerisasi untuk Pelayanan Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (SISKOP2MI). SISKOP2MI menyediakan layanan perlindungan bagi PMI.

“Untuk itu, kita meminta Kementerian PPMI lebih gencar melakukan sosialisasi dan edukasi sampai ke desa-desa seperti apa bahayanya berangkat tanpa prosedur resmi. Pasalnya, para calo TKI juga banyak yang berasal dari desa-desa PMI berasal,” sebutnya.

Para calo ini lah, yang harus diberantas melalui edukasi ke masyarakat dan penegakan hukum. Selain itu perlu ditinjau kembali soal biaya tinggi dan waktu yang lama dalam pengurusan dokumen yang menjadi celah calo menawarkan jalan pintas, demikian Dwi Yuni. (Ery)